TRIBUNMANADO.CO.ID - Sebuah opini yang dimuat di Aljazeera.com mengkritisi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Opini itu ditulis oleh Richard Javad Heydarian, yang melabeli diri sebagai pengamat ekonomi dan geopolitik Asia (specialist in Asian geopolitical and economic affairs).
Tulisan pandangan pribadi berjudul "A revolution betrayed: The tragedy of Indonesia's Jokowi" dan subjudul "Once lauded as a promising democrat in Southeast Asia, Joko Widodo has recently allied with anti-democratic forces." itu menarik untuk dibaca sebagai referensi.
Tulisan dalam bahasa Inggris itu, kira-kira isinya seperti di bawah ini (untuk naskah asli silakan langsung ke Aljazeera.com).
Ketika Joko Widodo, yang dikenal dengan sebutan "Jokowi", meraih kemenangan mengejutkan dalam Pilgub Jakarta 2012, banyak orang, terutama kaum muda dan kelas menengah yang aspirasional di negara itu, sangat berharap akan adanya revolusi total.
Tak lama kemudian, pemimpin karismatik itu dipuji sebagai "Obama" Indonesia, ikon reformasi progresif di wilayah yang sangat otoriter.
Namun, melesatnya Jokowi ke tampuk kekuasaan, dengan terpilihnya kembali sebagai presiden pada awal tahun ini, telah membuat kekecewaan sangat besar bagi para pendukung reformasi dan demokratisasi yang liberal.
Yang membuat para pendukung fanatiknya sangat cemas adalah tindakan Jokowi yang justru merangkul kelompok Islam garis keras dan kalangan dari rezim diktator sebelumnya.
Dan yang paling memperburuk keadaan adalah dia malah mengesampingkan reformasi politik, termasuk memperlemah lembaga-lembaga anti-korupsi, demi mendorong pembangunan infrastruktur dan menyenangkan kekuatan-kekuatan reaksioner negara itu.
Mimpi Indonesia
Berbagai tindakan Jokowi akhir-akhir ini bahkan membuat orang lebih tercengang, ketika melihat bagaimana awal ia menggapai kekuasaan.
Sebagai mantan wali kota progresif dari kota kecil Surakarta, Jokowi mewakili alternatif yang gamblang dan menginspirasi terhadap oligarki Jakarta, kelompok yang telah memerintah negara kepulauan terbesar di dunia itu sejak kelahirannya pada pertengahan abad ke-20.
Sebagai gubernur ibu kota besar Indonesia, Jokowi tidak mengecewakan para pendukungnya, yang dengan antusias menyambut gaya pemerintahan yang digerakkan oleh akar rumput dalam skala yang jauh lebih besar.
Proyek-proyek infrastruktur besar dimulai, sementara penduduk termiskin berjejal di berbagai permukiman kumuh terbesar di dunia ini.
Mereka menikmati pemimpin yang gampang diakses dan penuh perhatian serta mau mendengar keluhan-keluhan tentang berbagai kebutuhan paling dasar mereka.
Hampir dua tahun menjabat sebagai gubernur, Jokowi terpilih sebagai presiden, dan menjadi presiden kedua yang dipilih langsung oleh rakyat. Tak hanya itu, yang lebih krusial, dia adalah presiden pertama dari luar elite Jakarta.
Mengecam penyelenggaraan pemerintahan yang sangat birokratis dan korupsi, dia menjanjikan gaya kepemimpinan yang tegas dan efektif.
Mulai dari melindungi para pengusaha kecil dan menengah saat ia menjadi Wali Kota Surakarta, sampai kepada proyek-proyek infrastruktur berskala besar di Jakarta, Jokowi punya banyak nilai "A" yang dipamerkan selama pemilihan presiden.
Dia bahkan berjanji untuk "berjuang melindungi hak-hak asasi manusia" sebagai bagian dari "perjuangan melawan ketidakadilan" yang lebih luas.
Mengkapitalisasi latar belakang sebagai rakyat biasa dari kota kecil, Jokowi berjanji akan berjuang untuk rakyat kecil, rakyat jelata, dengan tulus.
Yang lebih menggembirakan lagi, Jokowi mendukung pencalonan mitra politik lamanya, Basuki Tjahaja Purnama yang dikenal sebagai "Ahok" dalam pilgub, yang akan menjadi Gubernur Jakarta pertama dari etnis Tionghoa dan Kristen di negara Muslim yang sangat konservatif.
Masalah di Surga
Pemilu Jokowi 2014 mewakili visi Indonesia yang beragam dan demokratis, model yang sangat dibutuhkan untuk sebuah wilayah penuh perselisihan etnis dan pemerintahan otoriter.
Namun, di awal masa kepresidenannya, ia menunjukkan tanda-tanda yang mengganggu para pendukung reformasi liberal.
Hanya beberapa bulan ia memerintah, ia mengembalikan hukuman mati, yang sebelumnya telah ditangguhkan oleh para pendahulunya.
Dalam rentang enam bulan setelah ia terpilih, sebanyak 14 orang telah dieksekusi, meskipun ada protes keras dari dunia internasional.
Terlebih lagi, Jokowi tampaknya mengendorse pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killings) terhadap para tersangka pengedar narkoba, berbasis perang narkoba seperti dilakukan Presiden Rodrigo Duterte di Filipina, yang telah menewaskan ribuan orang.
Indonesia bahkan memberikan penghargaan kepada kepala pelaksana perang narkoba Duterte, yakni mantan Kepala Kepolisian Filipina Bato Dela Rosa, dengan Bintang Bhayangkara Utama (Medal of Honor) yang bergengsi, sementara Jokowi dengan hangat menyambut orang kuat Filipina itu selama beberapa kali kunjungan ke Jakarta.
Namun, aspek paling meresahkan pada awal masa kepresidenannya adalah pengabaian politik Jokowi terhadap sekutu awalnya, Ahok, yang dihukum karena penistaan agama dan dipenjara pada 2017.
Menjelang pemilihan ulang, presiden Indonesia itu meninggalkan kandidat reformis untuk posisi wakil Presiden dan dia lebih mendukung pemimpin garis keras Islam Ma'ruf Amin, yang memainkan peran penting dalam pemenjaraan kontroversial Ahok atas tuduhan penistaan agama.
Duterte Indonesia
Tugas pada masa jabatan kedua Jokowi, menyusul kemenangan yang menentukan dalam Pilpres tahun ini, telah mencatat kemunduran yang lebih besar dalam reformasi politik.
Dalam upaya memperkuat basis kekuasaannya, Jokowi menunjuk sosok yang justru saingan utamanya dan mantan komandan militer kontroversial Prabowo, sebagai menteri pertahanan barunya.
Terkenal karena apokaliptiknya, populisme yang digerakkan oleh rasa takut, dan yang tanpa malu-malu suka "berita hoax", Prabowo, yang telah memuji-muji masa-masa kediktatoran "Orde Baru", mirip sekali dengan Duterte.
Selama masa tugasnya sebagai komandan militer pada 1990-an, Prabowo dituduh mengatur penculikan dan penyiksaan terhadap sebanyak 23 aktivis demokrasi, 13 di antaranya belum ditemukan.
Dia telah dilarang masuk ke Amerika Serikat atas tuduhan kejahatannya.
Sebagai menteri pertahanan, Prabowo akan memiliki suara yang signifikan atas perilaku angkatan bersenjata negara dan penghormatan mereka terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar warga negara, terutama di daerah bergolak seperti Papua.
Usman Hamid, eksekutif Amnesty International Indonesia, telah memperingatkan bahwa penunjukan Prabowo "akan menjadi hari yang gelap bagi hak asasi manusia di negara ini".
Jokowi, yang telah menunjuk sejumlah besar mantan anggota rezim almarhum diktator Indonesia Suharto ke dalam kabinetnya, tampaknya telah memberikan mantan komandan itu kebebasan, dengan menyatakan, "Saya percaya saya tidak perlu memberitahunya tentang pekerjaannya - dia tahu lebih dari saya. "
Kecenderungan Presiden Indonesia yang tidak terbuka terhadap kebebasan ini telah memprovokasi protes besar-besaran mahasiswa.
Mereka tak hanya khawatir terhadap permulaan hukum yang kejam, namun juga kemungkinan Jokowi melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jokowi, badan anti-korupsi yang sangat dihormati di negara itu, melalui reformasi hukum.
Dari sudut pandang Jokowi, lembaga-lembaga anti-korupsi dapat memperlambat laju pembangunan infrastruktur dengan menempatkan pengawasan yang lebih besar terhadap proyek-proyek besar.
Dalam konteks negara-negara sedang berkembang, di mana beberapa oligar dengan mitra asing seperti Cina mendominasi sektor bisnis, kontrak besar mungkin melibatkan unsur korupsi, logika ini berlaku.
Dengan kata lain, Jokowi tampaknya menganut gagasan kuno tentang "korupsi yang efisien", yang mengandaikan bahwa tingkat korupsi tidak dapat dihindari untuk pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Presiden Indonesia telah terbuka untuk revisi hukum baru, yang akan melemahkan independensi KPK dengan antara lain membatasi kekuasaan penyelidikan dan penuntutannya, termasuk pencarian dan penyitaan aset yang berasal dari tersangka korupsi dan penyadapan, dan memaksakan adanya dewan pengawas.
Justru karena ingin mempercepat pembangunan infrastruktur, dan berniat menciptakan koalisi besar yang berkuasa dengan kalangan elite mapan, Jokowi telah muncul sebagai kekecewaan terbesar bagi reformasi demokrasi di Asia.
Sumber tulisan: Aljazeera.com