TRIBUNMANADO.CO.ID - Kisah Jenderal Abdul Haris Nasution yang selamat dari pembantaian G30S PKI tahun 1965 silam.
Peristiwa berdarah 30 September malam hingga 1 Oktober subuh yang menewaskan 5 dewan Jenderal TNI AD dan seorang perwira pertama.
Jenderal AH Nasution menjadi salah satu dari 6 dewan jenderal yang diculik kala itu oleh pasukan Cakrabirawa.
Dari enam dewan jenderal tersebut hanya AH Nasution yang selamat.
Jenderal AH Nasution merupakan salah satu nama yang masuk dalam beberapa target jenderal yang dihabisi pada peristiwa Gerakan 30 September/ PKI (G30S/PKI).
Bagaimana kisah Jenderal AH Nasution selamat dari pembantaian G30S PKI?
Diselamatkan Istri
Sang istri Johanna Sunarti Nasution, lah yang berperan besar dalam penyelematan heroik Jenderal AH Nasution dan sosok ajudan Pierre Andries Tendean atau Pierre Tendean.
Dilansir dari Wartakotalive, namun hal itu harus dibayar mahal dengan kematian sang anak Ade Irma Suryani.
Putri AH Nasution dan Johanna yang baru berusia 5 tahun tersebut tewas menjadi korban peristiwa G30S/PKI.
Gadis kecil itu bersimbah darah dalam pelukan Johanna Sunarti Nasution.
Selain sosok Johanna, ajudan AH Nasution yakni Pierre Tendean, berperan besar menyelamatkan jenderal Nasution.
Pada akhirnya, Pierre Tendean gugur dan kini dikenang sebagai salah satu Pahlawan Revolusi.
Anak sulung AH Nasution, Hendrianti Sahara Nasution menceritakan peritiwa yang merenggut nyawa adiknya itu.
Dalam wawancara yang disiarkan oleh TV One, Hendrianti mengatakan sang adik tewas tertembak dari jarak dekat.
Hendrianti menggambarkan peristiwa berdarah itu di tempat kejadian, di kediaman AH Nasution yang kini dijadikan museum, di Menteng, Jakarta Pusat.
Pada pukul 03.30 WIB dini hari, Jenderal AH Nasution dan istrinya Johanna terbangun dari tidur.
"Pukul 03.30 pagi, ibu saya dan ayah terbangun gara-gara nyamuk. Terdengar pintu digerebek, ibu saya melihat pasukan Cakrabirawa masuk," kata Hendrianti.
Menyadari hal tersebut, istri Jenderal AH Nasution yakni Johanna Sunarti Nasution langsung menutup pintu.
"Itu yang akan membunuh kamu sudah datang," kata Johanna kepada suaminya.
Kemudian, pasukan Cakrabirawa menembaki pintu tersebut.
"Lalu bapak (AH Nasution) bangun dan bilang biar saya hadapi, tapi ibu bilang jangan," kata Hendrianti.
Saat penyerbuan terjadi, Ade Irma Suryani bersama ayah dan ibunya.
Johanna berusaha melindungi AH Nasution, ia menyerahkan Ade Irma Suryani kepada adik iparnya.
"Ibu bilang ke adik bapak, tolong pegang Irma, karena dia harus menyelamatkan bapak. Sementara ibu beliau nangis lihat ayah ditembak," cerita Hendrianti.
Adik AH Nasution menuruti permintaan Johanna, ia menggendong Ade Irma Suryani.
Namun, ia panik dan tak sengaja membuka pintu yang diberondong oleh pasukan Cakrabirawa.
"Langsung, (pasukan Cakrabirawa) menembak adik saya. Jaraknya segini (sambil menunjuk diorama tempat ditembaknya Ade Irma dalam jarak dekat)," katanya.
Peluru tersebut akhirnya menembus badan Ade Irma Suryani.
"Adik saya ditembak, peluru masuk ke tangan tante saya, dan menembus ke badan adik saya," ujarnya.
Setelah Ade Irma Suryani tertembak, pintu ditutup kembali oleh Johanna Nasution.
Ia langsung menggendong tubuh anaknya yang bersimbah darah, sambil mengantar AH Nasution untuk menyelamatkan diri.
Bahkan Hendrianti mengatakan darah versi asli lebih banyak dibandingkan yang ada di diorama.
Ternyata ada sekitar tiga peluru yang bersarang di punggung kecil Ade Irma Suryani.
Mengutip dari halaman Facebook Museum of Jenderal Besar Dr AH Nasution, Hendrianti menjelaskan saat peritiwa itu terjadi usianya masih 13 tahun.
Saat rumahnya dikepung Cakrabirawa, ia tidur di kamar seberang kamar orangtuanya.
Ia terbangun saat mendengar suara tembakan.
Putri sulung AH Nasution itu berusaha menyelamatkan diri dengan cara melompat dari jendela yang tingginya 2 meter.
"Sampai tulang kaki saya patah yang saya rasakan sakitnya sampai sekarang, paha kaki saya yang kanan penuh dengan pen penyambung tulang," ucapnya.
Sambil menahan rasa sakit, ia mencari ajudan.
Ia kemudian bersembunyi di kamar ajudan dan diberi tahu keselamatan keluarganya sedang di ujung tanduk.
"Tak berapa lama terjadi ribut-ribut di ruang jaga dan ajudan pak Nas Lettu Czi Pierre Tendean diculik. Sampai pagi saya bersembunyi," katanya.
Setelah hari menjelang pagi, Johanna mencari Hendrianti sambil menggendong Ade Irma yang terluka.
AH Nasution menyelamatkan diri dengan cara melompat pagar ke Kedubes Irak yang ada di sebelah.
Ia bersembunyi di belakang tong untuk menyelamatkan diri dari penculikan dan pembunuhan.
Ade Irma dibawa ke RSPAD untuk diberikan pertolongan.
Gadis kecil itu harus menjalani operasi beberapa kali.
Hendrianti yang tak kuasa melihat adiknya yang bersimbah darah hanya bisa menangis.
"Adik saya bilang, 'Kakak jangan nangis, adik sehat'," katanya.
Selain menenangkan Hendrianti, Ade Irma juga bertanya kepada sang ibu.
"Adik tanya ke ibu saya, 'Kenapa ayah mau dibunuh mama?"
Kalimat tersebut diucapkan sebelum Ade Irma Suryani meninggal dunia.
Ia menghembuskan napas terakhirnya setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.
"Tanggal 6 Oktober adik saya dipanggil Allah. Saya sebagai manusia sudah memaafkan mereka tapi peritiwa ini tidak boleh dilupakan," ucapnya.
Tragedi dini hari pada 1 Oktober 1965 mengakhiri hidup Pierre Tendean pada peristiwa G30S/PKI.
Tidak hanya mengawal Jenderal AH Nasution, Lettu Pierre Tendean pun akrab dengan Ade Irma Suryani.
Potret berdua mereka bahkan terpajang di Museum AH Nasution.
Namun, segala kecemerlangan dalam bidang militer dan masa depan cerah Lettu Pierre Tendean harus berakhir.
Saat itu (30/9/1965) Lettu Pierre Tendean biasanya pulang ke Semarang merayakan ulang tahun sang ibu.
Namun, ia menunda kepulangannya karena tugasnya sebagai pengawal Jenderal AH Nasution.
Ia tengah beristirahat di ruang tamu, di rumah Jenderal AH Nasution, Jalan Teuku Umar Nomor 40, Jakarta Pusat.
Namun, waktu istirahatnya terganggu karena ada keributan.
Lettu Pierre Tendean pun langsung bergegas mencari sumber keributan itu.
Ternyata keributan itu berasal dari segerombol orang.
Disebutkan bawah orang-orang yang datang ke rumah AH Nasution adalah pasukan Cakrabirawa.
Mereka pun menodongkan senjata pada Lettu Pierre Tendean.
Lettu Pierre Tendean tak bisa berkutik. Ia dikepung pasukan itu.
Demi melindungi atasan, Lettu Pierre Tendean pun menyebut dirinya sebagai Jenderal AH Nasution.
"Saya Jenderal AH Nasution," ujarnya.
Akhirnya, ia yang dikira Jenderal AH Nasution langsung diculik.
Sementara itu, nyawa putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma, tak tertolong karena tertembak.
Pada akhirnya, Lettu Pierre Tendean harus gugur di tangan orang-orang yang menyerangnya.
Meski Pierre Tendean tak lagi bernyawa, kakinya diikat lalu dimasukkan ke dalam sumur, di Lubang Buaya.
Pada usianya yang masih muda, Lettu Pierre Tendean tinggal menjadi kenangan dalam peristiwa mengerikan itu.
Kematiannya memberikan luka mendalam terhadap keluarganya.
Padahal, pada November 1965, Lettu Pierre Tendean dijadwalkan akan menikahi Rukmini Chaimin di Medan.
Takdir berkata lain. Ia meninggal mengatasnamakan atasannya di depan para pembunuh itu.
Sebagai bentuk penghormatan, ia pun dinaikkan pangkatnya menjadi kapten.
Kapten Tendean pun ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada 5 Oktober 1965.
Profil AH Nasution
Dilansir dari wikipedia, Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh TNI AD yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September.
Kehidupan awal
Nasution dilahirkan di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara, dari keluarga Batak Muslim.
Ia adalah anak kedua dan juga merupakan putra tertua dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi, dan merupakan anggota dari organisasi Sarekat Islam.
Ayahnya, yang sangat religius, ingin anaknya untuk belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin dia belajar kedokteran di Batavia.
Namun, setelah lulus dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi.
Pada tahun 1935 Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi, di sana ia tinggal selama tiga tahun.
Keinginannya untuk menjadi guru secara bertahap memudar saat minatnya dalam politik tumbuh.
Dia diam-diam membeli buku yang ditulis oleh Soekarno dan membacanya dengan teman-temannya. Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatra dan mengajar di Bengkulu, ia tinggal di dekat rumah pengasingan Soekarno.
Dia kadang-kadang berbicara dengan Soekarno, dan mendengarnya berpidato.
Setahun kemudian Nasution pindah ke Tanjung Raja, dekat Palembang, di mana ia melanjutkan mengajar, tetapi ia menjadi lebih dan lebih tertarik pada politik dan militer.
Pada tahun 1940, Jerman Nazi menduduki Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia.
Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer.
Seiring dengan beberapa orang Indonesia lainnya, ia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan.
Pada bulan September 1940 ia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan. Dia kemudian menjadi seorang perwira di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).
Pada tahun 1942 Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia.
Pada saat itu, Nasution di Surabaya, ia ditempatkan di sana untuk mempertahankan pelabuhan.
Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi, karena ia takut ditangkap oleh Jepang.
Namun, ia kemudian membantu milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan membawa pesan, tetapi tidak benar-benar menjadi anggota.
Keluarga dan akhir hayat
Nasution menikah dengan Johanna Sunarti, bersamanya ia memiliki dua anak perempuan, salah satunya adalah Ade Irma Suryani Nasution yang tewas dalam peristiwa G30S/PKI.
Istrinya meninggal pada tahun 2010 dalam usia 87.
Nasution sendiri meninggal pada 6 September 2000 di Jakarta setelah menderita stroke dan kemudian koma.
Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Revolusi Nasional Indonesia RNI
Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada bulan Mei 1946, ia diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat.
Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masa depan.
Pada bulan Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menandatangani Perjanjian Renville, membagi Jawa antara daerah yang dikuasai Belanda dan Indonesia.
Karena wilayah yang diduduki oleh Belanda termasuk Jawa Barat, Nasution dipaksa untuk memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah.
Wakil Panglima
Pada 1948 Nasution naik ke posisi Wakil Panglima TKR. Meskipun hanya berpangkat Kolonel, penunjukan ini membuat Nasution menjadi orang paling kuat kedua di TKR, setelah Jenderal Soedirman.
Nasution segera pergi untuk bekerja dalam peran barunya. Pada bulan April, ia membantu Soedirman mereorganisasi struktur pasukan.
Pada bulan Juni, pada sebuah pertemuan, saran Nasution bahwa TKR harus melakukan perang gerilya melawan Belanda disetujui.
Pada 30 September, Madiun diambil alih oleh pasukan republik dari Divisi Siliwangi.
Ribuan anggota partai komunis tewas dan 36.000 lainnya dipenjara.
Di antara yang terbunuh adalah Musso pada 31 Oktober, diduga ia terbunuh ketika mencoba melarikan diri dari penjara.
Pemimpin PKI lainnya seperti DN Aidit pergi ke pengasingan di Cina.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan sukses di Yogyakarta dan kemudian mendudukinya.
Nasution, bersama-sama dengan TKR dan para komandan lainnya, mundur ke pedesaan untuk melawan dengan taktik perang gerilya.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan Belanda, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan di Sumatra.
Dalam pemerintahan sementara ini, Nasution diberikan posisi Komandan Angkatan Darat dan Teritorial Jawa.
Setelah pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, PDRI mngembalikan kekuasaan kepada Soekarno dan Hatta, dan Nasution kembali ke posisinya sebagai Wakil Panglima Soedirman.
Era Demokrasi Parlementer
Pada tahun 1950, Nasution mengambil posisinya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, dengan T.B. Simatupang menggantikan Soedirman yang telah meninggal dunia sebagai Kepala Staf Angkatan Perang.
Pada tahun 1952, Nasution dan Simatupang memutuskan untuk mengadopsi kebijakan restrukturisasi dan reorganisasi untuk ABRI.
Dalam pengaturan ini, Nasution dan Simatupang berharap untuk menciptakan tentara yang lebih kecil tetapi yang lebih modern dan profesional.
Nasution dan Simatupang, yang keduanya telah dilatih oleh pemerintah kolonial Belanda ingin melepaskan para prajurit yang dilatih oleh Jepang dan mengintegrasikan lebih banyak tentara yang dilatih oleh Belanda.
Namun hal ini ditentang oleh Bambang Supeno yang merupakan pimpinan prajurit yang dilatih oleh Jepang.
Peristiwa 17 Oktober
Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan mereka dalam unjuk kekuatan.
Memprotes campur tangan sipil dalam urusan militer, pasukan Nasution dan Simatupang mengelilingi Istana Kepresidenan dan mengarahkan moncong meriam ke Istana.
Permintaan mereka ke Soekarno adalah mengajukan tuntutan pembubaran DPR. Untuk alasan ini, Nasution dan Simatupang juga memobilisasi demonstran sipil.
Soekarno keluar dari Istana Kepresidenan dan meyakinkan baik tentara dan warga sipil untuk pulang. Nasution dan Simatupang telah dikalahkan.
Nasution dan Simatupang kemudian diperiksa oleh Jaksa Agung Suprapto.
Pada bulan Desember 1952, mereka berdua kehilangan posisi mereka di ABRI dan diberhentikan dari ikatan dinas.
Pokok-Pokok Gerilya
Ketika ia bukan lagi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution menulis sebuah buku berjudul Pokok-Pokok Gerilya.
Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman Nasution sendiri yang berjuang dan mengorganisir perang gerilya selama Perang Kemerdekaan Indonesia.
Awalnya buku ini dirilis pada tahun 1953, dan menjadi salah satu buku yang paling banyak dipelajari pada perang gerilya bersama dengan karya-karya Mao Zedong pada subjek yang sama.
Periode kedua sebagai KSAD
Pada 7 November 1955, setelah tiga tahun pengasingan, Nasution diangkat kembali ke posisi lamanya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Dia segera mulai bekerja pada angkatan darat dan strukturnya dengan mengadopsi pendekatan tiga kali lipat.
Pemberontakan PRRI
Pada akhir 1956, ada tuntutan dari panglima daerah di Sumatra untuk otonomi yang lebih di provinsi-provinsi mereka.
Ketika tuntutan ini tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, pasukan mulai memberontak, dan pada awal 1957, telah tegas mengambil alih pemerintahan di Sumatra.
Kemudian, pada tanggal 15 Februari 1958, Letkol Ahmad Husein menyatakan pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Hal ini mendorong pemerintah pusat untuk menggelar pasukan.
Sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution biasanya telah terlibat dalam memobilisasi pasukan ke Sumatra. Namun, kali ini Kolonel Ahmad Yani yang ditugaskan memimpin pasukan kesana dan berhasil menumpas pemberontakan.
Kembali ke UUD 1945
Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekret yang menyatakan bahwa Indonesia sekarang akan kembali ke UUD 1945 yang asli.
Sistem demokrasi parlementer akan berakhir dan Soekarno sekarang adalah Kepala Pemerintahan dan sekaligus Kepala Negara.
Nasution diangkat menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan di Kabinet Soekarno, sambil terus memegang posisi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Era Demokrasi Terpimpin
Sejak 1956, Nasution telah berusaha untuk membasmi korupsi di Angkatan Darat, tetapi kembali berlakunya UUD 1945 tampaknya telah memperbaharui tekadnya dalam hal ini.
Dia percaya bahwa tentara harus memberi contoh untuk seluruh masyarakat.
Tidak lama setelah keputusan Soekarno, Nasution mengirim Brigadir Jenderal Sungkono untuk menyelidiki transaksi keuangan dari Kodam IV/Diponegoro dan panglimanya, Kolonel Soeharto.
Irian Barat
Selama perjuangan kemerdekaan, Soekarno selalu menganggap Irian Barat juga termasuk sebagai Indonesia. Ketika Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia, Irian Barat terus menjadi koloni Belanda.
Soekarno tidak menyerah dan terus mendorong Irian Barat harus dimasukkan sebagai bagian dari Indonesia melalui PBB dan melalui Konferensi Asia–Afrika, di mana negara-negara yang hadir berjanji untuk mendukung klaim Indonesia. Belanda tetap terus bersikeras.
Pada tahun 1960, Soekarno sudah kehabisan kesabaran. Pada bulan Juli, ia bertemu dengan penasihat utamanya, termasuk Nasution, dan disepakati bahwa Indonesia akan mengejar kebijakan konfrontasi melawan Belanda pada masalah Irian Barat.
Rivalitas dengan PKI
Pada saat ini, Soekarno mulai melihat PKI sebagai sekutu politik utamanya, bukan tentara lagi.
Meskipun ia telah menetapkan Indonesia nonblok selama Perang Dingin, pernyataan bahwa PRRI diberi bantuan oleh Amerika Serikat, menyebabkan Soekarno mengadopsi sikap anti-Amerika.
Dalam hal ini, ia memiliki PKI sebagai sekutu alami. Bagi PKI, bersekutu dengan Soekarno hanya akan menambah momentum politik sebagai pengaruh mereka terus tumbuh dalam politik Indonesia.
Perbedaan dengan Yani
Nasution segera mulai mengembangkan sikap permusuhan terhadap Yani. Keduanya, baik Nasution dan Yani sama-sama anti-komunis, tetapi sikap mereka terhadap Soekarno berbeda.
Nasution mengkritik Soekarno yang dianggap mendukung PKI, sementara Yani, seorang loyalis Soekarno, mengambil sikap yang lebih lembut.
Nasution mengkritik sikap lembut Yani dan hubungan antara keduanya memburuk.
Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, Yani mulai menggantikan komandan daerah yang dekat dengan Nasution dengan mereka yang dekat dengan dirinya.
Kehilangan Kesempatan
Meskipun Soeharto telah menjadi tokoh kunci pada 1 Oktober, banyak perwira Angkatan Darat lainnya masih berpaling ke Nasution untuk kepemimpinan dan mengharapkannya untuk mengambil kontrol yang lebih menentukan situasi.
Namun, Nasution tampak ragu-ragu dan perlahan tetapi pasti dukungan mulai menjauh darinya. Mungkin alasan ini adalah karena ia masih berduka atas putrinya, Ade Irma, yang meninggal pada tanggal 6 Oktober.
Dalam beberapa minggu pertama setelah G30S, Nasution-lah yang terus-menerus melobi Soekarno untuk menunjuk Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat.
Soekarno, yang setelah 1 Oktober tetap menginginkan Pranoto sebagai pimpinan angkatan darat, awalnya menjadikan Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib, tetapi dengan lobi terus-menerus yang dilakukan Nasution, Soekarno akhirnya dibujuk dan pada tanggal 14 Oktober 1965, ditunjuklah Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat.
Sebuah peluang emas datang ke Nasution pada bulan Desember 1965 ketika ada pembicaraan tentang penunjukkan dirinya sebagai wakil presiden untuk membantu Soekarno dalam masa ketidakpastian.
Nasution tidak memanfaatkan ini dan memilih untuk tidak melakukan apa-apa.
Soeharto mengambil inisiatif pada awal 1966 dengan mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa tidak ada kebutuhan untuk mengisi kursi wakil presiden yang kosong.
Pada 24 Februari 1966, Nasution tidak lagi menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam perombakan kabinet.
Posisi Kepala Staf ABRI juga dihapuskan.
Pada tahap ini, harapan bahwa Nasution akan melakukan sesuatu sekarang telah hilang, para perwira militer dan gerakan mahasiswa berada di belakang Soeharto. Namun demikian, ia terus menjadi tokoh yang dihormati, banyak perwira militer megunjunginya pada hari-hari menjelang penandatanganan Supersemar, dokumen penyerahan kewenangan dari Soekarno ke Soeharto.
Bahkan, ketika Soeharto hendak pergi Markas Kostrad untuk menunggu pengiriman Supersemar, dia menelepon Nasution dan meminta restunya.
Istri Nasution memberi restu atas nama Nasution, yang tidak hadir.
Indra politik Nasution tampaknya telah kembali setelah Soeharto menerima Supersemar.
Itu mungkin karena dia yang pertama kali menyadari bahwa Supersemar tidak hanya memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto tetapi juga memberinya kontrol eksekutif.
Pada 12 Maret 1966, setelah Soeharto melarang keberadaan PKI, Nasution menyarankan kepada Soeharto bahwa ia membentuk kabinet darurat.
Soeharto, masih hati-hati tentang apa yang dia bisa atau tidak bisa lakukan dengan kekuatan barunya, karena pembentukan kabinet adalah tanggung jawab presiden.
Nasution mendorong Soeharto, berjanji untuk memberikan dukungan penuh tetapi Soeharto tidak menanggapi dan percakapan berakhir tiba-tiba.
Ketua MPRS
Dengan kekuatan barunya, Soeharto mulai membersihkan pemerintahan dari pengaruh komunis.
Setelah penangkapan 15 menteri kabinet pada 18 Maret 1966, Soeharto mengincar MPRS, mencopot anggota yang dianggap simpatisan komunis dan menggantinya dengan anggota yang lebih bersimpati pada tujuan militer.
Selama pembersihan, MPRS juga kehilangan ketuanya, Chaerul Saleh, dan ada kebutuhan untuk mengisi posisi yang kosong.
Nasution adalah pilihan yang sangat populer karena semua fraksi di MPRS menominasikan dia untuk posisi Ketua MPRS.
Namun, Nasution menunggu sampai Soeharto menyatakan dukungan untuk pencalonannya sebelum menerima nominasi.
Pada 20 Juni 1966, Sidang Umum MPRS dimulai. Nasution menetapkan Supersemar sebagai agenda pertama yang akan dibahas dalam daftar dengan berjalan ke aula pertemuan dengan dokumen yang sebenarnya.
Keesokan harinya, pada 21 Juni, MPRS meratifikasi Supersemar, sehingga ilegal bagi Soekarno untuk menariknya kembali. Pada 22 Juni, Soekarno menyampaikan pidato berjudul Nawaksara (Sembilan butir) di depan sidang.
Nasution dan anggota MPRS lainnya merasa kecewa. Soekarno tidak menyebutkan apa-apa tentang G30S.
Sebaliknya, Soekarno tampaknya memberikan penjelasan tentang pengangkatannya sebagai presiden seumur hidup, rencana kerjanya sebagai presiden, dan bagaimana Konstitusi bekerja dalam praktik.
MPRS menolak untuk meratifikasi pidato ini.
Selama dua minggu ke depan, Nasution sibuk memimpin Sidang Umum MPRS.
Di bawah kepemimpinannya, MPRS mengambil langkah-langkah seperti melarang paham Marxisme-Leninisme, mencabut keputusan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memerintahkan pemilihan legislatif yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1968.
Sidang Umum MPRS juga meningkatkan kekuasaan Soeharto dengan secara resmi memerintahkannya untuk merumuskan kabinet baru.
Sebuah keputusan juga disahkan yang menyatakan bahwa jika presiden tidak mampu melaksanakan tugasnya, ia kini akan digantikan oleh pemegang Supersemar, bukan wakil presiden.
Tahun 1966 pun berlalu, Soekarno semakin defensif dan popularitasnya di kalangan rakyat Indonesia semakin menurun.
Soeharto, yang tahu bahwa kemenangan politiknya sudah dekat, turun untuk terus-menerus memberikan kata-kata meyakinkan kepada Soekarno dan membelanya dari tuntutan para demonstran.
Jenderal lainnya seperti Nasution tidak penuh belas kasihan, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus bertanggung jawab atas situasi buruk yang melanda pemerintahan dan masyarakat Indonesia pada saat itu.
Nasution juga menyerukan agar Soekarno dibawa ke pengadilan.
Pada 10 Januari 1967, Nasution dan MPRS bersidang lagi dan Soekarno menyerahkan laporannya (dia tidak menyampaikan hal itu secara pribadi sebagai pidato) yang diharapkan bisa mengatasi masalah G30S.
Diberi judul "Pelengkap Nawaksara", laporan itu berbicara tentang desakan Soekarno menyebut G30S dengan Gerakan 1 Oktober (Gestok).
Pada G30S, Soekarno mengatakan bahwa PKI membuat kesalahan besar pada pagi hari 1 Oktober, tetapi juga menambahkan bahwa hal ini disebabkan oleh kecerdikan pihak neokolonialis.
Soekarno juga menambahkan bahwa jika ia akan disalahkan atas G30S, Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat itu (Nasution) juga harus disalahkan karena tidak melihat G30S datang dan menghentikannya sebelum terjadi.
Laporan sekali lagi ditolak oleh MPRS.
Pada bulan Februari 1967, DPR-GR menyerukan Sidang Istimewa MPRS pada bulan Maret untuk mengganti Soekarno dengan Soeharto.
Soekarno tampaknya pasrah akan nasibnya, akhirnya pada 12 Maret 1967, Soekarno secara resmi dicabut mandatnya sebagai Presiden oleh MPRS.
Nasution kemudian menyumpah Soeharto ke tampuk kekuasaan sebagai pejabat presiden.
Setahun kemudian pada 27 Maret 1968, Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan Soeharto sebagai Presiden penuh.
Orde Baru
Jatuh dari kekuasaan
Meskipun bantuan dari Nasution memberinya kesempatan naik ke kekuasaan, Soeharto melihat Nasution sebagai saingan dan segera mulai bekerja untuk menyingkirkannya dari kekuasaan.
Pada tahun 1969, Nasution dilarang berbicara di Seskoad dan Akademi Militer.
Pada tahun 1971, Nasution tiba-tiba diberhentikan dari dinas militer, ketika berusia 53, dua tahun lebih cepat dari usia pensiun yakni 55 tahun.
Nasution akhirnya pada tahun 1972 digantikan oleh Idham Chalid sebagai Ketua MPRS.
Kejatuhan Nasution secara drastis tersebut membuatnya mendapatkan julukan sebagai Gelandangan Politik.
Oposisi terhadap Orde Baru
Setelah ia disingkirkan dari posisi kekuasaan, Nasution berkembang menjadi lawan politik Orde Baru.
Pada akhir tahun 70-an, rezim Soeharto telah berubah dari populer menjadi otoriter dan korup. Pada saat ini banyak suara mulai secara terbuka berbicara dan mengkritik rezim.
Setelah pemilu legislatif tahun 1977, di mana terdapat dugaan kecurangan pemilu yang dilakukan oleh Golkar, Nasution mengatakan bahwa ada krisis kepemimpinan pada masa Orde Baru.
Rekonsiliasi
Soeharto bersama Frits A Kakiailatu menjenguk AH Nasution yang sedang sakit di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta pada 13 Maret 1997.
Pada awal tahun 1990-an, Soeharto mulai mengadopsi kebijakan keterbukaan politik, dan penegakan hukum terhadap penandatangan Petisi 50 dilonggarkan.
Pada Juni 1993, ketika ia berada di rumah sakit karena sakit, Nasution dikunjungi oleh para petinggi militer.
Dia kemudian menerima kunjungan B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi.
Habibie kemudian mengundang Nasution dan penandatangan Petisi 50 lainnya untuk mengunjungi galangan kapal dan pabrik pesawat yang berada di bawah yurisdiksinya.
Pemerintah juga mulai mengklaim bahwa meskipun ada larangan perjalanan bagi para penandatangan Petisi 50, tetapi larangan tersebut tidak berlaku untuk Nasution.
Sementara itu, Nasution membantah telah mengkritik pemerintah, ia lebih memilih untuk menyebutnya sebagai "perbedaan pendapat".
Data Diri:
Nama: Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution
Lahir: 3 Desember 1918
Tempat Lahir: Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatra Utara, Hindia Belanda
Meninggal dunia: Jakarta, Indonesia, 5 September 2000
Kebangsaan: Indonesia
Partai politik: Non partai
Pasangan: Johanna Sunarti
Anak: Hendrianti Saharah
Ade Irma Suryani
Profesi Tentara
Penghargaan sipil: Pahlawan Nasional Indonesia
Dinas: Militer
Julukan: Pak Nas
Pihak:
Hindia Belanda (1941—1942)
Kekaisaran Jepang (1942—1945)
Indonesia (1945—1952, 1955—1971)
Dinas/cabang: TNI Angkatan Darat
Masa dinas: 1941–1952, 1955–1971
Pangkat: Jenderal Besar TNI
Komando: Panglima Divisi Siliwangi
Pertempuran/perang: Revolusi Nasional Indonesia
Karier:
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ke-2 (1966–1972)
Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia ke-12 (10 Juli 1959 – 24 Februari 1966)
Baca juga: Kisah Sukitman, Polisi yang Selamat dari Lubang Buaya Jadi Saksi Hidup G30S PKI, Pasrah dan Berdoa
Sumber: