TRIBUNMANADO.CO.ID - Komando Pasukan Katak atau Kopaska, adalah pasukan elite pilihan milik angkatan laut Republik Indonesia.
Pasukan khusus ini dibentuk pada 31 Maret 1962.
Sudah beraksi dalam beberapa kali operasi.
Pada Operasi Trikora misalnya 19 Desember 1961-15 Agustus 1962, Pasukan Katak (Paska) TNI Angkatan Laut , dikomandani Letkol OP Koesno.
Pasukan ini memiliki tugas khusus.
Sesuai dengan kemampuan Kopaska, tugas mereka adalah menyusup ke wilayah lawan untuk melancarkan serangan sabotase atau menyingkirkan penghalang bagi pendaratan pasukan amfibi.
Ketika Operasi Trikora digelar, pasukan Kopaska yang berpangkalan di Teluk Peleng, Sulawesi, sedang dalam kondisi siap siaga.
Baca: LOMBA Unik dan Kreatif Untuk 17 Agustus, Ada Lomba Make Up Dengan Mata Tertutup dan Joged Balon
Baca: Puluhan Kapal Terparkir di Antara Terminal Peti Kemas dan PTS ASDP Penyeberangan, Ini Penyebabnya
Baca: TORANG KANAL - Levitika Gratiany Sharron Rorong, Silahturahmi Pengucapan Syukur
Berada di Teluk Peleng sambil menunggu perintah sesungguhnya merupakan kegiatan yang cukup membosankan bagi anggota Pasukan Katak saat itu, meskipun sejumlah latihan tempur tetap dilakukan.
Dilansir dari Intisari, pasukan Kopaska yang dipimpin oleh Mayor Urip Santosa sempat mendapat kesibukan baru.
Hal ini lantaran turun perintah untuk menyiapkan kurang lebih 2 peleton sukarelawan sipil beserta 5 human torpedo (torpedo manusia) untuk misi bunuh diri.
Selama Perang Dunia II, torpedo manusia yang oleh AL Jepang disebut 'Kaiten' ini sebenarnya pernah dioperasikan, dan pilotnya mendapat penghargaan khusus serta hadiah uang.
Sebelum dioperasikan di lapangan, dalam progam latihan Kaiten telah menyebabkan korban jiwa sebanyak 15 orang pilot.
Mayor Urip masih merasa asing dengan senjata 'torpedo manusia' itu, karena belum pernah mendapat briefing khususnya peta operasi dan pendaratan sasaran yang akan dituju.
Berkaitan dengan torpedo manusia itu, Mayor Urip hanya pernah mendengar tentang adanya Proyek Y, yakni torpedo biasa yang diisi dengan 100 kg TNT.
Baca: Tukar Guling dengan Romelu Lukaku, Man United Tetap Harus Bayar 55 Juta Euro, Tapi Bukan ke Juve
Baca: TEPAT Hari Ini, 18 Tahun Silam, Ronaldinho Sempat Membuat Kejutan Terbesar Dalam Kariernya
Baca: Pria Berjanggut Lebih Banyak Bawa Kuman daripada Anjing Rumahan, Masa Sih?
Facebook Tribun Manado :
Baca: APIP Boltim Beri Waktu 10 Hari Selesaikan Hasil Temuan Terkait Dana Desa
Baca: Suaminya di Penjara, Barbie Kumalasari Tampak Sibuk Lakukan Perawatan Kecantikan
Baca: Pak Tarno Mulai Beraksi Sulap Saat Menjual Martabak Keliling, Istrinya Pramugari Cantik
Instagram Tribun Manado :
Untuk pemicu ledakannya digunakan mekanisme detonasi yang secara otomatis akan meledak waktu bertabrakan dengan dinding kapal.
Dari mekanisme kerjanya, torpedo dibawa menggunakan sebuah speedboat kecil yang digerakan motor tempel 100TK.
Speedboat itu sendiri dikemudikan oleh seorang pilot yang akan mengarahkan dan membenturkan torpedo pada kapal musuh.
Sesaat sebelum torpedo membentur kapal musuh, pilot harus melompat menggunakan kursi pelontar yang sistemnya mirip kursi lontar jet tempur.
Mayor Urip yang belum pernah dilibatkan dalam operasi torpedo manusia dan juga tak pernah diberi petunjuk pemakaiannya atau cara operasinya, jelas tak bisa menolak perintah karena sedang berada di front terdepan.
Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, diam-diam Mayor Urip melakukan uji coba pada sukarelawan dan speedboatnya.
Ternyata mesin tempel yang terpasang bukan 100 TK melainkan 50 TK.
Kursi lontar yang katanya terpasang ternyata tidak ada sehingga pilot harus melompat sendiri sebelum torpedo meledak.
Tanpa kursi lontar, pilot 'torpedo manusia' ini kemungkinan besar akan tewas akibat kedakan TNI seberat 100 kg.
Namun yang membuat Mayor Urip geleng-geleng adalah mekanisme detonasi yang tidak berfungsi sama sekali.
Hal ini terbukti ketika dilaksanakan tes dengan menerjangkan torpedo TNT 100 kg tanpa manusia dalam kecepatan 25 knot ke salah satu tebing karang yang lokasinya berada di teluk yang sunyi.
Ternyata torpedo yang diterjangkan sama sekali tidak meledak.
Tapi torpedo tersebut berhasil meledak setelah menggunakan keterampilan khusus dan perangkat demolisi.
Ketika Mayor Urip melaporkan hasil uji cobanya ke Panglima ATA-17, Komodor Sudomo ternyata tidak keluar komentar apa pun.
Yang pasti Mayor Urip lega, karena jika Operasi Jayawijaya jadi digelar dan torpedo-torpedo manusia itu digunakan, bisa dipastikan tidak ada satu pun sukarelawan yang selamat.
Sejarah Senjata 'Torpedo Manusia'
Dilansir dari Intisari, human torpedo pertama kali dioperasikan oleh AL Italia semasa Perang Dunia I (1914-1918).
Saat itu, sebuah torpedo yang dalam bahasa Italia yang disebut 'Malale' ditumpangi dua personel AL, lalu dengan sistem kendali sederhana diarahkan ke kapal perang musuh.
Agar tak terlihat musuh, senjata ini hanya dioperasikan pada waktu malam dan tepat pada kemunculan bulan baru.
Ketika torpedo sudah meluncur ke kapal musuh, dua personel pengendalinya buru-buru melompat ke laut untuk menyelamatkan diri.
Hasilnya, kapal musuh meledak begitu dihantam torpedo dan tenggelam.
Berkat senjata inilah Italia bisa menenggelamkan kapal tempur Viribus Unitis dan kapal barang Wien milik AL Austro-Hungaria.
Sayang, karena tidak disertai kapal pendukung untuk melarikan diri kedua pilot bisa dengan mudah ditangkap.
Pada peperangan berikutnya, Decima Flottiglia (Armada Kapal Tempur AL Kerajaan Italia) mengoperasikan lagi human torpedo pada Perang Dunia II (1942).
Caranya adalah dengan pengendalian oleh personel yang sudah dilatih khusus, yakni seorang pasukan katak (frogman) yang biasa disebut noutatori untuk menyerang kapal perang Inggris.
AL Inggris Pada Oktober 1942 juga mencoba untuk menjebol kapal perang AL Jerman, Tirpitz, dalam Operasi Title menggunakan human torpedo.
Sebelum menjalankan misi tempur yang sesungguhnya AL Inggris melaksanakan uji coba terlebih dahulu.
Tapi demo senjata ini buyar di tengah jalan, karena personel pengendali tak mampu mengendalikan senjata yang tergolong rahasia ini.
Meski merupakan senjara rahasia yang sangat berisiko, pasukan Kopaska TNI AL (ALRI) ternyata pernah menyiapkan torpedo manusia ini dalam Operasi Trikora.
Tapi, human torpedo yang diapakai ALRI berbeda dibanding human torpedo buatan AL Italia dan AL Inggris.
Human torpedo ala ALRI berupa perahu kecil yang dikendalikan prajurit dan di bagian ujungnya diikatkan torpedo yang biasa diusung kapal selam.
Cara penggunaannya adalah kapal dikendalikan menuju kapal musuh dan sebelum terjadi benturan prajurit pengendali sudah melompat terlebih dahulu ke air.
Tapi, senjata ini batal digunakan karena Indonesia bisa merebut Irian Barat melalui diplomasi PBB.
Namun Torpedo ternyata tetap digunakan oleh Kopaska untuk melakukan operasi penyusupan yakni dengan menggunakan torpedo yang kosong.
Torpedo tanpa bahan peledak itu ‘diisi’ personel Kopaska dan kemudian diluncurkan ke laut bak kapal selam mendekati kapal musuh.
Setelah dekat personel Kopaska diam-diam keluar untuk melancarkan misi tempurnya.
Operasi mengunakan torpedo untuk mengangkut pasukan itu sebenarnya cukup rumit dan beresiko tinggi serta hanya pasukan sangat terlatih yang bisa melakukannya.
Sumber: Kopaska Spesialis Pertempuran Laut Khusus TNI AL 2012
Artikel ini telah tayang di Tribunjambi.com dengan judul Cuma Kopaska TNI AL, Pasukan Elite RI yang Pernah Jalani Misi Bunuh Diri dengan 'Torpedo Manusia'
Channel Youtube Tribun Manado :