MANADO, TRIBUN - Banjir yang terjadi di Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) pada Sabtu (22/3/2025) - Minggu (23/3/2025) lalu memberi pelajaran begitu mendesaknya revitalisasi daerah aliran sungai (DAS) yang mengalir di Kota Manado. Namun, proyek revitalisasi lima DAS yang dimulai sejak 2014 kini terhenti.
Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi I Sugeng Harianto mengatakan, proyek ini terbentur sejumlah masalah. Di antaranya pembebasan lahan yang tak kunjung tuntas. Efisiensi anggaran juga dapat memengaruhi pelaksanaan proyek itu.
Sejak awal, kehadiran proyek tersebut bertujuan meminimalisasi banjir di Kota Manado. Proyek berupa pelebaran dan betonisasi bantaran sungai sudah terwujud di sejumlah permukiman, mulai dari Jembatan Miangas hingga hilir DAS Tondano di Jembatan Megawati. Warga yang tanah atau bangunannya yang tersentuh proyek itu mendapatkan ganti rugi.
"Dari 10 kelurahan, yang beres baru dua," kata Sugeng dalam konsultasi publik Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025-2029 dan Rencana Kerja Perangkat Daerah (RKPD) 2026 Kota Manado di Ruang Serbaguna Kantor Wali Kota Manado, Tikala Ares, Rabu (26/3/2025).
Ia menuturkan, pembebasan lahan musti kelar sebelum proyek berdiri. Ini sebagaimana syarat dari World Bank selaku penyandang dana pembebasan lahan. "Syaratnya pembebasan lahan musti clean dan clear," katanya.
Akibat pembebasan lahan yang terkatung-katung, dana dari pusat untuk proyek konstruksi akhirnya kembali ditarik. Jumlahnya mencapai Rp1,8 triliun. "Ini akumulasi berbagai daerah, termasuk di Manado," katanya.
Beber Sugeng, efisiensi anggaran juga bakal berpengaruh pada pembangunan revitalisasi tiga sungai itu. Apalagi, saat ini anggaran sangat terbatas dan APBN sangat ketat. "Anggarannya tak sebesar sebelumnya," kata dia.
Diketahui, dana untuk proyek ini diestimasi Rp3,1 triliun. Dana itu digunakan Rp1,9 triliun untuk konstruksi, Rp1,2 triliun untuk ganti rugi lahan.
Kata Sugeng, waktu kian kesip. Batas pelaksanaan proyek adalah pada 2028. Kendati demikian, pihaknya berupaya menyelesaikan proyek itu dengan bekerja sama dengan BPN dan pihak lainnya.
Selain kendala proyek revitalisasi DAS, upaya meminimalisasi banjir di Kota Manado juga terhambat dengan pembatalan proyek pembangunan Bendungan Sawangan.
Berkaca dari keberadaan Bendungan Kuwil Kawangkoan, potensi banjir bandang serupa 2014 dapat dicegah untuk wilayah-wilayah yang dilalui DAS Tondano, meski sejumlah daerah masih tergenang. Sementara keberadaan Waduk Sawangan untuk mengantisipasi banjir untuk wilayah Kecamatan Paal Dua dan Tikala.
Menurut dia, Kota Manado dialiri delapan sungai. Dengan begitu Bendungan Kuwil tak cukup. "Karena di sini ada juga beberapa sungai lainnya," katanya.
Kata Sugeng, Bendungan Sawangan penting untuk mengendalikan debit air sungai di Tikala. "Tampungannnya 6 hingga 8 juta meter kubik," kata dia.
Namun program itu amblas gara-gara efisiensi anggaran. Begitu pula program pembangunan Bendungan Kali untuk Sungai Malalayang dan Sario. "Belum bisa karena efisiensi," ujar dia. Ungkap dia, efisiensi anggaran membuat APBN sangat ketat.
Wali Kota Manado Andrei Angouw mengatakan, pihaknya mendukung penuh pelaksanaan proyek tersebut. "Kami juga minta masyarakat menopang penuh," kata dia. (art)
Kategori Darurat
Kepala Pusat Kajian Bencana dan Pengelolaan SDA Universitas Prisma Manado, Agus Budiharso mengatakan, revitalisasi daerah aliran sungai (DAS) di Manado sudah masuk kategori darurat.
Kondisi sungai yang semakin menyempit dan mengalami sedimentasi tinggi membuat proyek ini tak bisa lagi ditunda. Ini proyek yang sangat urgen mengingat permasalahan banjir yang semakin parah setiap tahunnya.
Ada tiga faktor utama yang membuat proyek ini mendesak. Pertama, kapasitas sungai menurun. Ini berarti risiko banjir meningkat. Sungai Tikala, Tondano, dan Sario merupakan aliran utama yang melintasi Kota Manado.
Namun, sedimentasi yang tinggi, pendangkalan sungai, serta perubahan tata guna lahan di sekitarnya telah menyebabkan daya tampung sungai berkurang drastis. Akibatnya, saat curah hujan tinggi, air dengan mudah meluap dan menyebabkan banjir di berbagai titik kota.
Topografi Manado yang berbukit dengan daerah hilir yang padat penduduk membuat aliran air semakin tidak terkendali. Sungai yang seharusnya menjadi jalur utama pembuangan air justru sudah tidak mampu menampung debit yang besar, apalagi jika hujan turun dalam durasi yang lama,” kata Agus.
Kedua, dampak sosial dan ekonomi yang serius. Banjir di Manado bukan hanya menyebabkan kerusakan infrastruktur, tetapi juga berdampak besar pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Setiap kali banjir datang, banyak warga yang terpaksa mengungsi, kehilangan tempat tinggal, serta mengalami kerugian materiil yang besar.
Bukan hanya rumah yang terdampak, tetapi juga tempat usaha dan fasilitas publik. Ini menimbulkan efek domino yang besar. Warga kehilangan mata pencaharian, pemerintah harus mengeluarkan biaya besar untuk penanganan pasca-banjir, dan ekonomi kota pun terganggu.
Jika proyek revitalisasi DAS terus tertunda, jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk menangani dampak banjir setiap tahun justru bisa jauh lebih besar daripada anggaran yang dibutuhkan untuk revitalisasi itu sendiri.
Ketiga, perubahan iklim memperburuk kondisi. Perubahan iklim global turut berkontribusi pada meningkatnya intensitas hujan di wilayah Sulawesi Utara, termasuk Manado. Jika infrastruktur tidak diperbaiki segera, dalam beberapa tahun ke depan, banjir bisa menjadi bencana yang lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Kita melihat tren curah hujan semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ini artinya, risiko banjir di Manado juga semakin tinggi.
Beberapa rekomendasi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan kendala, terutama terkait dengan pembebasan lahan dan keterbatasan anggaran.
Pertama, pendekatan sosial yang humanis. Relokasi warga yang tinggal di bantaran sungai harus dilakukan dengan pendekatan yang humanis. Pemerintah harus berdialog dengan masyarakat, memastikan mereka mendapatkan kompensasi yang layak, serta menyediakan hunian alternatif yang lebih aman dan layak huni.
Kedua, skema pendanaan alternatif. Pemerintah tidak bisa hanya bergantung pada APBN dan APBD. Harus ada upaya untuk mendapatkan pendanaan dari sektor swasta melalui skema public-private partnership (PPP), serta mencari hibah dari lembaga internasional yang berfokus pada pengelolaan lingkungan dan mitigasi bencana.
Ketiga, perbaikan infrastruktur drainase. Selain revitalisasi sungai, sistem drainase perkotaan juga harus diperbaiki. Sebaiknya sistem drainase dibuat dengan menyesuaikan aliran alami wilayah agar air dapat mengalir lebih lancar tanpa menyebabkan genangan di daerah rendah.
Keempat, rehabilitasi ekosistem sungai. Selain pengerukan sungai, langkah penghijauan di daerah hulu serta penguatan tanggul alami juga diperlukan untuk mengurangi risiko banjir dan memperbaiki kualitas lingkungan sekitar.
Revitalisasi DAS Tikala, Tondano, dan Sario di Manado bukan hanya sekadar proyek infrastruktur, melainkan kebutuhan mendesak untuk mengurangi risiko banjir yang semakin mengancam. Jika proyek ini terus tertunda, banjir di Manado akan semakin parah dan dampaknya akan semakin luas. (Tribun Manado Art/Pet/Max)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.