Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Angka tahanan kasus perlindungan anak di Sulawesi Utara terbilang cukup tinggi.
Dari data yang diterima Kementerian Hukum dan HAM Sulut tercatat ada 1.154 tahanan.
Paling banyak yang menampung tahanan yaitu Lapas Kelas II A Tondano dengan 200 orang.
Urutan kedua Rutan Kelas II B Kota Kotamobagu 175 orang dan Lapas Kelas II A Manado 170 orang.
Berbagai kasus kekerasan telah dilakukan oleh para pelaku seperti penganiayaan dan pencabulan.
Pada tahun 2023 ini tercatat dua kasus penganiyaan yang berujung pada kematian anak.
Pada Senin (6/2/2023) seorang ayah yang menganiaya anaknya hingga tewas.
Peristiwa tersebut dipicu karena tangisan bayi yang membuat pelaku terganggu saat tengah asik bermain Mobile Legend.
Bayi tersebut dianiaya dengan sejumlah pukulan di bagian kepala dan bibir dengan menggunakan tangan, oleh tersangka bernama Adrian Bawasal (26).
Mirisnya saat anak itu dalam keadaan sekarat, ayahnya tidak membawa korban ke rumah sakit.
Si ayah hanya makan di samping anaknya, hingga nyawa tidak tertolong.
Ada juga kasus penganiyaan berujung tewas yang terjadi di kota Kotamobagu pada Kamis (12/2/2023).
Tersangka bernama Jemi Tambunua membunuh seorang anak bernama MP (5) hanya karena tersinggung ayah korban sering memutar musik keras-keras.
Dia mengaku membunuh korban dengan cara mencekik.
Seteh dipastikan korban meninggal Jemi Tambanua memasukan mayat korban ke dalam karung dan membuang di dekat sungai desa ponompian.
Kebanyakan Kasus Kekerasan Kepada Anak Berakhir Mediasi
Angka kasus kekerasan terhadap anak di Sulawesi Utara sangat tinggi.
Berdasarkan data yang diterima Tribun Manado dari Simphony Kementrian PPPA, di tahun 2022 tercatat ada 1.589 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi.
Aktivis anak Sulut Jull Takaliuang prihatin dengan kejadian tersebut, apalagi dia melihat masih banyak korban yang belum berani untuk melaporkan masalah kasus kekerasan terhadap anak.
"Banyak faktor yang didalamnya, misalnya keluarga korban merasa tabu melaporkan hal seperti itu, apalagi soal kekerasan seksual keluarga mereka merasa malu,"jelasnya saat diwawancarai Tribun Manado beberapa waktu lalu.
Jull melihat banyaknya kasus kekerasan terhadap anak yang jauh dari rasa keadilan, kebanyakan kasus ini berakhir dalam proses mediasi antara korban dan pelaku.
"Ini jelas hal yang tidak benar, semakin jauh akan semakin terpelosok dan penangananya tidak seperti daya paksa undang-undang,"jelasnya.
Jull mengatakan di kabupaten Sangihe pernah dia melaporkan kasus kekerasan seksual ke LPSK dikarenakan korban yang merasa tersudutkan dan terancam akibat pelaku yang dilepas saat dalam proses hukum.
"Ada yang fakta yang mengakibatkan masih banyaknya korban anak yang tidak mendapatkan penanganan yang baik,"jelasnya
Di sisi lain Jull menyorot penanganan kasus yang memanfaatkan anak sebagai objek seksual.
Menurut Jull, para pelaku hidung belang tersebut harus ikut ditangkap oleh kepolisian, bukan dibiarkan.
"Mau dia sudah menikah, atau belum para pelaku tersebut harus diamankan dan diproses hukum karena mereka melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
Dan ini harus ada perubahan paradigma, jangan penerapan hukum hanya mengorbankan anak-anak," jelasnya.
Jull pun berharap pemerintah dan instansi terkait kedepan harus berbenah diri dengan mengajarkan kepada anak-anak tentang pendidikan seks usia dini.
"Anak-anak harus mengerti apa yang boleh dan tidak, itu yang harus diajarkan kepada mereka diiringi soal pendidikan agama,"jelasnya.
Alhasil semua institusi bisa bersinegritas membentuk prilaku baik untuk masa depan anak-anak di Sulut.
"Ini harus didorong oleh stacholder di Sulut untuk bergeser paradigma yang baik kedepan," jelasnya. (Ren)
Baca berita lainnya di: Google News.
Berita terbaru Tribun Manado: klik di sini.