TRIBUNMANADO.CO.ID - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menilai, polisi berpangkat Bhayangkara Dua atau Bharada itu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), Rabu (15/2/2023).
Richard Eliezer alias Bharada E akhirnya divonis 1 tahun 6 bulan.
Ia terbukti bersalah dan membayar biaya perkara Rp 5.000 rupiah.
Wahyu Iman Santoso adalah Ketua Majelis Hakim dalam persidangan kasus Brigadir J tersebut.
Sebagai ketua, ia didampingi dua anggota, yakni Morgan Simanjutak dan Alimin Ribut Sujono.
Baca juga: Ibunda Bharada E, Rynecke Alma Pudihang Bakal Hadiri Sidang Putranya Hari Ini, Berserah Kepada Tuhan
Ketiganya memimpin sidang atas kasus pembunuhan berencana Brigadir J dengan terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal Wibowo (Bripka RR), Kuat Ma'ruf, dan Richard Eliezer (Bharada E) sejak 17 Oktober 2022.
Berikut profil dari sosok Wahyu Iman Santoso:
Profil Wahyu Iman Santoso
Dilansir dari KompasTV (13/2/2023), Wahyu Iman Santoso lahir pada 17 Februari 1976. Saat ini, ia menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Wahyu Iman Santoso memulai kariernya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Maret 1999. Ia kini memiliki pangkat atau golongan Pembina Utama Muda (IV/C) dengan pendidikan terakhir S2.
Dikutip dari Kompas.com (13/2/2023), Wahyu Iman Santoso pernah bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri Denpasar sebelum menjadi Wakil Ketua PN Jakarta Selatan, ditugaskan menggantikan Lilik Prisbawono yang dipromosikan sebagai Ketua PN Kelas 1A Khusus Jakarta Pusat.
Wahyu Iman Santoso juga pernah bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kediri Kelas 1B dan Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1A Batam.
Pada 2017, dari situs PN Karanganyar, ia diketahui mendapatkan promosi sebagai Ketua Pengadilan Negeri Tarakan Kelas IB.
Sebelum menangani kasus Ferdy Sambo, Wahyu Iman Santoso memimpin sidang gugatan praperadilan yang diajukan Bupati Mimika Eltinus Omaleng.
Eltinus Omaleng mengajukan gugatan atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penetapannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan gereja di Mimika.
Sebagai hakim tunggal pada sidang tersebut, Wahyu Iman Santoso menolak gugatan Eltinus dalam putusan yang dibacakan pada 25 Agustus 2022.
Baca juga: Nasib Bharada E: 4 Kali Gagal Tes Polisi, Disuruh Tembak Brigadir J, Kini Divonis 1 Tahun 6 Bulan
Jejak Wahyu Iman Santoso di Kasus Sambo
Hakim Wahyu Iman Santoso memiliki peran penting dalam kasus pembunuhan dengan terdakwa Ferdy Sambo. Akibatnya, rumor tentangnya banyak beredar di kalangan masyarakat.
Dilansir dari Kompas.com (6/1/2023), beredar video orang yang diduga Wahyu mendiskusikan soal kasus Ferdy Sambo dengan seorang wanita.
Dalam video yang beredar, pria yang diduga Wahyu itu menyebut tindakan Sambo menembak Brigadir J dengan pistol Bharada E tidak masuk akal. Pria itu juga mengaku tidak membutuhkan pengakuan dari terdakwa Ferdy Sambo.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta agar video viral itu diselidiki. Ia juga menyebut ada kemungkinan teror yang ditujukan kepada Wahyu.
Selain itu, dikutip dari Kompas.com (11/2/2023), berita terkait pemecatan Wahyu Iman Santoso oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga pernah beredar di Facebook.
Hasil penelusuran yang dilakukan Tim Cek Fakta Kompas.com menunjukkan itu hoaks.
Atas teror yang mungkin ditujukan kepada para hakim yang memberikan vonis kepada Ferdy Sambo, Komisi Yudisial (KY) menyatakan siap memfasilitasi safe house atau rumah aman bagi majelis hakim yang mengadili perkara tersebut.
Nasib Bharada E: 4 Kali Gagal Tes Polisi, Disuruh Tembak Brigadir J, Kini Divonis 1 Tahun 6 Bulan
Richard Eliezer alias Bharada E divonis 1 tahun 6 Bulan.
Bharada E terbukti bersalah dan membayar biaya perkara Rp 5.000 rupiah.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menilai, polisi berpangkat Bhayangkara Dua atau Bharada itu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
"Mengadili, menyatakan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana,” ujar ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (15/2/2023).
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa atas nama Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan penjara.” kata Hakim Wahyu.
Seperti diketahui sosok Bharada E dikenal publik usai namanya terseret dalam kasus pembunuhan Brigadir J di rumah dinas mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022.
Bharada E diketahui memiliki perjalanan hidup yang tak mudah.
Sebelum masuk menjadi anggota Polri, Bharada E sempat empat kali gagal dalam menjalani tes polisi.
Ia bahkan pernah menjadi sopir di Manado untuk membantu perekonomian keluarga.
(Baca Berita Terbaru: klik disini)
Kini dirinya terseret kasus pembunuhan Brigadir J setelah menjadi polisi.
Lantas seperti apa kisah perjalanan Bharada E ini hingga tersandung kasus pembunuhan Brigadir J?
Nama Bharada E semakin ramai menjadi perbincangan setelah mantan ajudan Ferdy Sambo ini mengajukan diri sebagai justice collaborator atau JC atas pembunuhan berencana Brigadir J.
Sorotan semakin tajam mengarah ke Bharada E setelah jaksa penuntut umum atau JPU melayangkan tuntutan lebih tinggi dari Putri Candrawathi dan dua terdakwa lainnya.
Putri Candrawathi, Kuat Maruf, dan Bripka Ricky Rizal dituntut delapan tahun penjara, sementara Bharada E yang juga berperan sebagai JC dituntut hukuman 12 tahun penjara.
Eksekutor pembunuhan Brigadir J ini bernama lengkap Richard Eliezer Pudihang Lumiu, yang lahir di Manado, Sulawesi Utara.
Ia lahir 24 tahun yang lalu, tepatnya 14 Mei 1998.
Richard Eliezer merupakan anggota polisi berpangkat Bhayangkara Dua atau golongan Tamtama.
Richard Eliezer atau Bharada E, terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua, mengungkapkan kisahnya bergabung dalam korps Polri.
Pemuda bernama lengkap Richard Eliezer Pudihang Lumiu harus melalui perjuangan panjang untuk bisa menjadi seorang polisi.
Pria kelahiran Manado, Sulawesi Utara pada 14 Mei 1998, berulang kali gagal saat tes sebelum resmi diterima menjadi anggota Polri.
Richard diketahui beragama Kristen Protestan dan memiliki media sosial Instagram dengan nama akun @r.lumiu.
Empat kali Richard gagal saat mengikuti serangkaian seleksi Polri.
Selama belum bergabung dengan korps Bhayangkara, Richard harus berjuang mencari nafkah dengan menjadi sopir sebuah hotel di kota tempat tinggalnya.
Kisah ini diungkapkan Richard saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan sidang kasus dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (25/1/2023).
"Setelah menjalani empat kali tes Bintara dan terakhir Tamtama yang di mana sepanjang perjalanan tes yang berkali-kali dari tahun 2016 hingga 2019, selama 4 tahun saya pun juga tetap bekerja sebagai sopir di sebuah hotel di Manado untuk membantu orang tua saya," kata Richard.
"Karena saya tahu untuk menjadi anggota Polri tidaklah mudah bagi saya, tetapi saya terus berusaha," tuturnya.
Richard mengatakan, menjadi anggota Polri khususnya Korps Brimob adalah mimpi dan kebanggaan baginya dan keluarga.
Tumbuh di keluarga yang sangat sederhana membuat Richard ingin terus berusaha membanggakan orang tua.
Oleh karenanya, keluarga begitu berbahagia ketika Richard dinyatakan lulus tes seleksi anggota Polri, bahkan tercatat sebagai peringkat satu di Polda Sulawesi Utara.
"Hal yang sangat membahagiakan dan membanggakan bagi saya dan keluarga di mana cita-cita saya hampir tercapai menjadi seorang prajurit Brimob untuk mengabdi kepada negara dapat saya wujudkan," ucapnya.
Setelah dinyatakan lulus tes, Richard menjalani pendidikan di Watu Kosek, Jawa Timur, terhitung sejak 30 Juni 2019.
Dia pun meninggalkan kota kelahirannya di Manado menuju Jawa Timur dengan membawa bekal sisa tabungannya selama 4 tahun menjadi sopir.
Richard mengenang momen ketika dia hendak merantau. Saat itu, sang ibu melepasnya sambil menangis.
“Mama saya dengan bangga sambil menangis memberi saya semangat dan doa. Saya pun menangis menjawab 'akan menjalankan pendidikan dengan baik agar papa mama bangga'," kata Richard.
"Saat itu papa saya masih bekerja sebagai seorang sopir dan mama saya seorang ibu rumah tangga yang menjalankan kegiatan sosial di gereja," lanjutnya.
Lulus dari pendidikan, Richard resmi bergabung sebagai personel Polri.
Dia mengemban sejumlah tugas hingga pada 30 November 2021 ditunjuk sebagai sopir Ferdy Sambo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri.
Richard mengaku sangat mencintai pekerjaannya. Tak pernah terpikirkan sebelumnya dia bakal terlibat kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua.
Menurut Richard, dia sangat hormat dan setia pada Ferdy Sambo. Namun, kepatuhan tersebut justru dimanfaatkan Sambo untuk memuluskan rencana jahatnya membunuh Yosua.
"Tidak pernah terpikirkan, ternyata oleh atasan di mana saya bekerja memberikan pengabdian, kepada seorang jenderal berpangkat bintang dua yang sangat saya percaya dan hormati, di mana saya yang hanya seorang prajurit rendah berpangkat Bharada yang harus mematuhi perkataan dan perintahnya, ternyata saya diperalat," kata Richard.
"Dibohongi dan disia-siakan, bahkan kejujuran yang saya sampaikan tidak dihargai, malahan saya dimusuhi," tuturnya.
Richard pun mengaku telah berkata jujur soal kasus kematian Yosua. Bahwa dirinya menembak seniornya itu semata karena perintah atasannya, Ferdy Sambo.
Diketahui Bharada E dalam kasus pembunuhan Brigadir J berperan sebagai eksekutor.
Ia mengaku disuruh Ferdy Sambo menembak Brigadir J. (Tir)
(*)
Baca Berita Tribun Manado Terbaru DI SINI
Baca Berita Lainnya di Google News
Telah tayang di Kompas.com