PPP Gagal ke Senayan, Pengamat: Kader Berusaha Sendirian di Pemilu 2024

Editor: Lodie Tombeg
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa PPP berkampanye pada Pemilu 1997, menjelang reformasi. PPP gagal ke Parlemen Senayan (DPR RI). Analis politik menilai satu di antara penyebab, kader PPP berusaha sendirian pada Pemilu 2024.

TRIBUNMANADO.CO.ID, Jakarta - Partai Persatuan Pembangunan atau PPP gagal ke Parlemen Senayan (DPR RI). Analis politik menilai satu di antara penyebab, kader PPP berusaha sendirian di Pemilu 2024.

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menilai Plt Ketua Umum PPP, Mardiono, layak mundur dari posisinya.

Hal itu kata Dedi karena Mardiono gagal meloloskan PPP ke Senayan pada Pileg 2024.

"Mardiono memang layak mundur, bahkan ia sebenarnya tidak miliki komitmen menyelematkan PPP sejak awal," kata Dedi dihubungi Kamis (23/5/2024).

Dedi menilai hal itu bisa dilihat bagaimana masa Pemilu 2024 seolah kader berusaha sendirian. Tanpa sokongan struktural parpol utamanya dari Dewan Pimpinan Partai.

"Untuk itu, desakan Mardiono mundur sudah tepat, bahkan jika ia tidak mundur, ia bisa saja diganti mengingat Mardiono belum definitif," tegasnya.

Sebelumnya, Sekretaris Majelis Pakar DPC PPP Kota Surakarta, Johan Syafaat menyoroti hasil perolehan suara partainya pada Pemilu 2024.

Di mana, hasil hitung KPU RI, PPP tidak tembus ambang batas 4 persen.

Serta, PPP hanya memperoleh 5,7 juta suara atau 3,8 persen. Hanya butuh kurang lebih 200.000 suara saja untuk Lolos ke Senayan.

Dia pun menilai, bahwa Plt Ketua Umum M Mardiono tidak mampu membaca situasi politik hingga PPP memperoleh hasil terburuk dalam sejarah pemilu di Indonesia.

Johan juga menyebut, kegagalan meloloskan PPP melalui Mahkamah Konstitusi (MK) menambah bukti tersebut.

"Gugatan ke MK tidak didampingi pengacara yang profesional. Terkesan main-main," kata Johan Syafaat, Rabu (22/5/2024).

Dia juga menilai, bahwa jajaran petinggi partai tidak peka membaca situasi dan perkembangan politik. Jajarannya pun turut mendukung adanya Muktamar Luar Biasa.

Baca juga: PPP Tak Lolos Parlemen, Ketum PDIP Megawati: Saya Sedih, Tak Usah Khawatir Nanti Menang Lagi Kok

"Kami kader akar rumput sangat kecewa dengan hasil itu. Maka Mardiono harus mundur," tegasnya.

Dia pun turut berharap MK mengabulkan gugatan PPP hingga lolos ke Senayan.

"Karena PPP adalah satu-satunya partai yang berasaskan Islam sebagai wadah aspirasi politik umat Islam di Indonesia," pungkasnya.

Oposisi Orde Baru

Pada pertengahan tahun 1970-an, dukungan masyarakat terhadap rezim Soeharto dengan cepat berkurang.

Dikutip dari wikipedia.org, ketika Soeharto merebut kekuasaan melalui kudeta militer berdarah pada tahun 1965 dan menggulingkan Presiden Soekarno, kelompok-kelompok Islam mendukung Soeharto dan membantu menganiaya lawan-lawan politiknya.

Namun ketika rezim menjadi korup dan semakin otoriter, aliansi ini mulai runtuh. Pada tahun 1974, Zakaria bin Muhammad Amin diangkat sebagai anggota dewan dan menjabat hingga tahun 1986.

Menjelang pemilu legislatif tahun 1977, banyak orang mulai mencari pilihan lain selain Golkar yang didukung pemerintah.

Khawatir PPP akan memenangkan pemilu, Soeharto mempermainkan ketakutan masyarakat dengan meminta militer menangkap sekelompok orang yang mengaku terkait dengan Komando Jihad.

Oleh karena itu, beberapa orang menjadi khawatir bahwa memilih PPP dan partainya yang berhaluan Islam berarti menyatakan dukungannya terhadap Komando Jihad.

Dan dalam pemerintahan yang semakin otoriter, banyak yang menolak untuk dikaitkan dengan pihak yang salah.

Golkar kemudian memenangkan pemilihan legislatif dengan 62 persen dan PPP berada di urutan kedua dengan 27 persen suara.

Namun PPP tidak tinggal diam dan menerima kekalahan.

Pada Sidang Umum MPR tahun 1978, anggota PPP Chalid Mawardi melontarkan kritik pedas terhadap rezim Soeharto.

Mawardi menuduh Pemerintah anti-Muslim, mengeluhkan tindakan keras yang dilakukan pemerintah terhadap perbedaan pendapat, dan menuduh bahwa Pemilu Legislatif tahun 1977 dimenangkan karena adanya kecurangan dalam pemilu.

Anggota PPP juga melakukan aksi mogok massal ketika Soeharto menyebut agama sebagai “aliran kepercayaan”.

PPP tampaknya semakin mengukuhkan statusnya sebagai partai oposisi terkuat. Namun hal itu tidak akan bertahan lama.

Pada tahun 1984, NU, di bawah pimpinannya, Abdurrahman Wahid, menarik diri dari PPP, sehingga melemahkan partai.

Perolehan suara PPP turun dari hampir 28 persen pada pemilu legislatif tahun 1982 menjadi 16 persen pada pemilu legislatif tahun 1987, PPP juga dipaksa oleh pemerintah untuk mengganti ideologi Islamnya dengan ideologi nasional Pancasila dan berhenti menggunakan simbol-simbol Islam.

Akibatnya, partai tersebut mengganti logonya yang menunjukkan tempat suci Kabah di Makkah dengan bintang.

Elemen Nahdatul Ulama demikian kembali ke kancah politik nasional pada tahun 1999 sebagai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Suni (Solidaritas Umat Nahdliyin Indonesia), dan Partai Nahdlatul Ummah (PNU).

Pada Sidang Umum MPR 1988, Ketua PPP Djaelani Naro dicalonkan sebagai wakil presiden. Soeharto, yang terpilih menjadi presiden untuk masa jabatan kelima pada Sidang Umum tersebut, melakukan intervensi.

Ia mencontohkan keputusan MPR tahun 1973 yang salah satu kriteria seorang wakil presiden adalah bisa bekerja sama dengan presiden.

Soeharto pun melakukan diskusi dengan Naro dan meyakinkannya untuk menarik pencalonan Naro.

Apa yang dilakukan Naro belum pernah terjadi sebelumnya karena baik Soeharto maupun wakil presidennya selalu terpilih tanpa lawan. Permasalahannya kali ini adalah pilihan Soeharto terhadap wakil presiden, Soedharmono.

Pilihan Suharto telah menyebabkan perpecahan antara dirinya dan sekutu paling setianya, ABRI.

Banyak anggota ABRI yang tidak menyukai Soedharmono karena ia lebih banyak menghabiskan waktunya di belakang meja (Soedharmono adalah seorang pengacara militer) dibandingkan sebagai petugas lapangan.

Melihat adanya celah yang bisa dieksploitasi, Naro mencalonkan dirinya mungkin dengan dukungan pribadi dari ABRI yang di depan umum telah menunjukkan dukungannya kepada Soedharmono.

(Tribunnews.com Rahmat W Nugraha)

Berita Terkini