TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Wajahnya khas Arab, bermata lebar, hidung mancung.
Rambutnya pirang, kulitnya tak terlalu putih namun masih lebih putih ketimbang umumnya rekannya di SDN 54 Perkamil.
Dialah Sakinah, imigran asal Afganistan yang bersekolah di sekolah di sana.
Sakinah adalah adik dari Sajjad, imigran asal Afganistan yang meninggal dengan membakar diri sebagai wujud protes pada PBB.
Meski fisiknya 100 persen, jiwa Sakinah 100 persen Manado.
Ditemui Tribunmanado.co.id, Jumat (14/03/2019) pagi di SDN 54 Perkamil, Sakinah berbicara dengan bahasa melayu Manado yang lancar.
"Dari mana om," kata dia polos.
Sakinah mengaku sudah tidak tahu bahasa Afganistan.
Ia hanya tahu bahasa Manado.
"Kita cuma tau bahasa Manado," kata dia.
Sakinah adalah penggemar makanan pedas khas Manado.
Sehari harinya ia makan ikan pedas.
Hidup Sakinah makin sulit pasca kematian kakaknya.
Mereka tak lagi hidup di penampungan.
Sekeluarga hanya menumpang di sebuah rumah di kampus.
Untuk hidup mereka musti bergantung pada kemurahan hati warga.
"Jajan saja, harus dikasih orang," kata Nur, kakak dari Sakinah.
Sakinah sendiri terpaksa menumpang di rumah salah satu temannya.
Meski sulit, Sakinah pantang menyerah pada hidup.
"Saya ingin terus sekolah, saya mau jadi guru seperti papa saya," kata dia.
Sakinah mengakui kasih warga Manado telah menyelamatkannya.
"Warga Manado sangat baik, menyumbang kepada kami tanpa pamrih," katanya.
Diketahui, Sajjad Jacob (24) warga Afganistan di Rudenim Manado meninggal dunia, pada Rabu (13/2/2019) setelah aksi bakar diri yang dilakukannya pada Selasa (06/02/2019).
Aksinya nekat tersebut sempat bikin heboh masyarakat Sulawesi Utara.
Lulusan Unsrat Manado ini menghebuskan napas terakhir setelah berjuang melawan derita luka bakar selama sepekan terakhir dirawat di RSUP Kandou.
Jenazah Sajjad sudah dimakamkan di Malendeng pada Kamis (14/2/2019)
Saat dirawat, Sajjad mengungkapkan aksi nekatnya tersebut karena petugas rudenim dan kepolisian memaksa masuk ke area kamarnya.
Aksi bakar diri tersebut membuat pamannya yang berada dekat ikut terbakar.
Sajjad mengungkapkan dia dan penghuni lain terus melakukan protes ke PBB terkait status mereka dalam beberapa tahun terakhir.
Mereka unjuk rasa hingga mogok makan untuk mendapatkan status sebagai pengungsi sebelum dideportasi ke negara tujuan.
Dia merasa hidup di rudenim seperti dalam penjara.
Atas aksi protes tersebut, dia dan keluarganya didatangi petugas dan kepolisian untuk digeledah.
Kepala Rudenim Manado Arther Mawikere mengatakan status penghuni rudenim final reject atau ditolak sebagai pengungsi.
“Yang jelas status mereka final reject, dan sejak 01 Februari 2019 berada dalam pengawasan Imigrasi sesuai surat UNHCR 31 Januari 2019. Termasuk Internasional Organizations for Migrations yang telah memutus pemberian fasilitas mereka, oleh karena ulah dan perbuatan mereka yang menolak beberapa kali pihak UNHCR untuk menemui mereka. Sehingga status mereka adalah Immigratoir,” ujar Mawikere kepada tribunmanado.co.id pada Sabtu (9/2/2019)
Pihaknya meminta bantuan polisi untuk mengecek kamar para penghuni karena pagar menuju kamar sudah ditutup.
Saat itulah Sajjad yang menolak digeladah melakukan aksi bakar diri.
Sayang, aksi nekad Sajjad yang gigih memperjuangkan nasibnya dan pencari suaka lain justru menyebabkan nyawanya hilang.
Sang pahlawan pencari suaka yang bergaul akrab dengan warga Manado ini sudah dimakamkan.
Kematian Sajjad meninggalkan duka, banyak protes pun dilayangkan warganet Manado terkait kematian Sajjad.
Sajjad dan keluarga memang sudah hampir 10 tahun tinggal di Manado setelah sebelumnya tinggal di NTB selama 10 tahun.
Alasan kemanusian tentu membuat banyak orang berempati atas peristiwa menimpa Sajjad.
Namun, ada hukum internasional yang harus dipatuhi dalam perjuangan para pencari suaka tersebut.
Apalagi Indonesia bukan negara peratifikasi konvensi Wina tentang pengungsi.
Sehingga tidak ada kewajiban untuk mengurus pengungsi.
Para pencari suaka tersebut hanya titipan yang kapanpun bisa dideportasi.
Amar Karim, keluarga Sajjjad mengungkapkan sebagai warga yang lari dari negaranya, kedatangan mereka hanya untuk mendapatkan kedamaian. Indonesia dia anggap sebagai negara yang mampu memberi kedamaian itu.
Dia menyebut, kebaikan yang mereka rasakan tidak hanya setahun melainkan sudah 20 tahun, yakni 20 tahun di Nusa Tenggara Barat dan 10 tahun di Manado.
"Karena masyarakat Indonesia kami bisa bernapas. Keluarga kami telah mendapatkan kehangatan yang diberikan masyarakat Indonesia selama ini. Kami berharap dukungan penuh dari Masyarakat Indonesia,” lanjut dia. (Tribunmanado.co.id/Arthur Rompis)
BERITA POPULER:
Baca: Instagram dan Facebook Down, Tak Bisa buat Status, Unggah Foto, Facebook Sebut karena Serangan DDoS
Baca: Oknum Sekuriti Ditangkap Polisi Setelah Memerkosa Karyawati di Manado, Korban: Saya Takut dan Malu
Baca: Sepatu yang Digunakan Syahrini Saat Melakukan Jumpa Pers Disoroti. Netizen: Ngak Terlalu Mahal
Jangan Lupa Subscribe Channel Youtube tribunmanadoTV
Follow juga akun instagram tribunmanado