Terkini Daerah

Jejak Raja Pertama Bolmong Yang Hilang di Gunung Keramat Bubungon

Penulis: Arthur_Rompis
Editor: Rhendi Umar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jejak Raja Pertama Bolmong Yang Hilang di Gunung Keramat Bubungon

TRIBUNMANADO.CO.ID - Melompatlah tinggi - tinggi ke era modern. Tapi jangan sekali - kali melupakan akar darimana kita berasal. 

Begitulah pesan moral yang hendak disampaikan ratusan warga Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) kala mendaki gunung keramat Bubungon, Sabtu (10/10/2020).

Warga hendak menghayati arti sakral gunung itu sebagai awal kerajaan Bolmong yang kesohor di abad 13 sekaligus pesan bagi semua pihak untuk memberdayakan gunung itu sebagai peninggalan budaya yang harus dirawat dan dilestarikan.

Gunung itu adalah simpul budaya terpenting Mongondow yang hilang. Kondisinya kini sekarat.

Puncaknya gundul karena ditebang. Sebagian besar lahannya sudah berubah jadi area perkebunan.

Gunung keramat tersebut berada diantara desa Siniyung dan desa Bumbongon, Kecamatan Dumoga.

Mungkin sudah dipilih sebagai waktu terbaik, warga bertolak ke atas gunung tepat pukul sepuluh di tanggal sepuluh bulan sepuluh.

Sepanjang perjalanan mereka dikisahkan tentang kejayaan kerajaan Bolmong, dari Punu Mokodoludut,

raja pertama Bolmong yang berasal dari gunung itu hingga Loloda Mokoagow yang pernah menggemparkan Sulut.

Mendengar itu, adrenalin meningkat.

Gerak kaki warga begitu tegap dan semangat warga yang terdiri dari tua tua, pemuda, remaja hingga anak - anak, berkobar - kobar kala mendaki gunung itu.

Sesampai di atas, pemandangan begitu menyedihkan. Pohon - pohon sudah ditebang.

Lahan lahan pertanian berdiri di atas jejak sejarah.

Gairah yang tadi tumbuh sewaktu mendaki, sirna berganti kesedihan dan kekecewaan.

"Gunung ini begitu kami hormati, tapi keadaan sudah seperti ini" kata Donal

Oday, tokoh masyarakat Dumoga sekaligus pemerhati sejarah dan budaya Bolmong dengan masygul.

Menurut cerita para orang tua, pada abad ke-9, tepat di kaki Gunung Keramat Bubungon berdiri sebuah perkampungan warga yang namanya Dumoga.

Di sana hiduplah sepasang suami istri yang bernama Kueno dan Obayow.

Mereka sering disebug Amalie dan Inalie. Keduanya adalah Bogani (Pemimpin) penguasa penduduk di Bubungon.

Suatu hari pasangan suami istri ini mencari ikan di sungai kecil yang letaknya tak jauh dari Gunung Keramat Bubungon.

Dalam perjalanan pulang, Bogani Amalie dan Inalie melihat burung duduk. Inalie meminta Amalie untuk menangkap burung duduk tersebut.

“Domoka in lagapan duduk tua, (Tangkap burung duduk itu)” kata Inalie. Nah dari kata Domoka itu asal muasal nama kampung yang ada di kaki Gunung Keremat Bubungon kemudian menjadi kata Dumoga.

Bersamaan dengan itu, Amalie dan Inalie melihat ada benda berupa telur burung duduk terletak di tumpukan ranting yang ada di sungai kecil tempat mereka mecari ikan.

Ternyata itu adalah bayi manusia yang masih terbungkus dengan selaput plasenta.

Selang tujuh hari peristiwa ditemukannya bayi tersebut, terjadi dentuman keras disertai petir. Bunyi itu hanya terdengar di tempat Amalie dan Inalie tinggal.

Para Bogani lain dan warga bergegas ke gunung itu untuk melihat apa yang terjadi.

Di sana mereka mendapati keberadaan bayi tersebut.

Bermusyawaralah para Bogani dan bersepakat menamakan bayi itu Mokodoludut yang artinya bergemuruh.

Bayi itu lantas diangkat sebagai Punu atau raja di wilayah Bolmong.

Dialah raja Bolmong pertama yang memerintah selama 60 tahun.

"Banyak peristiwa sejarah Bolmong di gunung ini. Kami sangat menghormati peninggalan bersejarah ini," ujar dia.

Dahulu, sebut Oday, gunung tersebut sangat cantik.

Warga tunduk pada aturan adat yang berlaku bahwa hutan di sana tak bisa disentuh.

"Ini tempat lahirnya Raja Mokodoludut," katanya.

Ia bercerita, sewaktu lahir, Mokodoludut dalam keadaan tidak sehat.

Atas petunjuk yang maha kuasa, ia diobati dengan upacara di rumah adat yang namanya Komalig.

"Atas petunjuk pula, pepohonan di sini antara lain kayu al nunuklaiyan, atul, moyonggosian, dumalat, lomboit dan banyak lagi, berada di tempat ini dan disakralkan karena bahan bahan itulah yang dipakai oleh para bogani untuk mengobati Mokodoludut," katanya.

Dengan demikian, beber dia, penebangan pohon di gunung itu sudah melanggar komitmen para bogani.

Sebagai warga Bolmong, ia mengaku sedih menyaksikan keadaan tempat sakral itu.

“Wilayah Kampung ini ditinggalkan oleh orang Dumoga sekitar tahun 1916.

Keprihatinan kami adalah gunung ini tidak terpelihara lagi dan pepohonan itu sudah ditebang oleh orang yang tidak bertanggungjawab dan sudah dijadikan lahan perkebunan,” tuturnya.

Ia mengatakan, aksi tersebut berawal dari kegelisahan yang sudah terpendam sekian lama.

Berbagai desakan untuk melestarikan gunung tersebut muncul, termasuk dari orang luar Dumoga yang tahu sejarah gunung itu.

"Akhirnya kami tergerak hati dan berinisiatif untuk menghubungi, pemerintah di Kecamatan Dumoga di wilayah kepolisian tempat ini, serta Kepala Desa Bubungon, untuk berkunjung ke tempat ini. Tujuan kami adalah menjelaskan kepada masyarakat Dumoga yang merupakan penduduk asli di Bubungon, bahwa inilah lokasi Gunung Keramat Bubungon, yang merupakan kampung tua Dumoga,” katanya.

Ia meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan situs budaya Gunung Keramat Bubungon ini.

"Kami minta agar tempat ini dijadikan cagar budaya agar supaya tidak ada lagi perambahan," katanya.

Dengan dijadikannya lokasi itu cagar budaya, akan jelas mana kawasan yang bisa dirambah mana yang harus dilindungi. ( Tribunmanado/Arthur Rompis)

BERITA TERKINI TRIBUNMANADO:

Baca juga: Ketum FPI: Imam Besar Habib Rizieq Shihab akan Segera Pulang ke Indonesia untuk Pimpin Revolusi

Baca juga: Penerbangan Komersil Mulai Normal, Konsumsi Avtur di Sulawesi Berangsur Naik

Baca juga: Polri Minta Masyarakat Aktif, Laporkan Oknum Personel yang Langgar SOP saat Unjuk Rasa: Silahkan

SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO OFFICIAL:

Berita Terkini