TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Rapat antara pemerintah dengan pimpinan lembaga penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (7/6) kemarin, belum menemui titik temu terkait polemik pengaturan beberapa pasal tindak pidana korupsi (tipikor) dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP).
Masing-masing pihak masih pada pendapatnya masing-masing perihal sejumlah pasal tipikor di RKUHP yang tengah dibahas di DPR.
Rapat koordinasi di kantor Kemenko Pulhukam yang diinisiasi Menko Polhukam Wiranto dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Wakil Jaksa Agung Arminsyah dan Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel) Jan Maringka, Ketua Tim Perumus RKUHP Muladi, anggota Panja RKUHP DPR Arsul Sani serta Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Enny Nurbaningsih, Guru Besar Hukum Pidana Unpad Romli Atmasasmita, serta dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo (Ketua KPK) dan Laode Muhammad Syarif.
Seusai rapat, Wiranto mengatakan tidak ada upaya dari pemerintah untuk melemahkan kewenangan KPK terkait RKUHP yang sedang dibahas di DPR.
"Tujuan kami bertemu adalah untuk mencoba saling memahami, menyatukan pendapat terkait RUU KUHP ini sama sekali tak ada niat, tidak ada upaya tidak ada rekayasa untuk melemahkan lembaga-lembaga yang melawan tindak pidana yang bersifat khusus, apakah itu korupsi, narkotika, terorisme, dan apakah itu pencucian uang. Tidak ada," kata Wiranto.
Wiranto juga menampik isu yang berkembang tentang adanya permusuhan antara pemerintah dan KPK terkait RUKHP ini. Menurutnya, yang ada sebatas perbedaan pendapat dari kedua pihak. Dan menurutnya perbedaaan pendapat itu adalah wajar mengingat pembahasan RKUHP masih belum final. "Kalau di sana sini masih ada perbedaan, lumrah saja . Dan saat ini, kami mencoba untuk menyatukan pendapat dalam mengatasi perbedaan itu," katanya.
Menurut Wiranto, ada beberapa pasal yang masih menjadi perdebatan antara pemerintah, DPR dan KPK. Beberapa hal yang menjadi perdebatan antara lain terkait ketentuan mengenai sanksi atau ancaman pidana dan masuknya delik tipikor dalam RKUHP. Oleh sebab itu, untuk menyatukan pendapat tersebut, maka akan dilakukan pertemuan-pertemuan lanjutan.
Pemerintah dan DPR tetap berpendapat, empat pasal pidana pokok dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) harus diatur dalam RKUHP. Empat pasal itu adalah Pasal 2, 3, 5 dan 11. Selain itu ada juga Ketentuan Peralihan di Pasal 723 yang mengesampingkan ketentuan Pasal 729 dalam RKUHP.
Pemerintah dan DPR kerap menjadikan Pasal 729 untuk meyakinkan publik bahwa KPK tidak akan kehilangan kewenangannya dalam menangani kasus korupsi.
Pasal 729 draft RKUHP menyebutkan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan Bab tentang Tindak Pidana Khusus dalam Undang-Undang ini tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur dalam Undang-undang masing-masing.”
Sementara itu, pihak KPK menyatakan pasal-pasal tersebut membingungkan dan berpotensi menhilangkan kewenangan KPK yang telah diatur di UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. KPK berharap pasal-pasal korupsi dan tindak pidana khusus lainnya tidak jadi bagian dari RKUHP.
Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) RKUHP Enny Nurbaningsih mengungkapkan, empat pasal pidana pokok dalam UU Tipikor harus diatur dalam RKUHP bertujuan untuk memperbaiki tata-kelola dan rekodifikasi hukum pidana. Enny pun memastikan asas-asas hukum dalam UU Tipikor akan tetap berlaku meski pidana korupsi diatur juga dalam RKUHP.
"Sementara ini (Pasal 2, 3, 5 dan 11) yang kami tarik sebagai core-nya. Sementara ini. Kalau misalnya ada masukan lagi nanti kita diskusi lagi, karena ini adalah bagian dari kodifikasi hukum pidana," tutur Enny.
Perwakilan DPR, Asrul Sani mengakui masih banyak perbedaan pendapat antara KPK, pemerintah dan DPR dalam pertemuan di kantor Kemenko Polhukam ini. Oleh karena itu, pihak KPK diminta untuk menyampaikan secara spesifik usulan-usulan dan keberatannya terkait delik tipikor di RKUHP kepada DPR.
Usulan-usulan tersebut diharapkan bisa menampik kabar bahwa pemerintah dan DPR ingin melemahkan KPK lewat RKUHP. "Apa belum cukup yang selama ini disampaikan pemerintah dan DPR? Kalau belum cukup, kasihlah kami masukan," katanya.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengakui masih ada sejumlah perbedaan pandangan terkait sejumlah pasal delik tipikor dalam rapat dengan pemerintah ini. Di antaranya melemahnya sanksi terthadap pelaku tindak pidana korupsi terkait Pasal 2, 3, 5 dan Pasal 11. "Ya di antaranya soal perbedaan sanksi, tentang masuknya sebagian pasal Undang-undang Tipikor ke ketentuan umum, RKUHP," ujarnya.
Laode menilai pengaturan tipikor dalam RKUHP akan menimbulkan dualisme hukum atau ketidakpastian hukum dan menyulitkan aparat penegakan hukum dalam menuntaskan perkara korupsi. Selain itu ancaman pidana dan denda cenderung menurun drastis. Pidana tambahan berupa uang pengganti pun tidak diatur secara jelas dalam RKUHP. Padahal, sumber terbesar pemulihan kerugian negara akibat korupsi berasal dari uang pengganti.
ia juga menilai penjelasan yang diberikan pemerintah terkait pengaturan delik tipikor dalam RKUHP adalah membingungkan. Ia menilai penjelasan pemerintah sama sekali tak memasukan usulan KPK dan malah menimbulkan banyak pertanyaan.
"Contohnya ada beberapa pasal yang diatur dalam Undang-undang Tipikor dan KUHP. Jadi mana yang berlaku? Katanya mereka memperlakukan itu adalah yang lex specialis, yaitu Undang-undang Tipikor. Tetapi ada juga asas hukum yang lain kan," kata Laode.
Asas hukum yang dimaksud Laode yakni lex posterior derogat legi priori yang berarti hukum yang baru menggantikan hukum yang lama. Dengan demikian, begitu berbagai ketentuan pidana korupsi dalam RKUHP disahkan, maka bisa mengesampingkan ketentuan pidana dalam UU Tipikor. Padahal, menurut Laode, ketentuan pidana dalam UU Tipikor lebih efektif untuk memberantas korupsi daripada ketentuan yang diusulkan dalam RKUHP.
Laode menyatakan pihaknya bersedia melakukan pertemuan lanjutan usai Hari Lebaran untuk membahas sejumlah perbedaan pendapat ini. "Nanti sehabis Lebaran kami bicarakan,' ujarnya.
Agus Rahardjo mengatakan, masih perlu harmonisasi atas rencana pemerintah dan DPR yang ingin memasukkan pasal-pasal delik tipikor ke dalam RKUHP tersebut.
Ingin Bicara dengan Jokowi
Ketua KPK Agus Rahardjo menegaskan pihaknya tetap berharap pihaknya bisa bertemu dan bicara dengan Presiden Joko Widodo untuk membahas masalah dimasukkannya delik tipikor yang bersifat kendur ke dalam RKUHP ini. KPK tetap pada menolak pasal tipikor masuk dalam RKUHP karena berisiko melemahkan pemberantasan korupsi.
"Kami masih seperti dalam posisi itu ya. Ya kami kalau diizinkan akan berkomunikasi dengan bapak Presiden langsung. Mudah-mudahan," ujarnya.
Agus belum bisa memastikan kapan realisasi pertemuan KPK dengan Presiden Jokowi. KPK masih menunggu kabar dari pihak Istana Negara setelah mengirimkan surat beberapa hari lalu. "Belum tahu. Kita harus nunggu jadwalnya Bapak Presiden juga," ujarnya.
Agus menyatakan pihaknya merasa perlu untuk menyampaikan pandangan dan penjelasan kepada Presiden Jokowi perihal masalah ini mengingat adanya risiko terhadap KPK di masa depan. Ia berharap Presiden Jokowi sependapat dengan KPK meski hal itu tidak bisa dipaksakan . "Belum tentu. Nanti kita jelaskan," ucapnya.
Ia meminta publik untuk terus memantau proses penggodokan RKUHP dan hasilnya ini. "Nanti kamu kawal saja yang ketat," ujarnya.
Disebut Operasi Senyap
Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Maneger Nasution, mendorong Presiden Joko Widodo dan DPR untuk mengeluarkan pasal korupsi dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bagi Muhammadiyah, kata Maneger, kodifikasi pasal korupsi dalam RKUHP merupakan strategi untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui peraturan perundang-undangan.
"Kami menengarai dan menganalisis, sulit untuk membantah bahwa masuknya pasal tindak pidana korupsi ke KUHP merupakan operasi senyap untuk melemahkan KPK, sulit dibantah itu," kata Maneger Nasution dalam konferensi pers di Kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (7/6/2018). Dia menambahkan, pemerintah dan DPR sebaiknya menunjukkan komitmen terhadap pemberantasan korupsi dengan mengeluarkan pasal korupsi dalam RKUHP.
Masuknya pasal korupsi dalam RKUHP, kata Maneger, akan menimbulkan kekisruhan dalam penegakan hukum dan melemahkan kewenangan KPK. "Kami mendorong Presiden dan DPR untuk mempertimbangkan tidak memasukkan delik pidana korupsi ke KUHP, biarlah seperti ini," kata Maneger Nasution.
Jika pemerintah dan DPR tetap ngotot untuk memasukkan pasal korupsi dalam RKUHP, menurut Maneger, maka kejahatan korupsi akan dipandang hanya sebagai pidana umum, dan bukan kejahatan luar biasa. "(Jika) tindak pidana korupsi masuk dalam KUHP, kemudian akan kehilangan karakternya sebagai tindak pidana khusus," kata dia.
Sementara itu, Lembaga Hikmah Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, Abdullah Dahlan, mengkritisi proses pembahasan RKUHP yang dilakukan DPR bersama pemerintah. Dahlan mengatakan, seharusnya pembahasan RKUHP juga melibatkan lembaga yang berkaitan dengan pidana kejahatan luar biasa, seperti KPK, Badan Narkotika Nasional, serta Komnas HAM. (Tribun Network/tim/coz)