Oleh: Josef Herman Wenas
DARI “media intelligence” di media massa dan media sosial, termonitor bahwa KSAD Jenderal Andika Perkasa paling diunggulkan jadi pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI yang akan pensiun 8,5 bulan ke depan terhitung sejak hari ini (17/2/2021). Hadi akan pensiun pada 8 November 2021, walaupun by the book terhitung 1 Desember 2021.
Seandainya betul Jenderal Andika Perkasa yang nanti ditunjuk Presiden Joko Widodo, dia akan jadi Panglima TNI di era Reformasi dengan masa jabatan terpendek: 13 bulan saja. Andika itu akan pensiun 22 bulan terhitung sejak hari ini, atau 13 bulan lagi dari November nanti, saat Hadi pensiun. Coba Anda cek biodatanya.
Sebaliknya, Marsekal Hadi Tjahjanto ketika pensiun di November nanti, akan tercatat sebagai Panglima TNI di era Reformasi dengan masa jabatan terpanjang: 3 tahun 11 bulan.
Kira-kira apa yang diharapkan Presiden Joko Widodo dari Andika sebagai Panglima TNI selama 13 bulan masa jabatannya itu? Pertanyaan ini yang luput dari pengamatan publik.
**
Pilihan presiden dalam menentukan siapa Panglima TNI dibatasi oleh UU 34/2004 tentang TNI. Pada pasal 13 ayat 4 diatur bahwa Panglima TNI dipilih dari salah satu Kastaf Angkatan yang ada atau Pati aktif yang pernah menjabat Kastaf— berarti, calonnya harus sudah bintang empat, tidak bisa masih bintang tiga. Dan tidak ada keharusan presiden menggilir jabatan Panglima TNI diantara Matra TNI yang ada, misalnya karena sekarang Hadi Tjahjanto dari AU, dan sebelumnya sudah dari AD, maka berikutnya harus dari AL. Tidak harus!
Maka siapa yang cocok jadi Panglima TNI, jawabannya tergantung siapa yang dianggap cocok dengan kepentingan user-nya: Presiden Joko Widodo.
Sampai akhir masa jabatannya pada 20 Oktober 2024, Presiden Joko Widodo punya sisa waktu 3 tahun 8 bulan sejak hari ini. Atau, 35 bulan terhitung sejak Panglima TNI yang baru mulai bertugas di November tahun ini.
Apa yang menjadi tantangan Presiden Joko Widodo di sisa masa jabatannya, tentu menjadi pertimbangan utamanya memilih siapa jadi pimpinan tertinggi di lingkungan TNI. Ada dua isu penting yang disampaikannya di Rapim TNI-Polri 2021 kemarin (15/2/2021): Penanggulangan Pandemi Covid-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional.
PENANGGULANGAN PANDEMI COVID-19. Ada dua aspek yang menjadi tugas TNI-Polri. Pertama, aspek “Penerapan Protokol Kesehatan”, yang pada intinya adalah pendisiplinan masyarakat.
Kedua, “Program Vaksinasi Nasional”, dimana TNI-Polri harus mengawal distribusi vaksin agar bebas berbagai gangguan termasuk dari para opportunis korup, dan membantu terlaksananya vaksinasi di berbagai cluster massal: Target 182 juta orang dikali 2 kali vaksinasi per orang, sama dengan 364 juta kali total vaksinasi secara nasional. Presiden ingin menciptakan “herd immunity” di Indonesia.
Dengan kata lain, Presiden Joko Widodo melihat bahwa “herd immunity” adalah aspek esensial dalam doktrin pertahanan-keamanan negara saat ini dan di masa mendatang.
PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL. Presiden Joko Widodo punya 6 jurus melawan krisis ekonomi akibat Pandemi Covid-19: Program Perlindungan Kesehatan, Program Perlindungan Sosial, Program Insentif Usaha, Program Subsidi UMKM, Program Pembiayaan Korporasi, dan Program Bantuan Sektoral. Keenam jurus itu berhadapan dengan potensi ancaman terhadap pertahanan dan keamanan nasional, yaitu distabilitas sosial-politik akibat tingkat pengangguran yang tinggi.
Tugas utama TNI-Polri di sini adalah menjamin rasa keadilan di masyarakat. Itulah sebabnya presiden kemarin sempat menyinggung soal revisi UU ITE dan penanganan hukumnya agar lebih selektif.
Disini Presiden Joko Widodo melihat diperlukan pendekatan baru yang lebih kreatif dalam penegakan hukum. Dalam kasus-kasus tertentu, barangkali perlu dipertimbangkan cara-cara “extra judicial” semacam arbitrase, ketimbang cara-cara “judicial” melulu. Tentu juga pendekatan proaktif, ini terutama menanggapi “early warning system” dari berbagai komunitas intelijen negara yang ada. Apapun itu, rasa keadilan di masyarakat adalah resultan-nya.
**
Sekali lagi, soal siapa Panglima TNI berikutnya harus dilihat dari apa yang Presiden Joko Widodo lihat di sisa masa jabatannya!
Dari dua tantangan besar yang dijabarkan presiden pada Rapim TNI-Polri itu, jelas betul “job profile” seperti apa yang dibutuhkan dari seorang Panglima TNI. Dibedakan dari “job description,” pengertian “job profile” adalah… of the skills, experience, and personality a person would need in order to do the job.
Yang utama bagi Presiden Joko Widodo saat ini adalah seorang Panglima TNI harus bisa menjaga “Soliditas TNI-Polri”— kadangkala diistilahkan juga “Sinergitas TNI-Polri”. Itulah yang utama.
Ini dua mesin besar yang masing-masing memiliki personil sekitar 450-500 ribu orang, dengan tradisi dan sejarah panjang serta hubungan pasang-surut diantara mereka. Yang sekarang mau digerakkan untuk mencapai dua tujuan presiden pada Rapim TNI-Polri itu. Melalui mesin besar yang bersatu ini, presiden memiliki kaki sampai ke tingkat desa: TNI punya Babinsa dan Polri punya Babinkamtibmas.
Lamanya Marsekal Hadi Tjahjanto menjabat Panglima TNI, sudah 3 tahun lebih, adalah bukti keberhasilannya di mata Presiden Joko Widodo dalam menjaga "Soliditas TNI-Polri.” Hadi sampai hari ini telah berkerjasama dengan sangat baik dengan tiga Kapolri berbeda. Sekaligus menjadi “showcase” kontras dibandingkan pendahulunya, Jenderal Gatot Nurmantyo, yang oleh Presiden Joko Widodo terpaksa diberhentikan 4 bulan lebih dini.
Jokowi menginginkan archetype macam Hadi yang “let us do it together”, bukan macam Gatot yang “let me do it mysef.”
**
Kembali ke Jenderal Andika Perkasa. Tidak perlu diragukan bahwa dia adalah “orang”-nya Presiden Joko Widodo, baik dari sudut latar belakang karir dan kinerjanya, maupun latar belakang keluarga isterinya.
Dari “media intelligence” di kanal Youtube TNI AD, kinerjanya outstanding dalam empat hal. Pertama, informally reinstilling doktrin Pancasila mengikis sisa-sisa “ABRI Hijau”, disini dukungan isterinya, Hetty, sangat menonjol, antara lain berpakaian adat dalam berbagai kesempatan (menampilkan citra Nusantara), menggunakan topi Sinterklas dan memilih ajudan non-Muslim (toleransi antar-iman). Kedua, konsolidasi internal prajurit TNI AD melalui pendekatan rewards dan kesejahteraan. Ketiga, kerjasama interoperabilitas dan internasional. Keempat, sinergi dengan Kementerian Pertahanan, terutama sejak Menhan Prabowo Subianto memegang komando di sana (ada chemistry diantara mereka berdua).
Bila toh Presiden Joko Widodo memilih Andika, mengingat masa dinasnya sebagai Panglima TNI nanti hanya 13 bulan, saya melihat dia akan berfungsi sebagai the forerunner for the next. Nah, the one next itulah yang selama 22 bulan berikutnya akan mengantar Presiden Joko Widodo sampai di akhir pemerintahannya.
Saya merasa— bisa saja salah— the one next itu kembali ke Matra AD, tetapi Presiden Joko Widodo mungkin akan mengefektifkan jabatan Wakil Panglima TNI untuk mengakomodasi aspirasi Matra AL. Landasan hukumnya sudah ada, sudah lama dicuekin juga, yaitu Perpres 66/2019. Hal ini, selain mengakomodasi kepentingan presiden sendiri sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, juga untuk mempercepat bergeraknya gerbong karir dan rotasi Angkatan di tiga Matra TNI.
Saat ini karir dan rotasi jabatan di lingkungan TNI berputar lebih lambat dibandingkan di Polri. Kapolri Sigit itu Angkatan 91, sedangkan Panglima Hadi itu Angkatan 86. Begitu juga di level Matra, KSAD Andika dari Angkatan 87, KSAL Yudo dari Angkatan 88 dan KSAU Fadjar dari Angkatan 88. Padahal pangkat mereka semua sama-sama bintang 4.
Idealnya, kesenjangan antar Angkatan diantara para pimpinan dalam konteks “Soliditas TNI-Polri” diminimalisasi. Bagaimanapun, hambatan psikis “senior-junior” itu hal yang manusiawi.