Laporan Wartawan Tribun Manado Finneke Wolajan
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Ibadah komunitas Yahudi Sulawesi Utara (Sulut) setiap Sabtu di Sinagoga Shaar Hashamayim berlangsung aman tanpa gangguan.
Sudah sejak tahun 2004 Sinagoga itu berdiri di kota kecil nan sejuk, Tondano, ibu kota Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulut.
Yaakov Baruch (36), pemimpin komunitas Yahudi Sulawesi Utara bersyukur.
Selama ini tak ada gangguan bagi komunitasnya untuk menjalankan keyakinan mereka di rumah ibadah Yahudi satu-satunya di Indonesia ini.
“Awalnya ada kecurigaan dari warga sekitar soal aktivitas kami di sini. Namun setelah kami jelaskan, warga akhirnya mengerti,” ujar Yaakov saat ditemui di Sinagoga, awal November 2018 ini.
Komunitas Yahudi menilai toleransi beragama di Sulawesi Utara tinggi.
Sehingga mereka pun bisa dengan tenang menjalankan ibadahnya di Bumi Nyiur Melambai ini.
Selain di Sinagoga, komunitas ini juga melakukan pertemuan di rumah-rumah anggotanya di Manado dan sesekali di Bali.
Saat ini ada sekitar 10 sampai 15 keturunan Yahudi di Sulawesi Utara yang beribadah di Sinagoga tersebut.
Jumlah komunitas Yahudi di Sulawesi Utara memang tak berkembang.
Karena ajaran Yahudi hanya diturunkan pada mereka yang berdarah Yahudi.
Selain karena faktor ajaran tersebut, faktor lainnya yakni saat tentara Belanda berdarah Yahudi kembali ke negaranya setelah Indonesia merdeka, mereka tak meregister agama Yahudi di Indonesia.
“Sehingga agama kami dianggap tak ada di Indonesia,” ujarnya.
Aktivitas di Sinagoga Shaar Hashamayim tak sekadar ibadah bagi komunitas Yahudi.
Sinagoga ini banyak menerima tamu dari berbagai latar belakang, baik dari dalam maupun luar negeri.
Seperti mahasiswa teologi, mahasiswadari universitas Muslim, lembaga pemerintahan dan kelompok lainnya.
Hal ini terlihat dari berbagai dokumentasi serta buku tamu yang berada di ruangan belakang Sinagoga tersebut.
“Mereka mendapat penjelasan tentang agama Yahudi. Mereka bisa mendengar langsung, tak hanya sekadar membaca informasi yang ada di internet atau sumber lain. Saya juga pernah mengundang warga Muslim sekitar sini untuk buka puasa bersama. Yahudi di London melakukan itu dan saya lakukan itu di sini,” katanya.
Yaakov saat ini sering tampil di seminar- seminar yang menghadirkan tokoh
lintas agama.
Ia pernah mewakili Indonesia mengikuti seminar selama dua bulan di Amerika bersama perwakilan Katolik dan Muslim.
Dalam seminar tersebut mereka mendapat pelatihan bagaimana menjadi pionir untuk memecah konflik agama.
“Dalam setiap diskusi lintas agama, saya selalu memposisikan diri sebagai penengah jika terjadi kebuntuan dalam diskusi. Orang Yahudi tak menganggap bahwa agama di luar Yahudi sesat. Masuk surga tak harus menjadi Yahudi. Namun semua orang bisa masuk surga dengan agamanya masing-masing,” ujarnya.
Dalam berbagai seminar Yaakov memberi pengertian bahwa semua bersumber dari pikiran, dari ketidaktahuan.
Sebab menurutnya orang cenderung membenci karena tidak tahu. Semisal ketika terjadi kebuntuan dalam diskusi soal daging babi. Muncul pertanyaan kenapa Muslim tak makan babi dan Kristen makan.
“Saya menyamakan persepsi dengan menarik kembali sejarah, agar diskusi tetap pada koridor. Jika belajar sejarah, kita akan menemukan benang merah. Karena agama Samawi punya sumber yang sama,” ujarnya.
Yaakov mengaku nyaman menganut kepercayaannya sekarang. Meski di Indonesia sendiri Yahudi sering dihubung-hubungkan dengan konflik Israel dan Palestina. Padahal menurut Yaakov, konflik di dua negara tersebut bukan konflik agama, melainkan konflik wilayah. Ia pun pernah dipaksa membuka atribut Yahudinya saat berada di sebuah mall di Jakarta, enam tahun lalu.
Di Sulawesi Utara saat orang mengetahui ia adalah seorang Yahudi, ia mendapat dukungan. Warga pun tak mempermasalahkan agamanya itu.
Bahkan ia bisa dengan leluasa mengenakan atribut agamanya. “Saya nyaman bergaul dengan siapa saja, dengan identitas saya sebagai penganut Yahudi,” ujarnya.
Yaakov memakai agama Kristen di kartu tanda penduduknya. Sebenarnya ia berkeinginan untuk mengosongkan kolom agama di KTP. Sudah beberapa kali ia menyampaikan itu ke Pemerintah Kota Manado, namun sesuai aturan kolom agama tak boleh kosong. Sehingga ia terpaksa memakai agama Kristen.
Alasannya, karena ia berada di Manado, daerah dengan mayoritas Kristen.
“Penganut Yahudi yang ada di daerah mayoritas Muslim, memakai Muslim di kolom KTP mereka. Sempat ada wacana komunitas Yahudi Indonesia akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi soal kolom agama di KTP ini. Hanya saja kami mengurungkan niat untuk menghindari konflik,” ungkapnya.
Yaakov lahir dan besar dari keluarga berbeda agama. Sejak kecil kedua orangtuanya telah menanamkan nilai-nilai agama padanya.
Ayahnya adalah seorang Kristen Protestan dan almarhum ibunya adalah seorang Muslim. Sejak kecil ia sudah terbiasa hidup di keluarga yang berbeda keyakinan, menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Sehingga ketika Yaakov untuk menganut Yahudi, agama nenek moyangnya, tak ada pertentangan sama sekali dari kedua orangtuanya. “Tak ada masalah, kami bisa saling
menerima,” ujarnya.
Yaakov memutuskan menganut Yahudi setelah nenek sebelah ibunya memberitahunya bahwa ia memiliki keturunan Yahudi. Saat itu dirinya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Yaakov kemudian menelusuri silsilah keluarganya dan mendapati benar ia punya keturunan Yahudi.
Kakek buyutdari garis keturunan ibunya adalah Elias van Beugen yang merupakan imigran Yahudi Belanda. Dalam perjalanan ke Belanda, Israel bahkan Australia, ia mendapati bahwa moyangnya itu adalah penganut Yahudi Ortodoks. Namun sudah sejak lama keluarga ibunya berpindah dari agama Yahudi.
Yaakov kemudian mendalami Yahudi di Singapura dan memutuskan untuk memimpin sinagoga di Sulawesi Utara. Ayah Yaakov sebenarnya juga punya darah Yahudi. Hanya saja ayahnya tak punya dokumen lengkap silsilah keluarga.
Yaakov memandang toleransi sebagai bentuk saling menghormati dengan batasan-batasan tertentu. Menurutnya orang sering salah kaprah dengan tolenrasi. Baginya, inti dari toleransi adalah menerima keberagaman, menerima orang yang berbeda. Namun jangan atas nama toleransi lalu melanggar aturan agama.
“Misalnya dalam perayaan sebuah agama, ada agama yang melarang menggunakan atribut agama lain. Sehingga jangan atas nama toleransi, lalu kita pakai atribut itu, padahal tidak boleh. Toleransi itu harus proporsional dan objektif. Jangan berkoar-koar toleransi, di saat yang sama menunjukkan sikap intoleransi,” katanya.
Saat ini Yaakov telah berkeluarga dan dikaruniai dua anak. Ia telah menikah. Dalam kesehariannya Yaakov adalah dosen hukum di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado. Ayahnya, almarhum ibunya dan ibu tirinya juga adalah dosen hukum di fakultas yang sama dengan Yaakov. Selain dosen, Yaakov juga adalah seorang fotografer yang memiliki nama besar di Manado.
Tanamkan Nilai Agama Sejak Kecil
Toar Palilingan, sang ayah tak kaget saat tahu anak semata wayangnya memutuskan untuk menganut ajaran Yahudi. Sebab sudah sejak awal keluarga ini tak mempermasalahkan perbedaan agama. Yaakov yang hidup dari ayah Kristen dan ibu Muslim mendapat ajaran dua agama ini. Toar dan almarhum istrinya menanamkan nilai-nilai agama yang baik pada Yaakov sejak kecil.
“Betapa jahatnya orangtua jika menanamkan sikap sinisme pada anaknya. Orang-orang pada waktu itu mungkin berprasangka kalau dia memiliki dua kepribadian karena perbedaan agama orangtua,” ujarnya saat diwawancarai Tribunmanado.co.id, awal November 2018 di ruang kerjanya.
Sebagai orangtua Toar berkewajiban menyiapkan pemondokan, menyekolahkan, hingga memenuhi kebutuhan Yaakov. Selanjutnya sebagai orangtua Toar tak bisa mengatur pikiran anaknya. Lagipula Toar dan istrinya menilai anak mereka Yaakov melakukan hal yang positif, mencari Tuhan dengan jalan spiritualnya sendiri.
“Undang-undang mengatur secara detail tentang hak asasi manusia dalam memeluk agama. Dengan perspektif itu kami hidup dengan pemaknaan itu. Namun bukan semata-mata sebagai orangtua kami lepas kendali. Dia kan saat itu juga tak meminta untuk menjadi penjahat,” katanya.
Seperti ajaran yang ia tanamkan ke Yaakov, hal yang sama juga berlaku untuk generasi selanjutnya, yakni dua cucunya. Anak Yaakov sekarang berumur tujuh dan empat tahun. Cucu pertama Toar sudah mulai mengerti, ia pun banyak bertanya soal agama pada kakek, nenek, serta ibu dan ayahnya.
“Saya sudah beberapa kali bertanya pada cucu saya soal agama. Saya sengaja menguji kepekaannya. Dan dia tak mau komen sama sekali soal agama. Dia sudah mulai mengerti. Kalau adiknya memang masih terlalu kecil,” ujarnya.
Di hari Sabtu anak-anak ini ikut ayahnya beribadah di sinagoga. Pada Minggu mereka ikut kakeknya di gereja. Mereka pun belajar Muslim dari mama dan nenek mereka. Selain ketiga agama ini, dua anak ini juga mendapat pengetahuan agama lainnya di Indonesia seperti Budha Hindu dan Konghucu. Namun keluarga ini tak mengenalkan secara mendalam seperti
tiga agama dalam keluarga.
“Dulu keluarga saya malah lebih beragam. Saya punya anak angkat, dia Katolik. Sekarang sudah Sarjana Hukum dan menikah. Waktu saya adopsi, dia dari keluarga tak mampu. Sementara itu, orang yang bantu-bantu di keluarga saya dari Advent,” kata Toar.
Dalam setahun ada tiga perayaan besar agama di keluarga ini. Mereka memang tinggal serumah, apalagi Yaakov memang anak tunggal dari istri pertama Toar. Saat Natal, sanak saudara dan kerabat datang mengunjungi Toar.
Saat Idul Fitri, mereka mengunjungi istrinya. Sementara untuk perayaan Yahudi berlangsung di sinagoga, sehingga tak ada perayaan di rumah tersebut. Silahturahmi keluarga Toar dan almarhum istrinya masih terjalin baik hingga kini. Lebaran tahun ini keluarga besar ini ramai-ramai mengunjungi keluarga almarhum istrinya di Kotamobagu.
“Selama ini keluarga saya bukan mencari publikasi. Hanya tahun 2010 lalu, New York Times pernah menulis kisah keluarga Yahudi di Indonesia. Untuk warga Indonesia dan Manado yang ada di sana, ini merupakan kejutan. Heboh dan bangga karena New York Times memuat kisah kami sebagai berita utama,” ujarnya sambil memperlihatkan lewat telepon genggamnya website New York Times yang memuat berita tersebut.
Bagi Toar kunci harmonisnya keluarga mereka adalah pemahaman untuk saling mengerti dan memahami perbedaan. Menurutnya butuh wawasan untuk memiliki cara pandang soal perbedaan, khususnya agama. Pemahaman itu kemudian menimbulkan kekuataan untuk menjalankan toleransi tak hanya di kulit luar.
Lingkungan keluarga Toar ini terdiri dari agama Samawi atau dikenal dengan sebutan agama langit. Agama ini memiliki definisi akan Tuhan yang jelas, punya penyampai risalah seperti nabi atau rasul dan mempunyai wahyu dari Tuhan yang diwujudkan dalam kitab suci.
Kesamaan ini pun membuat Toar dan keluarganya tak sulit menemukan banyak titik temu. Keluarga ini memandang bahwa semua agama mengajarkan hal-hal baik. Mereka pun saling belajar memahami dan menghormati ajaran agama masing-masing. Tak hanya itu, mereka juga saling mengingatkan dan saling menegur satu dengan lainnya. Misalnya ketika ada konflik agama yang menjadi isu hangat.
Dalam suasana kekeluargaan, pertanyaan sering muncul, “Apa agama kamu memang mengajarkan itu?” Dengan gaya bercanda, namun tetap berisi pesan teguran dan mengingatkan. “Pertanyaan seperti itu akan ditanggapi berbeda jika disampaikan di luar suasana kekeluargaan. Karena kami sudah saling mengerti sehingga hal seperti itu sering dibawa bercanda,” katanya.
Keluarga Harmonis Berideologi Pancasila
Keluarga Toar Palilingan terkenal sebagai keluarga harmonis. Mereka bergaul baik di lingkungannya. Di mata kerabatnya, keluarga Toar Palilingan adalah keluarga yang benar-benar menerapkan prinsip ke-Indonesia-an.
Profesor Ferdinand Kerebungu, sosiolog asal Universitas Negeri Manado mengaku sejak pertama ia kenal dengan Toar Palilingan dan keluarganya, ia sudah tahu kalau mereka dari keluarga yang berbeda agama.
“Sebenarnya di Manado banyak yang berbeda agama, hanya saja keluarga Toar ini ada tiga agama. Keluarga mereka harmonis sejak dulu. Kalau misalnya tak akur, pas Toar tahu anaknya masuk Yahudi, dia bisa saja mengusir anaknya. Tapi sampai sekarang mereka aman-aman saja, tetap satu rumah,” ujarnya kepada Tribunmanado.co.id, Jumat (16/11).
Kerebungu menganalisa kunci sukses dari harmonisnya sebuah keluarga yakni bagaimana anggota keluarga saling memahami status, saling komunikasi dengan baik dan memahami keyakinan masing-masing. Jika hal ini sudah terjadi dalam keluarga, perbedaan tak akan jadi masalah.
“Keluarga Toar sudah melakukan itu. Dalam sebuah rumah tangga ada proses komunikasi dan saling mengerti,” ujarnya.
Permasalahan malah datang dari luar lingkungan keluarga. Masyarakat memandang kondisi keluarga yang berbeda agama dari kacamata pribadi, bukan dalam konteks ke-Indonesiaan.
Padahal banyak masyarakat yang menikah beda agama sudah berkomitmen sejak awal. “Beda halnya ketika hanya berpura-pura, awalnya ikut salah satu pihak, pada akhirnya kembali ke agama masing-masing,” jelasnya.
Psikolog Jansen Mawitjere mengatakan aturan main dalam keluarga diciptakan oleh suami dan istri, sebagai perpaduan dua insan. Pasangan ini kemudian menciptakan komitmen dan aturan-aturan yang berlangsung secara berkesinambungan pada turunan selanjutnya. Itu pula yang dilakukan oleh keluarga Toar Palilingan, yang menghidupkan Pancasila dalam keluarganya.
“Orangtua sebagai role model. Suami istri membentuk komitmen dengan penyatuan secara emosional. Proses perkembangan itu akan terlihat ketika hadir anak di tengah keluarga. Dalam proses perkembangannya bagaimana suami dan istri memberi dampak positif pada anak maupun lingkungan keluarga,” ujarnya.
Pancasila sebagai ideologi negara membebaskan warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing. Namun justru aturan lainnya tak membolehkan pernikahan beda agama.
Menurut Jansen ini membentuk standar ganda dalam aturan di Indonesia. Selain itu budaya di tengah masyarakat juga terbentuk dengan batasan-batasan ganda.
“Budaya yang berkembang adalah budaya yang tak taat Pancasila. Ada banyak standar ganda. Orangtua misalnya, selalu membatasi anak-anak agar jangan pindah keyakinan. Seakan-akan ketika pindah agama, selalu berdampak negatif. Selalu menekankan banyak konsekuensi negatif, ketika anak berusaha untuk berbeda. Padahal Undang-undang telah menjamin hak
untuk memeluk agama,” ujarnya.
Sifat anak umumnya mencerminkan kedua orangtuanya. Anak memasuki masa kritis pada awal duduk di Sekolah Menengah Atas. Sebagai anak, motivasi ini tak berdiri sendiri karena ada dorongan untuk berkembang. Apa yang diketahui anak akan menjadi bahan untuk mengkritisi situasi yang ada.
Baca: Mahasiswa Ini Pukul Polisi, Cekik Lalu Banting di Saluran Air
“Kemudian di tingkat kenyamanan, ketika memilih keyakinan karena ada proses rasa sayang. Secara dasar aturan, tak ada larangan untuk memeluk agama apapun, tapi budaya yang membentuk itu. Apapun agamamu, harus taat Pancasila sebagai ideologi negara,” jelasnya.
Toleransi Sebagai Jati Diri Bumi Nyiur Melambai
Sulawesi Utara atau dikenal dengan sebutan Bumi Nyiur Melambai adalah daerah yang menjunjung tinggi kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Di saat ada daerah yang berkonflik karena perbedaan, Sulawesi Utara tetap kokoh mempertahankan kerukunan.
Toleransi sudah menjadi jati diri daerah terutara Indonesia ini. Ada berbagai kisah dan peristiwa yang menjadi bagian dari dinamika kehidupan warga Sulawesi Utara yang majemuk. Bukan berarti tak menemui ancaman perpecahan, namun eratnya toleransi dan kekeluargaan dapat meredam konflik.
Sulawesi Utara memiliki dua lembaga yang di dalamnya tergabung rohaniawan yang terus berupaya menciptakan suasana aman, rukun dan kondusif. Dua lembaga tersebut yakni Badan
Kerja Sama Antar Umat Beragama (BKSAUA) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Pastor, gembala, pandita, imam dan para pemimpin umat beragama telah berperan besar dalam menciptakan suasana rukun dan damai.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Utara KH Abdul Wahab Abdul Gofur mengagumi indahnya hidup rukun dan damai di Sulawesi Utara. Menurutnya masyarakat di Bumi Nyiur Melambai adalah masyarakat yang punya rasa persaudaraan tinggi, di tengah kehidupan yang majemuk. “Selama ini toleransi, kekeluargaan terjalin dengan baik,” ujarnya.
Masyarakat Sulawesi Utara menolak hal-hal yang bisa mengganggu kerukunan yang ada. Semisal penceramah yang intoleran. Penceramah yang datang ke Sulawesi Utara harus penceramah yang cinta dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Harus penceramah yang materinya mengandung persatuan dan kesatuan, NKRI harga mati. Dan yang pasti yang mendekatkan diri pada Allah. Semua agama jangan ada politik dalam dakwah," ujarnya.
Tokoh agama Muslim lainnya, Habib Ali Bin Smith mengaku sangat paham dengan falsafah orang Minahasa, yakni ‘Pakatuan Wo Pakalawiren”. Menurut Smith, toleransi antar umat beragama di Sulawesi Utara telah berlangsung lama. Ia mengumpamakan toleransi di Sulut bak air yang mengalir di lautan.
“Kita semua bersaudara, rukun dan damai,” kata Habib yang lahir di Tinoor, Kota Tomohon, saat berkunjung di Manado pertengahan Oktober 2018 lalu.
Perbedaan yang adalah keniscayaan akan menjadi runyam karena politik, demikian Toar Palilingan. Jika mengangkat simbol moral untuk hal positif, itu sah-sah saja. Namun jika memanfaatkan perbedaan untuk dipertentangkan, itu hal yang sangat keliru.
Baca: Papa Suka Nonton Bioskop, Marah Kalau Kami Malas, Sosok Olly Dondokambey di Mata Sang Anak
Bangsa Indonesia lahir melalui proses yang tak mudah. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lahir untuk menyatukan perbedaan, merekatkan keberagaman. Itu menjadi kekuatan besar untuk memersatukan Indonesia. Kekayaan Indonesia itu karunia, anugerah Tuhan untuk bangsa ini.
“Kalau hanya kepentingan sesaat mengorbankan karunia Tuhan, itu dosa. Dalam pembukaan UUD 1945 saja menuliskan berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Itu begitu sempurna. Pendiri bangsa ini telah menetapkan fondasi itu, sangat disayangkan jika kita tak mampu menjaganya. Nilai keberagaman kita pada tahun 1945 tak berubah hingga sekarang. Nilai itu pula yang menangkal perpecahan yang harus kita pelihara,” jelas Toar.
Seperti Toar, Yaakov juga berpesan kepada semua warga Indonesia untuk terus menjaga kerukunan, saling menghargai perbedaan. Jangan biarkan politik memecah belahkan Indonesia yang memiliki fondasi kuat sebagai negara plural yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan. “Sebab jika negara ini hancur karena konflik agama, semua pasti akan dirugikan,” jelasnya.
(Tribunmanado.co.id/finneke wolajan)