TRIBUNMANADO.CO.ID - Sosok HM Soeharto atau yang dikenal dengan Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia yang menjabat selama 32 tahun, sejak tahun 1967 hingga 1998.
Soeharto merupakan Purnawirawan ABRI (saat ini TNI).
Soeharto mendapatkan gelar sebagai Jenderal Besar TNI di ujung karirnya sebagai anggota Militer TNI.
Kehidupan masa lalu Soeharto terbilang sedikit kelam.
Perpisahan ayah dan ibunya membuat ia hidup tak nyaman sering berpindah-pindah hingga menjadi pribadi yang kuat dan akhirnya bisa memimpin bangsa Indonesia selama beberapa periode.
Pak Harto, sebutan Soeharto, menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Soekarno pada 12 Maret 1967.
Penunjukan itu berdasarkan TAP MPR Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Saat itu, status Soeharto baru menjadi "pejabat presiden".
Kemudian pada 27 Maret 1968, Soeharto dilantik menjadi presiden secara penuh.
Dikutip dari Harian Kompas (23/3/1968), Soeharto disepakati menjabat kursi presiden secara penuh pada musyawarah pleno ke-5 MPRS.
Anak petani
Dilansir dari Perpustakaan Nasional RI, Soeharto lahir di Kemusuk, Yogyakarta pada 8 Juni 1921.
Ia merupakan putra dari Kertosudiro, seorang petani sekaligus asisten lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah.
Semasa kanak-kanak, Ayah dari Putra-putri Cendana itu mulai mengenyam pendidikan saat berusia 8 tahun.
Awalnya, ia disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Kemudian, ia pindah ke SD Pedes, karena sang ibu dan suaminya, Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul.
Namun, Kertosudiro memindahkan Soeharto ke sekolah di Wuryantoro. Soeharto saat itu dititipkan di rumah adik perempuan Kertosudiro.
Masuk TNI
Beranjak dewasa, Soeharto sempat terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941.
Ia juga resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah, anak Wedana pegawai Pura Mangkunegaran, Surakarta.
Pernikahan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo, di mana saat itu Soeharto berusia 26 tahun dan Hartinah berusia 24 tahun.
Setelah menikah, pasangan ini dikaruniai enam anak, yakni:
1. Siti Hardiyanti Hastuti
2. Sigit Harjojudanto
3. Bambang Trihatmodjo
4. Siti Hediati Herijadi
5. Hutomo Mandala Putra
6. Siti Hutami Endang Adiningsih.
Perjalanan karir militer
Di kemiliteran, Soeharto memulai karirnya dari pangkat sersan tentara KNIL. Kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.
Pada tahun 1949, Soeharto berhasil memimpin pasukannya dengan merebut kembali Kota Yogyakarta dari Belanda.
Ia juga pernah menjadi pengawal Panglima Besar Soedirman.
Selain itu, Soeharto juga pernah menjadi Panglima Mandala saat peristiwa Pembebasan Irian Barat.
Pada 1 Oktober 1965, Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat saat meletusnya kejadian G-30S/PKI.
Selain dikukuhkan sebagai Panglima Angkatan Darat (Pangad), ia ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno.
Supersemar
Pada Maret 1966, Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno.
Dalam surat itu, Soeharto diberi mandat untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban di dalam negeri setelah peristiwa G30S/PKI pada 1 Oktober 1965.
Namun hingga kini, Supersemar masih menjadi kontroversi. Sebab, naskah aslinya tak pernah ditemukan.
Dalam pidato yang disampaikan pada peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyebut mengenai Supersemar, yang juga jadi bukti keberadaannya.
Namun, Soekarno membantah telah memberikan surat kuasa untuk memberikan kekuasaan kepada Soeharto.
"Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority, padahal tidak," kata Soekarno dalam pidato berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau dikenal dengan sebutan "Jasmerah".
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menilai perintah Presiden Soekarno itu ditafsirkan berbeda oleh Soeharto.
Penafsiran yang berbeda itu pertama kali diimplementasikan saat Soeharto membuat Surat Kebijakan Nomor 1/3/1966 atas nama Presiden Soekarno, untuk membubarkan PKI.
Soeharto dianggap keliru dalam menafsirkan frasa "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi".
"Itu yang dijadikan dasar untuk pembubaran PKI. Jadi sangat sakti surat itu," tutur Asvi.
Dikutip dari arsip Harian Kompas 11 Maret 1971, Soeharto yang saat itu menjabat Presiden RI mengatakan bahwa Supersemar hanya digunakan untuk membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan.
"Saya tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup terselubung," kata Soeharto.
Dilantik sebagai Presiden RI
Meskipun demikian, pasca Supersemar popularitas Soeharto terus menanjak, sementara sebaliknya kekuasaan Presiden Sukarno mulai meredup.
Akhirnya, pada 7 Maret 1967, Soekarno melepas jabatannya. Soeharto ditunjuk untuk menjadi penjabat presiden lewat Sidang MPRS.
Soeharto resmi menjabat dan dilantik sebagai Presiden RI pada 27 Maret 1968.
Di masa pemerintahannya, Soeharto bertugas sebagai presiden dengan lama menjabat 32 tahun dengan enam kali terselenggaranya Pemilu.
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 setelah mendapatkan desakan dari ribuan mahasiswa yang memadati gedung DPR/MPR.
Mundurnya Soeharto ini merupakan puncak dari kerusuhan dan aksi protes di berbagai daerah dalam beberapa bulan terakhir.
Tak lama setelah lengser, Soeharto menderita suatu penyakit hingga harus dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan.
Setelah menjalani perawatan selama 24 hari, Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2006 pukul 13.10 WIB dalam usia 87 tahun.
Penghargaan
Dilansir dari situs Museum Soeharto, disebutkan seluruh penghargaan yang diterim Soeharto semasa hidupnya. Berikut rinciannya:
Bintang RI Klas I
Bintang Mahaputra Klas I
Bintang Jasa Klas I
Bintang Dharma
Bintang Sakti
Bintang Gerilya
Bintang Sewindu APRI
Bintang Kartika Eka Paksi Klas I
Bintang Jalasena Klas I
Bintang Garuda
Bintang Swa Buana Paksi Klas I
Bintang Bhayangkara Klas I
Satya Lencana Teladan
Satya Lencana Kesetiaan
Satya Lencana Perang Kemerdekaan I
Satya Lencana Perang Kemerdekaan II
G.O.M. I
G.O.M. II
G.O.M. III
G.O.M. IV
Satya Lencana Satya Dharma
Satya Lencana Wira Dharma
Satya Lencana Penegak
Bintang Yuda Dharma Klas I
The Raja of The Order of Sikatuna (Filipina)
Grand Collier of The Order of Sheba (Ethiopia)
Grand Collier de L’Order National de L’independence (Kamboja)
The Most Auspicious Order of The Rajamitrabhorn (Thailand)
Darjah Utama Seri Mahkota Negara (DMN) (Malaysia)
Order Van de Nederlandse Leeuw (Belanda)
Sounderstute des Grosskreuzes (Special order of the Grand Cross), Jerman
Grand Cordone (Italia)
Grand Gordon Order de Leopold (Belgia)
Grand Croiix de Legion 1 honneur (Prancis)
Groos Stern des Ehren Zeichens Feur Verdienste um die Republik Qesterreich (Austria)
Tanda penghargaan Yugoslavia
Satya Lencana Pahlavi (Iran)
Grand Cordon of the Supreme Order of the Chrysanthemum (Jepang)
Bapak Pembangunan RI
Bintang Kehormatan Moogunghwa dari gerakan kepanduan Korea Selatan (1 Juli 1986)
Penghargaan Medali Emas FAO (21 Juli 1986)
Penghargaan Kependudukan PBB (United Nations Population Award – UNPA) (8 Juni 1989)
Medali emas Uniesco Avicenna (Pendidikan) (19 Juni 1993).
Kisah Soeharto Hidup Berpindah-pindah karena Perpisahan Kedua Orangtuanya
Masa lalu kehidupan Soeharto tampak kelam dengan perpisahan keduanya orangtuanya, yakni sang ayah, Kertosedjo atau Kertosudiro dan ibunya yang bernama Sukirah.
Soeharto hidup dalam ketidaknyaman ( Broken Home ) karena sang ibu Sukirah, hidup dalam kemalangan setelah menikah dengan sang ayah, Kertosudiro.
Cerita kehidupan dari Sukirah, ibunda Presiden Soeharto, dijodohkan hingga berakhir dengan perceraian.
Kemalangan bahkan menerpa Sukirah semasa hidup bersama ayah Soeharto.
Hingga Soeharto harus hidup berpindah-pindah karena masa lalu orangtuanya.
Perjuangan Sukirah, ibunda Soeharto kala mengandung hingga melahirkan Soeharto menghadirkan pilu.
Hidup bersama sang suami yang penuh kepiluan bahkan sudah tak diterima lagi saat pulang ke orangtuanya,
Sukirah bertahan hidup demi sang buah hati, Soeharto.
Sampai pada masa Soeharto hidup nyaman tak berpindah-pindah.
Sepercik Kehidupan Soeharto, masa kecil yang tak menetap hingga beranjak remaja
dan dewasa sampai bertemu Bu Tien dan akhirnya menjadi Presiden.
Bagaimana kisah selengkapnya perjalanan hidup Sukirah?
Kala itu, tanggal 8 Juni 1921, seorang perempuan bernama Sukirah terbaring lemah di sebuah rumah di Desa Kemusuk.
Sosok perempuan yang baru melahirkan itu terlihat sangat kesakitan. Tenaga yang tersisa sangat minim, hingga tak mampu untuk menopang tubuhnya.
Bahkan, untuk sekadar menyusui bayi yang menangis kencang di sampingnya.
Air mata Sukirah meleleh.
Antara bahagia bercampur sedih, memikirkan masa depan anaknya .
karena pernikahan Sukirah dengan suaminya berada di ambang kehancuran!
Sukirah menikah dengan Kertoredjo, seorang duda beranak dua, karena perjodohan.
Berstatus wanita desa, usia Sukirah yang menginjak 16 tahun dipandang sudah lebih dari cukup untuk menikah.
Karenanya, ketika Kertoredjo naksir Sukirah, orangtua Sukirah tidak berpikir panjang lagi untuk segera menikahkan anak gadisnya.
Dalam rentang waktu yang singkat setelah Kertoredjo bertemu dengan Sukirah, ijab kabul pun terlaksana.
Berdasarkan tradisi Jawa Tengah di mana seorang laki-laki lumrah mengganti namanya saat menikah, resmi jadi suami Sukirah, Kertoredjo lalu berganti nama menjadi Kertosudiro.
Perkawinan yang awalnya diharapkan akan membawa bahagia oleh Sukirah ternyata justru membawa petaka.
Kertosudiro yang berprofesi sebagai petugas irigasi desa atau ulu-ulu, bukanlah tipe lelaki yang cukup bertanggung jawab.
Karena tidak ada hiburan (listrik belum masuk desa, hingga radio dan televisi belum ada), Kertosudiro jadi lebih banyak bermalas-malasan sambil berjudi dan merokok.
Semua uang dan harta yang dimiliki pasangan ini tersedot untuk modal judi Kertosudiro.
Bahkan, perhiasan pribadi Sukirah yang dibawanya sejak gadis juga ludes tak berbekas.
Merasa frustrasi, dalam keadaan hamil tua Sukirah memutuskan kembali ke orangtuanya.
Sayang, Sukirah tidak diterima dengan tangan terbuka di rumahnya! Sebab, tradisi Jawa pada masa itu memandang rendah istri yang meninggalkan suaminya.
Tertekan dengan perilaku Kertosudiro dan ketidakramahan keluarganya, Sukirah sering bersembunyi dari satu kamar ke kamar lain, sambil melakukan puasa selama berhari-hari, yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan sebutan ngebleng).
Kesehatan Sukirah sontak anjlok! Dalam kondisi sangat drop, Sukirah melahirkan anak pertamanya yang diberi nama Soeharto (Soe = lebih baik, Harto = harta).
Khawatir dengan kesehatannya yang semakin hari makin buruk, Soeharto yang baru berumur 40 hari diserahkan Sukirah pada Mbah Kromodiryo, bidan yang membantunya melahirkan, sekaligus adik perempuan nenek Soeharto dari pihak ayah.
Sementara Soeharto diurus Mbah Kromodiryo, Sukirah mengurus perceraiannya dengan Kertosudiro.
Dan, seperti kasus perceraian umumnya, perebutan hak asuh juga terjadi.
Sesuai ketentuan hukum, hak asuh Soeharto jatuh ke tangan Sukirah.
Namun, dengan berbagai pertimbangan akhirnya Sukirah sendiri justru kemudian menyerahkan hak asuh Soeharto kepada Kertosudiro.
Hanya aja, meski hak asuh sudah berpindah tangan, Soeharto tetap ikut Mbah Kromodiryo!
Sering berganti pengasuh
Setelah bercerai, tidak lama kemudian Kertosudiro menikah kembali dan memiliki empat orang anak.
Sukirah? Sama! Dia menikah lagi dengan laki-laki bernama Atmoprawiro, lalu punya tujuh orang anak yang salah satunya bernama Probosutedjo.
Jadi suami Sukirah, Atmoprawiro pun menyayangi Soeharto layaknya anak kandung.
Maka dari itu, dia meminta Sukirah untuk mengambil Soeharto dari Mbah Kromodiryo.
Singkat cerita, usaha Sukirah dan Atmoprawiro berhasil. Umur empat tahun, Soeharto kembali ke pelukan Sukirah.
Tapi, kebahagiaan yang dirasakan Soeharto dekat dengan ibunya tidak berlangsung lama.
Umur delapan tahun, Kertosudiro "menculik" Soeharto. Dia menyerahkan Soeharto pada adik perempuannya yang tinggal di Wuryantoro.
Kertosudiro menganggap Soeharto akan terawat lebih baik jika tinggal di sana.
Sebab, suami adiknya, Prawirowihardjo, adalah seorang mantri tani alias petugas tanah, yang mapan secara finansial serta berpendidikan tinggi.
Setahun berlalu, Soeharto yang sedang libur sekolah dibawa pulang oleh Atmoprawiro.
Hingga liburan berakhir, Sukirah dan Atmoprawiro ternyata tetap tidak mau melepaskan Soeharto.
Terdorong rasa sayang yang besar, Ibu Prawirowihardjo menjemput dan memohon agar Soeharto diperbolehkan kembali ke rumahnya.
Ibu Prawirowihardjo cemas akan pendidikan Soeharto jika tidak diperbolehkan kembali ke rumahnya!
Melihat kesungguhan ibu sembilan orang anak (salah satunya bernama Sudwikatmono) tersebut dalam berniat mengurus dan mendidik Soeharto seperti anaknya sendiri, Sukirah dan Atmoprawiro rela juga memberikan Soeharto.
Sejak saat itulah Soeharto baru punya "keluarga tetap".
Dia tinggal dengan tenang dan nyaman di rumah bulik-nya tersebut, sampai usai masa remaja dan mulai bekerja.
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Hai edisi 11 Februari 2008. Ditulis oleh Ayu berdasarkan buku Soeharto: The Life And Legacy Of Indonesia's Second President karya Retnowati Abdulgani-Knapp)
(Kompas.com/Bangka Pos)
Berita Terkait Soeharto: