Laporan wartawan Tribun Manado David Manewus
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - "Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang. Kadang-kadang, kau pikir, lebih mudah mencintai semua orang daripada melupakan satu orang. Jika ada seorang telanjur menyentuh inti jantungmu, mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan."
Puisi di film Ada Apa Dengan Cinta 2 dengan judul "Tidak Ada New York Hari Ini" menjadi penutup dari dialog pelibatan komunitas seni budaya dalam pencegahan terorisme, Rabu (24/5) di Hotel Ibis Manado oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Puisi yang dibawakan dalam acara "Sastra cinta damai, cegah paham radikal" itu dibawakan langsung oleh Aan Mansyur, sang pencipta.
Ia bersama Ahda Imran berusaha mencegah radikalisme dengan sastra.
Ahda mengatakan radikalisme bukan hanya hanya persoalan keagamaan. Usaha mendapatkan kekasih juga disebut radikal.
"Sangat aneh kalau itu dihubungan dengan agama. Cara beragama kita masih kacau," katanya.
Setelah membacakan satu puisi, ia mengatakan Indonesia mengalami ujian berat. Ada semacam Heterofobia.
"Ada penyakit sosial, takut pada yang berbeda, perbedaan pendapat bahkan mazhab. Ada anti terhadap perbedaan," katanya.
Padahal katanya jalan-jalan ke Kota Bandung tidak perlu membawa peta Kota Manado. Orang menilai iman orang dari imannya.
"Fungsi kesenian meletakkan inti pada kemanusiaan. Misalnya tari Maengket pasti mempunyai nilai-nilai di dalamnya," katanya.
Aan Mansyur mengatakan fakta bahwa banyak SMA yang sudah tidak sanggar. Yang justru tumbuh katanya kelompok kerohanian.
"Universitas menjadi semakin tinggi terpapar radikalisme. Karena kami dipanggil untuk membantu," ujarnya.
Dalam psikologi sosial katanya ada cognitive closure. Semua hasrat yang tidak diungkapkan bisa menjadi sangat berbahaya.
"Seorang ibu di Bangka Belitung mengaku mengucapkan terima kasih karena sastra anaknya bisa tersalur keinginannya. Bagi saya itu mengharukan," katanya.
Setelah itu diadakan tanya jawab. Beberapa orang yang bertanya ialah Reiner Ointu, dan Ivan Kaunang,Om Sampel, dan Letkol Budiman