Mahasiswa Gen Z Kompak Tolak RKUHP: Begini Cara Marinir Redam Kemarahan Massa

Penulis: Tim Tribun Manado
Editor: Lodie_Tombeg
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pasukan marinir TNI AL berusaha menenangkan kemarahan massa mahasiswa di Jakarta, Selasa (24/9/2019) malam.

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Gelombang penolakan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) membesar di sejumlah daerah di Tanah Air. RKUHP menjadi perbincangan masyarakat karena terdapat sejumlah pasal kontroversial.

Dosen Hukum dari Universitas Sam Ratulangi, Toar Palilingan mengatakan, sebagai negara demokrasi, wajar dan biasa ada demonstrasi. “Rakyat bebas dalam batas tertentu menyampaikan aspirasi. Dalam demokrasi perbedaan itu biasa, kemudian disampaikan dalam bentuk penolakan akan satu hal,” kata dia, Selasa kemarin.
Yang penting argumentasi bisa diterima.

Baca: Asap Hitam Membumbung di Sekitar Gedung DPR

Bisa jadi second kebijakan. Misalnya penolakan soal RKUHP dan revisi UU KPK. Soal revisi UU KPK itu sudah diketuk dan disetujui. Proses itu sesuai mekanisme eksekutif dan legislatif menyetujui.

“Kemudian ada yang tidak setuju itu biasa, ada mekanisme dan prosedur bisa ditempuh. Pertama, judicial review di MK bahwa UU tersebut dianggap bertentangan dengan UU 1945. Kedua, dengan aksi demonstrasi yang sasarannya agar ada parlement review, atau parlemen mengubah keputusannya,” kata dia.
Pada perkembangan, DPR RI bersikap mengesahkan dua UU tersebut.

Pada revisi UU KPK, sikap Presiden dan DPR RI sama dan sudah sepakat. Sementara untuk RKUHP DPR RI bersikap ingin mengesahkan RUU ini sementara presiden meminta agar ditunda dulu pengesahannya dengan harapan ditinjau lagi-lagi pasal-pasalnya.

Kemudian, lanjut dia, kelompok masyarakat turun demontrasi menolak RKUHP inilah aspirasi. “Silahkan saja dikritik targetkan ada parlement review. RKUHP ini memang sudah lama dibahas, KUHP yang ada itu dari produk zaman Belanda, kemudian ada revisi sah-sah saja karena mengikuti perkembangan. Belakangan memang muncul pasal-pasal kontroversial,” katanya.

Ada yang menganggap pasal-pasal sudah menyerempet persoalam privasi, dan persoalan moral. Ada yang sepakat, tapi ada yang khawatir ranah privasinya dilanggar. Memang sebenarnya tidak ada produk regulasi yang memuaskan semua pihak.

Baca: KPK Tangkap Seluruh Direktur Perum Perindo: Dicokok saat Rapat

Revisi KUHP memang sudah harus dilaksanakan, tapi bukan dengan ada pemaksaan kehendak, tapi kemudian jangan akhirnya ada perbedaan yang runcing. Soal revisi UU KPK, korupsi harus diberantas sampai ke akar-akarnya, semua sepakat KPK jangan dilemahkan. Kalau revisi ok, kalau dilemahkan kita tolak.

Revisi, lanjut Toar, misalnya soal Dewan Pengawas KPK perlu ada, itu hal yang sah-sah saja. Presiden saja diawasi DPR, jadi aneh kalau KPK tidak diawasi. “Semua lembaga itu tidak sempurna, kemudian perlu ada pengawas itu wajar.

Jadi aneh kalau tidak diawasi. Soal aksi demonstrasi penolakan itu silahkan saja yang penting jangan anarkis. Kalau sudah mengacau sudah urusan aparat,” kata Palilingan.

Ada yang menarik dalam aksi demonstrasi mahasiswa sejak Senin (23/9/2019) hingga Selasa (24/9/2019). Sejumlah mahasiswa kedapatan memegang spanduk berisi tulisan menggelitik yang mengundang perhatian. Kata-kata dalam spanduk itu nyeleneh, namun mengena dengan apa yang mau mereka sampaikan.

Foto-foto mahasiswa yang demo sambil mengusung spanduk itu pun jadi viral di media sosial. Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, tulisan-tulisan ala milenial di spanduk tersebut menunjukkan spontanitas mahasiswa dalam menyuarakan isi hati mereka.

Mahasiswa, kata dia, ingin membuat kalimat sederhana yang tak bertele-tele namun mudah dimengerti mahasiswa dan masyarakat luas. Termasuk anggota dewan dan pemerintah yang mereka sasar.

“Memang yang penting pesannya dimengerti. Mahasiswa ini kan menyesuaikan dengan apa yang mereka ngerti. Ngertinya bahasa milenial, ya pakai bahasa milenial,” ujar Hendri.

Seorang psikolog klinis, Anastasia Satriyo mengatakan, munculnya berbagai poster dengan kalimat lucu pada demonstrasi kali ini mungkin bisa berbeda dengan demonstrasi-demonstrasi sebelumnya karena ada perbedaan jaman.

"Kalau kita lihat, yang demo itu kan mahasiswa ya. Nah, mahasiswa itu berada di antara usia remaja akhir dan dewasa awal, itulah cara mereka menyampaikan aspirasi serta protesnya," jelas Anastasia saat dihubungi detikcom, Selasa (24/9/2019).

Remaja saat ini atau lebih dikenal dengan Gen Z memiliki cara-cara unik tersendiri untuk menyampaikan rasa protesnya. Ia mengatakan biarkan mereka berekspresi dengan cara di zaman mereka saat ini.

"Biarkan mereka melakukan dengan caranya sendiri. Tapi, kita juga harus mengingatkan atau membuat mereka tahu kalau cara seperti ini ada konsekuensinya. Mau itu orang yang suka dan tidak suka terhadap cara mereka," ujarnya.

Baca: 11 Pemain di Tim Terbaik FIFA 2019 Punya Harga Segini, Hanya Kalah dari Skuat 5 Klub Kaya

Anastasia menambahkan, poster atau cara seperti ini juga menjadi pembeda bagaimana cara zaman dulu dan sekarang dalam mengekspresikan aspirasinya melalui aksi demo.

Sementara itu, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) dievakuasi ke ruangan Direktorat Pam Obvit Polda Metro Jaya yang berada di dalam halaman Gedung DPR. Bamsoet awalnya hendak menemui massa mahasiswa yang sedang berunjuk rasa di depan Gedung DPR.

Bamsoet sebetulnya sempat berjalan ke arah lokasi unjuk rasa bersama Sekjen DPR Indra Iskandar. Dia berjalan dari dalam Gedung DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, menuju pintu gerbang, Selasa (24/9/2019) sore.

Namun, saat sampai di air mancur yang berada di halaman Gedung DPR, asap gas air mata terasa menyengat. Bamsoet sempat mengoleskan pasta gigi ke pipinya.

Tapi, karena asap gas air mata begitu menyengat, Bamsoet dan Indra dievakuasi ke ruangan Direktorat Pam Obvit Polda Metro Jaya. Belum diketahui apakah politikus Golkar itu jadi menemui massa mahasiswa atau tidak.

Ketua DPR meminta sejumlah mahasiswa mengakhiri unjuk rasa yang digelar di depan gedung DPR dan sekitarnya, Jakarta. Bambang mengatakan, DPR sudah memenuhi tuntutan mahasiswa dengan menunda pengesahan RKUHP.

"Saya minta kepada teman-teman mahasiswa sebaiknya sudah cukup penyampaian aspirasi yang disampaikan kepada kami, kembali ke rumah masing-masing karena kami sudah memenuhi tuntutan atau aspirasi yang disampaikan oleh adik-adik mahasiswa, yaitu menunda KUHP penunda RUU Pemasyarakatan sebagaimana yang disampaikan kepada kami di DPR," kata Bambang saat ditemui di Kompleks Parlemen.

Seperti diketahui, polisi menembakkan gas air mata karena aksi demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR ricuh sore ini. Polisi awalnya melepaskan water cannon ke massa, namun mahasiswa membalas dengan melemparkan botol hingga kayu dan batu.

Polisi tampak bertahan dengan tameng usai menyemprotkan air melalui water cannon. Karena massa mahasiswa terus melempar, sekitar pukul 16.20 WIB, polisi mengeluarkan tembakan gas air mata.

Massa pun mundur ke arah Semanggi. Meski begitu, sebagian massa ada yang masih berusaha untuk kembali berkumpul di depan Gedung DPR. Kepolisian terus memukul mundur massa mahasiswa menjauh dari sekitar Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019) petang.

Kepolisian belum mampu meredam kerusuhan yang terjadi di sekitar Senayan, Jakarta Pusat, Selasa malam. Kerusuhan pecah saat aksi unjuk rasa mahasiswa di depan Kompleks Parlemen Senayan, sore tadi.

Puluhan pasukan TNI AL dari Kesatuan Marinir kemudian diturunkan. Mereka memasuki kerumunan massa yang berada di bawah jembatan layang Senayan, Jakarta Pusat, pada pukul 20.34 WIB.

Mereka berjalan menuju kerumunan mahasiswa. Massa yang semula melempari Brimob dengan batu kemudian berhenti melakukan pelemparan. Mereka menyambut baik kedatangan Marinir. Puluhan Marinir tersebut berada di dekat barisan mahasiswa untuk meredam amarah massa.

Banyak Kejanggalan
di Setiap Pasal

Dr Ralfie Pinasang, Pengamat Hukum dari Unsrat mengatakan, aksi demonstrasi mahasiswa murni menyalurkan aspirasi. RKUHP dan UU KPK menuai sorotan karena banyak kejanggalan dalam setiap pasal.

RKUHP banyak pasal masih kontroversi, cenderung merugikan karena masyarakat bisa dikriminalisasi. Pasal penghinaan presiden yang sudah ditolak Mahkamah Konstitusi (MK) muncul lagi.

Ada pasal 604, RKUHP, tentang korupsi, ini hukuman ancaman minimal diturunkan dari 4 tahun menjadi 2 tahun. Hal ini tentu tidak memberikan efek jerah bagi koruptor.
Ini kemudian RKUHP ditolak ada beberapa pasal yang masih harus ditinjau lagi, sehingga presiden menangguhkan, selesaikan dulu pasal-pasal ini.

Revisi UU KPK misalnya dinilai sebagai upaya melemahkan KPK. Banyak poin mengebiri kewenangan.

Misalnya soal Dewan Pengawas KPK, kewenangan menyadap harus ada izin. KPK bisa mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Dewan Pengawas ini nanti dikhawatirkan disusupi kepentingan dan mengganggu kinerja KPK, termasuk izin penyadapan nanti berpotensi bocor sebelum dilaksanakan.

Salah satu kewenangan KPK yang berbeda dari penegak hukum lain soal mengeluarkan SP3. KPK pada UU lama tidak bisa mengeluarkan SP3, kasus harus benar terang baru naik ke penyidikan dan diputuskan pengadilan.

Kini KPK dibatasi waktu dan bisa mengeluarkan SP3. Persoalannya menangani kasus korupsi butuh waktu. Harusnya KPK itu diperkuat, dibentuk di setiap provinsi, kalau sekarang kan dikebiri kewenangannya. (ryo/dtc/kps)

Berita Terkini