News

Xi Jinping dan Vladimir Putin Jalin Kesepakatan Penentangan atas Hegemoni dan Unilateralisme

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden China, Xi Jinping dan Presiden Rusia, Vladimir Putin.

TRIBUNMANADO.CO.ID - Kestabilan geopolitik dunia saat ini tengah memanas.

Beberapa negara yang tengah terlibat klaim Laut China selatan memicu ketengangan politik.

China menjadi negara yang namanya sangat sering menjadi perbincangan dunia pada tahun 2020 ini.

Selain menjadi tempat penyebaran Covid-19 bermula, negara yang sedang menuju menjadi adidaya ini juga berkali-kali "berseteru" dengan berbagai negara.

Pernambahan Kasus Baru Covid-19 pada 9 Juli Catat Rekor Baru di Tanah Air, Jokowi: Ini Lampu Merah

Selain dengan Amerika Serikat yang menjadi "rival" terberat, China juga mengundang perselisihan dengan India dan beberapa negara Asia Tenggara terkait klaim negeri tirai bambu itu terdahap Laut China Selatan.

Ditengah ketengangan politik yang dihadapi, China mempererat hubungan mereka dengan negara besar lain, Rusia.

Presiden China Xi Jinping dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Rabu (8/7/2020) telah berbicara via sambungan telepon dan kedua pemimpin sepakat untuk mengusung wacana penentangan terhadap hegemoni dan unilateralisme.

Sekedar informasi, unilateralisme adalah doktrin atau agenda apapun yang mendukung tindakan sepihak.

Presiden Rusia, Vladimir Putin. (instagram/ president_vladimir_putin)

Melansir pemberitaan South China Morning Post yang mengutip laporan saluran TV pemerintah China CGTN, Xi mengatakan perlunya Beijing dan Moskow untuk mengintensifkan komunikasi strategis dan kerja sama mereka dalam situasi global yang cepat berubah.

Pembicaraan mereka terjadi di tengah hubungan China-AS yang semakin tegang dan meningkatnya ketegangan antara China dan India setelah bentrokan mematikan antara pasukan di perbatasan Himalaya yang disengketakan bulan lalu.

Pembicaraan itu terjadi lima hari setelah Putin berbicara dengan Perdana Menteri India Narendra Modi, setelah New Delhi menyetujui kesepakatan senjata besar antara kedua negara.

Media India melaporkan bahwa Modi adalah pemimpin dunia pertama yang memberi selamat kepada Putin atas kemenangannya dalam referendum tentang reformasi konstitusi yang akan memungkinkannya untuk tetap sebagai presiden hingga 2036.

Putin juga dilaporkan mengatakan kepada Modi bahwa ia ingin memperkuat kemitraan strategis "istimewa" antara kedua negara.

Xi mengatakan kepada Putin, China bersedia untuk melanjutkan dukungan timbal balik dengan Rusia, dengan tegas menentang campur tangan dan sabotase eksternal, dan mempertahankan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan masing-masing negara, CGTN melaporkan.

Xi mengatakan China "seperti biasa" dengan tegas mendukung Rusia mengikuti jalurnya sendiri untuk mengembangkan dan merevitalisasi negara itu, dan menyerukan kerjasama dalam teknologi, pengembangan vaksin, dan biosekuriti.

Info BMKG: Peringatan Dini Cuaca Ekstrem Jumat 10 Juli: Waspada Hujan Lebat di 20 Wilayah Berikut

Presiden Cina Xi Jinping berpidato di pertemuan virtual Majelis Kesehatan Dunia. (AFP)

Dia menambahkan, China akan mengintensifkan koordinasinya dengan Rusia secara internasional, termasuk PBB, untuk membela multilateralisme dan menentang hegemoni dan unilateralisme.

Sementara itu, melansir Reuters yang mengutip Kremlin, Xi Jinping sepakat untuk meningkatkan kerja sama ekonomi, termasuk di bidang energi dan manufaktur pesawat sipil.

Dalam sebuah pernyataan, Kremlin juga mengatakan bahwa baik Putin maupun Xi memuji bantuan timbal balik Rusia dan China dalam mengatasi pandemi virus corona selama puncaknya.

Pembicaraan ini pun diduga kuat sebagai bentuk sikap China terhadap Amerika Serikat yang berkali-kali melakukan kebijakan luar untuk menekan mereka di berbagai bidang.

China enggan ikut perundingan nuklir

Konflik antara Amerika Serikat dan China seakan tak pernah habis pada tahun 2020 ini.

Pembahasan tentang perlucutan senjata nuklir pada bulan Juni lalu disebut dapat menjadi front baru dalam perpecahan yang semakin dalam antara China dan Amerika Serikat.

Hal ini memungkinkan, pasca Beijing menolak untuk bergabung dengan perundingan dengan Washington dan Moskow untuk memperpanjang perjanjian penting tersebut.

Diberitakan South China Morning Post, utusan kontrol senjata AS Marshall Billingslea pada hari Rabu mendesak Beijing untuk memikirkan kembali keputusannya menjelang negosiasi yang akan dilangsungkan pada akhir bulan ini.

Billingslea akan bertemu dengan wakil menteri luar negeri Rusia Sergei Ryabkov di Wina pada 22 Juni untuk membahas perpanjangan New Start, sebuah perjanjian pengurangan senjata nuklir yang dinegosiasikan di bawah pemerintahan Barack Obama yang akan berakhir Februari.

 

“China hanya mengatakan tidak memiliki niat untuk berpartisipasi dalam negosiasi trilateral. Itu harus dipertimbangkan kembali,” ucap Billingslea.

"Mencapai status kekuatan yang hebat membutuhkan perilaku dengan tanggung jawab kekuatan yang besar."

"Tidak ada lagi Tembok Besar Kerahasiaan pada pembangunan nuklirnya."

"Kursi menunggu kehadiran China di Wina,” tulisnya, sehari setelah mengkonfirmasikan bahwa Beijing telah diundang ke perundingan tersebut.

Ilustrasi Angkatan Laut Amerika Serikat. AS dan NATO adakan latihan perang di Laut Baltik dekat Rusia. (US Navy)

Sementara itu, mengutip Wall Street Journal, Moskow tidak akan menekan China untuk bergabung dalam perundingan dengan negosiator AS dan Rusia.

Kendati demikian, menurut Deputi urusan Kementerian Luar Negeri Rusiam Sergei Ryabkov pada Selasa (9/6/2020), absennya partisipasi China akan menimbulkan tantangan signifikan bagi pemerintahan Trump dalam mencapai kesepakatan nuklir.

South China Morning Post juga memberitakan, pada saat persaingan antara Washington dan Beijing meningkat, pemerintahan Donald Trump telah mendorong China agar hadir dalam kesepakatan di masa depan untuk menggantikan perjanjian New Start 2010, dengan alasan bahwa kemampuan nuklir dan rudal China, yang kini sedang dikembangkan dan dimodernisasi, menimbulkan ancaman yang semakin besar terhadap AS dan sekutunya.

Namun Beijing telah menolak undangan itu.

Sebuah pernyataan di situs web kementerian luar negeri China mengatakan, Washington dan Moskow, dengan persediaan senjata nuklir terbesar di dunia, memiliki "tanggung jawab khusus dan prioritas tinggi untuk pelucutan senjata nuklir".

Pada bulan Desember, juru bicara kementerian luar negeri China Hua Chunying mengatakan AS berusaha mengalihkan tanggung jawab kepada pihak lain.

Artikel ini sebagian sudah tayang di Kontan.co.id dengan judul Xi Jinping menelepon Vladimir Putin, apa yang dibicarakan?

Berita Terkini