Heinz Pearly Wokas, Head of School Sekolah Dian Harapan Holland Village Manado
JIKA nilai 100 saat ujian dijadikan prasyarat untuk menentukan apakah seorang murid bisa dikatakan sebagai penggemar mata pelajaran IPA, maka saya tidak akan masuk hitungan. Saat SD, saya senang belajar IPA.
Tapi sekadar senang saja. Tidak lebih.
Namun, perasaan tersebut berubah sangat signifikan saat saya duduk di bangku SMP. Saat itu di akhir 1990.
Sudah sekitar 30 tahun yang lalu. Tidak ada koneksi internet berkecepatan tinggi dan smartphone.
Buku pelajaran saja masih sangat terbatas. Bersyukur jika 1 buku pelajaran bisa bergantian digunakan oleh 5 orang murid.
Pagi itu tidak seperti minggu sebelumnya. Pak John (bukan nama sebenarnya) tidak menuliskan apa-apa di papan tulis sebagai penanda kelas dimulai.
Usia papan tulis di kelas kami sepertinya sudah melebihi usia kami.
Biasanya jika tulisan Pak John tidak terlalu jelas, maka para murid akan bergantian bertanya untuk mengklarifikasi apa yang beliau tulis.
Alih-alih mengambil kapur putih dari kotak penyimpanan, Pak John mengambil sebuah lilin dan korek api.
Sambil menatap mata setiap murid di kelasnya, Pak John dengan wibawanya mampu menghipnotis kami sehingga kami semua duduk diam menanti apa yang akan beliau lakukan.
Setelah semua mata tertuju padanya, ia mematik korek api dan mengarahkan ke ujung lilin yang sedang ia genggam.
Kami menanti dengan sigap apa yang akan beliau lakukan setelah itu.
Tanpa memberi instruksi apa-apa, beliau kemudian meniup lilin tersebut. Tidak ada yang mengangkat tangan dan bertanya.
Kelas begitu hening. Saat kami sedang mengantisipasi apa yang hendak beliau lakukan selanjutnya, beliau menanyakan pertanyaan ini: “Kemana apinya?”
Apa yang dilakukan oleh Pak John kita kenal dengan istilah eksperimen. Lebih tepat eksperimen sederhana.
Namun, ternyata eksperimen sederhana tersebut menjadi momen ajaib yang digunakan oleh Tuhan untuk membuka mata saya.
Setelah momen ajaib tersebut, saya mulai terbiasa menanyakan hal-hal yang sebelumnya saya anggap sebagai hal-hal yang biasa saja.
Momen tersebut membuat hati saya berkobar-kobar. Rekan-rekan saya mulai bereaksi dengan membagikan pendapat mereka.
Kelas yang sebelumnya hening sekarang dipenuhi dengan suara murid-murid yang saling menanyakan alasan atas jawaban yang mereka berikan.
Apa yang dilakukan oleh Pak John sebenarnya adalah tugas dari guru. Guru menginspirasi.
Guru membangkitkan keingintahuan dari para murid. Guru menantang murid untuk menjadi pelajar mandiri. Guru mendorong murid untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut.
Saya yakin para pembaca juga memiliki pengalaman seperti yang saya bagikan di atas.
Satu momen istimewa yang kemudian menyalakan kecintaan kita akan satu mata pelajaran yang kemudian memimpin kita ke kondisi kehidupan kita saat ini.
Karena satu momen istimewa seperti itu, maka sekarang di antara pembaca ada yang menjadi ilmuwan, insinyur, dokter, akuntan, sastrawan, seniman, atau guru.
Menginspirasi adalah salah satu kemampuan yang dimiliki oleh guru. Kemampuan tersebut bagaikan superpower.
Saat diaktifkan, momen-momen ajaib bisa dengan mudah kita jumpai di ruang-ruang kelas di sekolah.
Para murid yang sebelumya kurang terlibat dalam pembelajaran, sekarang menjadi bersemangat dan ingin melakukan eksplorasi lebih lanjut akan topik yang sedang dipelajari. Sesuatu yang sulit dilakukan oleh teknologi.
Pandemi yang melanda seluruh dunia hampir 2 tahun terakhir, seakan menunjukkan kembali signifikansi seorang guru di dalam ruang kelas.
Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan. Dalam 2 tahun terakhir, momen-momen ajaib seakan terhilang. Teknologi virtual belum mampu menggantikan signifikansi interaksi langsung antara murid dan guru.
Saat ini kita diekspose dengan 1 teknologi yang akan berkembang dengan sangat signifikan kedepan, yaitu metaverse.
Teknologi ini memungkinkan 2 atau lebih orang bertemu di ruang virtual tanpa perlu hadir di ruang yang sama.
Apakah proses pendidikan akan terdampak? Menurut observasi saya, hal tersebut sangat mungkin.
Apalagi dengan perkembangan internet berkecepatan tinggi yang sedang diupayakan oleh pemerintah.
Teknologi 5G yang sudah dinikmati beberapa wilayah di Indonesia memungkinkan adanya inovasi-inovasi baru dalam hal teknologi pendidikan.
Hal ini tentu seharusnya membuat kita semakin optimis, terutama ketika kita mengevaluasi kondisi pendidikan di negara kita yang masih timpang.
Percepatan dan pemerataan pembangunan, memungkinkan akses pendidikan yang berkualitas bisa dinikmati oleh seluruh anak Indonesia.
Alhasil, jurang pemisah yang selama ini terus menjadi momok, perlahan-lahan bisa dibereskan.
Namun, perkembangan teknologi tersebut tidak serta merta bisa menggantikan posisi guru.
Terutama para guru yang terus bergerak dengan hati saat mengajar. Kondisi yang kita alami saat ini semakin mempertegas sentralitas peran guru dalam proses pendidikan.
Di momentum hari guru nasional 2021, mari kita bersama-sama bergerak memulihkan pendidikan dan mewujudkan pelajar Indonesia sesuai dengan profil pelajar Pancasila. (*)