Profil Tokoh

Profil Letjen TNI S Parman, Jenderal AD yang Cerdas Jadi Korban G30S PKI, Penentang Komunisme

Editor: Frandi Piring
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Letnan Jendral S Parman korban G30 SPKI 1954.

TRIBUNMANADO.CO.ID - Profil Letjen Siswondo Parman atau S Parman, jenderal yang menjadi salah satu korban di malam kelam 30 September 1965.

Jenderal S Parman ditemukan tewas dibunuh sekelompok pemberontak di Lubang Buaya.

Ia ditangkap bersama 5 jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat dan ajudan jenderal pada malam itu.

Para dewan jenderal, termasuk Parman harus gugur saat pergolakan politik terjadi di tahun 1965 dan mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan revolusi Republik Indonesia.

Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman ditemukan gugur di lubang buaya, bersama 5 Jenderal AD lainnya dan satu perwira pertama TNI.

S Parman adalah anak ke enam dari 11 bersaudara yang lahir di Wonosobo, Jawa Tengah pada 4 Agustus 1918.

Ayah S Parman bernama Kromodihardjo.

Ia juga memiliki kakak laki-laki bernama Ir. Sakirman yang hidup bersebelah perahu dengannya.

Ir Sakirman menjadi petinggi di Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada saat itu, S Parman merupakan penentang keras komunisme.

Riwayat Pendidikan

Parman menyelesaikan pendidikan dasar di HIS (Hollandsch Inlandsche School) lalu melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebried Lager Onderwijs) di Yogyakarta dan AMS (Algemeene Middelbare School).

Namun saat duduk di AMS, sekolah setingkat SMA di tahun 1937, sang ayah meninggal dunia.

Hal ini membuat Parman sempat berhenti sekolah hingga dua tahun dan membantu sang ibu berjualan di Pasar Wonosobo.

Parman kemudian menyelesaikan sekolahnya di AMS dan melanjutkan ke Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta.

Namun invasi Jepang di tahun 1942 membuat Parman kembali berhenti sekolah.

Parman kemudian menjadi penerjemah bagi polisi militer Jepang yaitu Kenpetai.

[Napak Tilas Sejarah Kelam PKI #7]

Gaduh dan berisik, suara burung sriti itu begitu rapat dan memekakkan telinga. Arah pandangan Jenderal S. Parman masih tertuju pada langit-langit rumahnya. Suaranya semakin nyaring tak beraturan dan tidak mengada-ada.

Benar-benar memecah kesunyian di malam Kamis menuju Jumat yang membuatanya sulit untuk memejamkan mata.

Di dalam kamarnya, Bu Parman berusaha menenangkan suaminya yang terjaga dan gelisah di ujung ranjang. Namun suara Sriti itu masih terdengar jelas dan semakin lantang di telinga sang jenderal.

Seperti masuk dan terjebak di dalam rumah, seperti firasat yang tak jelas dari mana datangnya.

Berikutnya suara sepatu lars ikut ‘memeriahkan’ indera pendengarannya. Ya suara itu nyata, seperti derap langkah banyak orang di depan rumahnya. Ia segera bergegas keluar kamar diikuti oleh Bu Parman yang mencoba menahan suaminya ketika suara pintu depan diketuk keras dari luar.
“Siapa?”

“Cakra” jawab tamu tak diundang tersebut.

Betapa luar biasa heran sang empu rumah tersebut, gerombolan Cakrabirawa telah bersiap disepanjang rumah hingga ke jalan depan.

“Bapak Presiden meminta Jenderal menghadap sekarang juga. Keadaan negara genting, Jenderal!” lanjut Serma Satar, diantara gerombolan yang datang.

“Baik!” Sang jenderal dengan track record dan pencapaian karir militer luar biasa tersebut masuk kembali untuk mematut diri.

“Loh, kenapa ikut masuk?” Bu Parman mulai gelisah ketika Satar yang diikuti Chareun dan Susanto mengikuti Pak Parman dalam jarak dekat dan dengan senjata terkokang.

Ketegangan mulai mencapai klimaksnya saat Bu Parman mencoba menghubungi Pak Yani, namun kabel telepon diputus.

Moncong senapan dari berbagai sudut terarah pada Pak Parman saat ia keluar kamar dengan seragam kedinasannya. Ia lalu digiring keluar rumah, menuju gerombolan pasukan yang telah bersiap diluar untuk segera berlalu menggunakan bus serta truk,..

meninggalkan Bu Parman yg hanya diam tercekat, dalam getir, dalam kecemasan yang menghunus relung hatinya.

#KisahYangTerkenang
#PahlawanRevolusi

Respot kak @ahmad.nowmenta

#HistoryGram #HistoryEnthusiast #TimeTraveler

Perjalanan Karir

Setelah Indonesia Merdeka, Parman memilih terjun ke dunia militer sebagai bentuk pengabdian kepada negara.

Parman mengawali karier militer dengan menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Pada Desember 1945, Parman diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi (PT) di Yogyakarta.

Parman bahkan ikut bergerilya hingga luar kota selama Agresi Militer II.

Setelah Agresi Militer II pada Desember 1949, Parman ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya.

Parman juga sempat mengenyam pendidikan di Koninklijke Militaire Academie (semacam AKMIL) di Breda, Belanda.

Parman kemudian diangkat menjadi Asisten I Men Pangad bidang intelijen dengan pangkat Brigadir Jenderal.

Pangkatnya naik menjadi Mayor Jenderal pada Agustus 1964.

Saat Parman menjabat sebagai Asisten I bidang inetelijen, pengaruh PKI telah meluas dan menjadikannya sebagai musuh angkatan darat.

PKI menyebar opini publik bahwa AD berniat menggulingkan kepemimpinan Presiden Soekarno.

Parman merupakan satu di antara beberapa pihak yang menentang keras rencana tersebut.

Selanjutnya perang ideologi dan propaganda semakin meluas dan melibatkan banyak unsur di Indonesia.

Saling tuding pun terjadi, PKI dituding berupaya mengganti ideologi Pancasila dengan Komunis.

Perang urat saraf antar fraksi politik dan ideologi di Indonesia semakin parah.

Berbagai macam kepentingan berkelindan di dalamnya dari berbagai pihak.

Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, Parman diculik gerombolan yang mengatasnamakan G30S.

Di Lubang Buaya, Parman ditembak dan jasadnya baru ditemukan tanggal 4 Oktober 1965.

Siswondo Parman dimakamkan di TMP Kalibata pada 5 Oktober 1965 dan mendapat gelar Letnan Jenderal Anumera.

Banyak pihak yang menuding PKI ada di balik dalang penculikan beberapa Jenderal Angkatan Darat termasuk S Parman.

Kemudian babak baru sejarah Indonesia di mulai. PKI dibubarkan, Soekarno jatuh, ribuan rakyat Indonesia mengalami penangkapan

dan pembunuhan tanpa proses pengadilan karena dituduh terlibat G30S.

Dan pada akhirnya, Soeharto diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia, mengawali zaman Orde Baru.

Kisah Sebelum Wafat

Sebelum diculik dan meninggal dunia di Lubang Buaya, Siswondo Parman punya kebiasaan setiap malam Jumat, yaitu tidak tidur sebelum pukul 24.00.

Seperti yang dilakukan Siswondo Parman dan istrinya pada malam sebelum diculik, Kamis 30 September 1965.

Sebelum tidur, Parman dan sang istri dikejutkan dengan banyaknya burung gereja dan burung sriti di kamar tamu.

Pada pukul 04.00, keheningan di rumah Parman pecah saat sejumlah kendaraan truk datang berisikan prajurit Tjakra dan membangunkan pasangan itu.

Salah seorang prajurit mengatakan kepada Parman bahwa keadaan negara sedang genting.

Sumirahayu yang curiga bahkan sempat menanyakan surat perinyah dan identitas si penjemput.

Saat keluar rumah, Siswondo Parman kaget lantaran banyak prajurit Tjakra di halaman,

Parman pun memerintahkan Sumirahayu menghubungi Menpangad Letjen Ahmad Yani namun smabungan telepon rumah telah diputus.

Tak hanya burung gereja dan burung sriti, sebelum meninggal dunia, Parman juga berpesan agar dimakamkan di TMP Kalibata jika dirinya wafat.

Parman bahkan meminta agar batu nisannya nanti bertuliskan 'Pejuang Sejati'.

(*)

Berita Terkini