TRIBUNMANADO.CO.ID - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengkritik pemberian medali Kemerdekaan Pers untuk Presiden Joko Widodo.
Menurut dia, penghargaan tersebut tidak sesuai dengan praktik kemerdekaan pers di lapangan.
"Pemberian penghargaan Kemerdekaan Pers kepada Joko Widodo pada puncak peringatan Hari Pers Nasional yang diselenggarakan di Surabaya 9 Februari 2019, sangat ironis. Ini seharusnya membuat insan pers merasa prihatin," ujar Fadli Zon melalui keterangan tertulis, Sabtu (9/2/2019).
Fadli memberi contoh paling baru adalah isu pemberian remisi terhadap pembunuh wartawan Radar Bali. Meskipun pada akhirnya Jokowi telah mencabut remisi itu.
Fadli Zon juga menyoroti fenomena "blackout" terhadap pemberitaan yang merugikan Jokowi.
Baca: Tanaman Ini Bisa Membuat Petani Kaya Raya
Baca: Ustadz Yusuf Mansyur Dukung Jokowi - Sempat Dapat Penolakan, Jokowi Khawatirkan Hal Ini
Fadli mengatakan itu membuat medali Kemerdekaan Pers untuk Jokowi pantas dikritik.
Dia menyayangkan pemberian medali ini karena seolah menyanjung penguasa. Padahal seharusnya lembaga pers harus mengedepankan fungsi kontrol mereka terhadap pemerintah.
"Tugas pers memang bukanlah menyanjung-nyanjung pemerintah, tapi mengawasi mereka," kata dia.
Dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional, Fadli mengatakan, ancaman terbesar kebebasan pers saat ini ada di insan pers sendiri. Khususnya terkait sikap partisan para pemilik media.
Di tengah situasi itu, dia berharap pers di Indonesia bisa tetap menjadi pilar keempat demokrasi.
Sebelumnya, Dewan Pers menganugerahkan medali Kemerdekaan Pers kepada Presiden Jokowi.
Medali itu diberikan kepada Jokowi di puncak Hari Pers Nasional (HPN) di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (9/2/2019).
Margiono, Penanggung Jawab HPN 2019, mengatakan, penghargaan medali Kemerdekaan Pers itu diberikan kepada pejabat tertinggi di negara ini yang dianggap tidak pernah mencederai kebebasan pers.
"Sehingga kemerdekaan pers di Indonesia tetap sehat dan positif untuk masa depan yang lebih baik di negeri ini," kata Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia ini.
Cabut Remisi
Putri pertama Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menanggapi terkait pembatalan remisi pembunuh wartawan Bali oleh Presiden ke-7 Republik Indonesia, Jokowi.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi telah menandatangani pembatalan remisi untuk I Nyoman Susrama, terpidana pembunuh jurnalis Radar Bali AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.
"Pembatalan ini setelah mendapatkan masukan-masukan dari masyarakat, termasuk dari rekan-rekan jurnalis. Saya perintahkan kepada Dirjen Lapas Kemenkumham menelaah dan mengkaji pemberian remisi itu. Kemudian Jumat kemarin telah kembali di meja saya. Sudah sangat jelas sekali sehingga sudah diputuskan sudah saya tanda tangani untuk dibatalkan," ujar Jokowi dilansir dari Kompas.com.
Pembunuh wartawan Bali itu mendapatkan remisi berupa pengurangan masa hukuman penjara seumur hidup menjadi 20 tahun penjara.
Keputusan remisi itu didasarkan pasal Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
Pembatalan remisi pembunuh wartawan Bali itu juga sempat didesak berbagai kalangan, dari pihak PDI Perjuangan hingga kalangan praktisi hukum.
PDI Perjuangan meminta agar Pemerintah segera membatalkan remisi yang diberikan kepada I Nyoman Susrama, pelaku pidana pembunuhan wartawan AA Narendra Prabangsa.
"Remisi ini harus ditinjau ulang dan dicabut. PDI Perjuangan merekomendasikan pembatalan remisi tersebut, dan kami yakin pemerintahan demokratis Pak Jokowi akan membatalkan remisi tersebut," ujar Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto dilansir Tribunnews.com.
Hasto menyatakan pihaknya menilai satu di antara indikasi demokrasi yang sehat adalah kebebasan pers.
"Indonesia harus bebas dari intimidasi, dan kekerasan terhadap insan pers," tegasnya.
Pernyataan itu disampaikannya merayakan Hari Pers Nasional 2019.
Menurut Hasto, sejarah panjang pers Indonesia melibatkan diri dalam perjuangan pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan, penindasan.
Dan karenanya penuh penghormatan terhadap demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan.
Dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, melalui diplomasinya internasional di Amerika Serikat, Bung Karno menegaskan bahwa pers melahirkan kekuatan terang peradaban.
Saat itu Bung Karno mengutip pernyataan Mark Twain. Bahwa di dunia ini ada dua kekuatan yang bisa memberikan terang.
"Pertama adalah Matahari sebagai Ciptaan Allah SWT, dan kedua adalah pers. Karena itulah pers tidak hanya menjadi pilar keempat demokrasi, namun juga penjaga peradaban demokrasi dan sekaligus penjaga kemanusiaan itu sendiri," ujarnya.
Pembatalan remisi yang dilakukan Jokowi itu kemudian mendapatkan perhatian Alissa Wahid.
Dilansir TribunJakarta.com dari laman Twitternya @AlissaWahid pada Sabtu (9/2/2019), ia mengapresiasi tindakan Jokowi tersebut.
Kendati demikian, Alissa Wahid meminta Jokowi memperhatikan kasus Kyai Nur Aziz pembela para petani di Kendal.
Kyai Nur Aziz merupakan seorang tokoh NU asal Desa Surokonto, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, masuk penjara dalam kasus sengketa agraria terkait tukar guling lahan antara PT Semen Indonesia dan Perhutani di Kabupaten Kendal.
Alissa Wahid menegaskan, Kyai Nur Aziz bukanlah seorang pembunuh atau penyiksa.
"Bapak, terimakasih sudah membatalkan remisi bagi yang tidak berhak. Di sisi lain, ada kasus kyai Nur Aziz di Kendal, bukan pembunuh atau penyiksa, yang dipenjara karena membela para petani di desa Surokonto Wetan. Berharap pak Jokowi mau memperhatikannya," tulis @AlissaWahid.
Awal Kasus Kyai Nur Aziz
Berdasarkan catatan DKN Laskar Santri Nusantara, Kiai Nur Aziz bersama dua warga lainnya pada awal Mei 2017 telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara pembalakan liar dan penyerobotan lahan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Nur Aziz yang juga Ketua Paguyuban Petani Kendal menghadapi proses kriminalisasi karena menggarap lahan di sekitar kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Perhutani.
Padahal, menurut Nur Aziz, Surat Keputusan Menteri Kehutanan terkait penetapan kawasan hutan di Surokononto Wetan tidak sah karena tidak clean and clear.
Lahan tersebut sebenarnya adalah lahan pengganti untuk Perhutani karena lahan perhutani yang berada di Rembang dijadikan pabrik oleh PT Semen Indonesia.
PT Semen Indonesia mendapatkan lahan pengganti untuk Perhutani di Desa Surokonto dengan cara membeli dari BUMN perkebunan karet PT Sumur Pitu.
Lahan pengganti seluas 125 hektar adalah lahan negara yang dikelola PT Sumur Pitu dengan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU).
Perusahaan tersebut awalnya memegang HGU, tetapi telantar sejak tahun 1972, kemudian warga menggarap lahan tersebut. Luas tanah di Desa Surokonto Wetan 127 hektar, dikelola 460 petani.
Baca: Ustaz Yusuf Mansur Dukung Jokowi? Sang Ustaz: Jokowi Adalah Presiden yang Paling Banyak ke Masjid
Baca: BPBD Kotamobagu Masih Buka Posko Bantuan
Total ada 400 hektar di tiga desa dan dua kecamatan yang menjadi lahan tukar guling, yakni dua desa di Kecamatan Pageruyun dan dua desa di Kecamatan Weleri.
Pada Januari 2015, Nur Aziz dan kawan-kawan menggalang petani untuk menolak tukar guling lahan tersebut.
Penolakan itu berbuntut panjang, Nur Aziz dan kawan-kawan dilaporkan ke polisi hingga berproses ke pengadilan.
Dalam proses hukumnya, Nur Aziz dan dua kawannya dibawa ke meja hijau. Mereka menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Kendal dan dijerat Pasal 94 ayat 1 UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Vonis dijatuhkan tanggal 18 Januari 2017 dan berlanjut ke pengajuan kasasi hingga akhirnya Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi dari jaksa sehingga diputuskan para terdakwa dihukum delapan tahun penjara. (Tribunjakarta.com/tribunnews/kompas.com)
Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan link http://jakarta.tribunnews.com/2019/02/10/fadli-zon-kritik-pemberian-medali-kemerdekaan-pers-untuk-jokowi?page=all.