KERAJAAN Bolaang Mongondow merupakan salah satu pemerintahan kerajaan
yang pernah eksis di kawasan Sulawesi Utara. Peradaban konstitusional
dengan prinsip demokrasi sudah dianut kerajaan ini sejak permulaan abad
ke-13 Masehi. Eksistensi Kerajaan Bolaang Mongondow terhitung berumur
cukup lama dan telah mengalami berbagai dinamika dalam perjalanan
sejarahnya.
1. Sejarah
Peradaban Kerajaan Bolaang Mongondow didirikan oleh orang-orang dari
Suku Mongondow. Pada awalnya, orang-orang Suku Mongondow bermukim di
daerah dataran tinggi, yakni di Gunung Komasaan. Wilayah yang menjadi
tempat asal orang-orang Suku Mongondow itu kini termasuk ke dalam
wilayah Kecamatan Bintauna, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi
Sulawesi Utara, Indonesia.
Secara garis besar, komunitas adat dalam lingkungan masyarakat Mongondow
terbagi atas dua kelompok keluarga atau marga yang berawal dari dua
pasangan suami dan istri. Orang-orang Suku Mongondow mempercayai bahwa
nenek moyang mereka berasal dari pasangan Gumalangit dan Tendeduata
serta pasangan Tumotoiboko dan Tumotoibokat. Masing-masing dari pasangan
ini menurunkan generasi yang kelak menyusun cikal-bakal silsilah dalam
sistem kekerabatan suku bangsa Mongondow (http://id.wikipedia.org).
Jumlah masyarakat Suku Mongondow yang semakin lama semakin bertambah
banyak membuat penyebaran populasi mereka kian meluas. Pada abad ke-8
dan 9 M, orang-orang Suku Mongondow menyebar sampai ke daerah-daerah di
luar tempat asal mereka, termasuk hingga ke daerah Tudu in Lombagin,
Buntalo, Pondoli’, Ginolantungan, Tudu in Passi, Tudu in Lolayan, Tudu
in Sia’, Tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow, dan lain sebagainya. Tuntutan
meninggalkan kampung halaman bukan menjadi masalah bagi Suku Mongondow
karena kebetulan pada zaman itu orang-orang Mongondow masih menganut
gaya hidup yang berpindah-pindah dan bertahan hidup dengan memanfaatkan
sumber daya yang sudah tersedia di alam.
Mata pencaharian orang-orang Mongondow adalah berburu hewan, menangkap
ikan, mengolah sagu dan mencari umbi di hutan. Selain itu, mereka pada
umumnya belum mengenal cara bercocok tanam (http://id.wikipedia.org).
Jumlah peredaran orang-orang Suku Mongondow pada saat itu cukup banyak
dan tersebar merata dari kawasan pesisir pantai hingga ke wilayah
perdalaman atau di daerah-daerah pegunungan.
a. Riwayat Terbentuknya Kerajaan Bolaang Mongondow
Perkembangan kuantitas orang-orang Suku Mongondow yang semakin besar di
sejumlah titik daerah lantas membentuk sejumlah komunitas adat.
Masing-masing kelompok adat dalam satu keturunan sub-etnis Suku
Mongondow ini dipimpin oleh seorang kepala yang disebut Bogani, bisa
laki-laki ataupun perempuan. Seorang Bogani dapat dipilih dengan
memenuhi persyaratan, antara lain memiliki kemampuan fisik yang kuat,
bersifat pemberani, bersikap bijaksana, berpikiran cerdas, disegani oleh
segenap warga serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan dan
keselamatan seluruh anggota kelompok dari gangguan musuh yang datang
menyerang (www.kotamobagukota.go.id).
Seorang raja kecil atau Bogani biasanya dibantu oleh beberapa orang
pembantu sesuai formasi yang dibutuhkan dalam melaksanakan pemerintahan
adat yang masih sederhana itu. Para pendamping Bogani dinamakan Tonawat
yang terdiri dari orang-orang yang mengetahui tentang ilmu perbintangan,
ahli penyakit dan cara pengobatannya, serta mereka yang mengemban tugas
sebagai penasehat pemerintahan Sebelum memulai sesuatu pekerjaan yang
bersifat massal, diadakan perundingan demi mencapai kesepakatan dari
semua pihak. Selain itu, pada saat tertentu, seluruh Bogani berkumpul
untuk bermusyawarah (www.geocities.ws).
Wilayah pemerintahan komunitas kelompok suku yang digalang dan diketuai
oleh seorang Bogani disebut dengan nama Totabuan
(http://marsa84.multiply.com). Tiap-tiap Totabuan mempunyai sistem
pemerintahan dan adat-istiadat yang mengandung kekhususan tertentu.
Dengan demikian, pada waktu itu penduduk Suku Mongondow telah merintis
suatu bentuk peradaban dengan pola dan struktur pemerintahan yang sudah
mulai tertata dan terkoordinasi.
Antara kelompok sub-suku yang satu dengan yang lain tidak jarang
terlibat sengketa meskipun di kalangan para Bogani sudah terdapat forum
musyawarah. Berbagai pertikaian tersebut bisa terjadi karena disebabkan
oleh beberapa faktor, misalnya ketidaksepahaman mengenai batas wilayah,
harga diri, terjadinya kesalahpahaman tentang suatu masalah, dan
seterusnya. Perselisihan yang kerap meletus itu sebetulnya menimbulkan
kerugian yang tidak sedikit dan menjadikan masyarakat yang sebenarnya
masih terhitung dalam satu lingkaran darah tersebut menjadi
terpecah-belah. Atas dasar pemikiran itu, pada penghujung abad ke-12 M,
terpercik pemikiran progresif dari para kepala kelompok suku untuk
membentuk suatu kesatuan pemerintahan yang lebih solid dan kuat.
Para pemuka komunitas adat pun melangsungkan rapat guna berembug untuk
membuka wacana dan menyamakan pandangan demi terciptanya penyatuan
seluruh kelompok suku yang ada. Selain etnis Mongondow, sebenarnya masih
ada tiga etnis lain yang turut berpartisipasi dalam membentuk kerangka
pemerintahan baru. Ketiga etnis tersebut yaitu etnis Mokapok, Bintauna,
dan Bolango. Syamsul Mokoginta dalam artikelnya menyebutkan bahwa
keseluruhan etnis ini memiliki adat dan kebiasaan sendiri-sendiri yang
secara turun-temurun dihormati dan dipatuhi. Dengan demikian, keempat
etnis yang ada di lingkungan itu merupakan satuan masyarakat adat yang
masing-masing memiliki ciri khas dan identitas sendiri (Mokoginta, dalam
http://totabuanmadani.wordpress.com).
Tepat pada tahun 1400 M, peleburan seluruh komunitas adat pun terwujud
dan terbentuklah suatu pemerintahan besar yang tidak lain adalah
Kerajaan Bolaang Mongondow. Nama Bolaang Mongondow adalah perpaduan dari
kata Bolaang dan Mongondow. Bolaang (golaang) mengandung arti “menjadi
terang”, “terbuka”, atau “tidak gelap karena terlindung oleh pepohonan
yang rimbun”. Selain itu, Bolaang juga menjadi nama suatu kawasan
permukiman yang berlokasi di pesisir tepi pantai sebelah utara. Dengan
demikian, istilah bolaang, berasal dari kata bolango atau balangon, juga
dapat diartikan sebagai tepi laut atau pesisir pantai
(http://www.bolmong.go.id).
Sedangkan istilah mongondow diambil dari kata momondow yang berarti
”berseru tanda kemenangan”, selain juga digunakan untuk penamaan suku.
Di samping itu, muncul pula nama Rata Mongondow untuk menyebut daerah
perdalaman. Dengan bersatunya seluruh kelompok masyarakat, baik yang
berdiam di pesisir pantai maupun yang menetap di wilayah perdalaman dan
perbukitan, maka lahirlah kesatuan wilayah yang kemudian disebut dengan
nama Bolaang Mongondow (http://www.bolmong.go.id).
Kalangan perintis Kerajaan Bolaang Mongondow tampaknya sudah mengenal
asas demokrasi. Hal tersebut terlihat dari konsep yang digunakan dalam
prosesi pemilihan pemimpin utama (raja), yakni dengan tata cara yang
disebut singok in lipu molantud yang berarti “keputusan tertinggi dalam
suatu pendapat terletak pada keputusan orang banyak”
(http://marsa84.multiply.com). Dengan mengacu pada mekanisme demokrasi
purba itu, maka terpilihlah pemimpin perdana Kerajaan Bolaang Mongondow
yang bernama Mokodoludut. Setiap raja yang memimpin Kerajaan Bolaang
Mongondow berhak menyandang gelar yang dalam bahasa lokal disebut
sebagai Tompunu’on atau Punu’ (http://id.wikipedia.org).
Salah satu faktor paling penting yang membuat Punu’ Mokodoludut terpilih
sebagai pemangku tahta Kerajaan Bolaang Mongondow secara mutlak dan
aklamasi disebabkan karena asal-usul kelahiran Mokodoludut itu sendiri.
Menurut cerita rakyat yang diyakini oleh sebagian masyarakat Bolaang
Mongondow, banyak orang yang datang untuk melihat di hari ketika
Mokodoludut dilahirkan. Kemunculan pertama Mokodoludut di dunia dianggap
sebagai kejadian yang ajaib dan bersifat gaib.
Dalam legenda dikisahkan bahwa pada suatu hari, pasangan suami-istri
bernama Kueno dan Obayow menemukan benda yang berwujud seperti telur
hanyut di sungai. Setelah dipungut, benda aneh tersebut ternyata kantung
berisi bayi yang baru lahir dan masih terbungkus rahim ibu yang
melahirkannya ke alam semesta. Semua orang terheran-heran dan lantas
mempercayai bahwa bayi itu keluar dari sebuah telur. Jabang bayi itu
lalu diberi nama Mokodoludut, diambil dari kata nodoludut yang bermakna
“penyebab bunyi gaduh dari banyak kaki yang berjalan”. Kelahiran
Mokolududut semakin terasa bernuansa mistis karena berlangsung dalam
cuaca hujan lebat dan disertai gemuruh suara guntur serta kilatan
halilintar yang sambar-menyambar (www.geocities.ws).
b. Eksistensi Kerajaan Bolaang Mongondow
Punu’ Mokolududut memerintah Kerajaan Bolaang Mongondow terhitung sedari
tahun 1400 M. Raja pertama Bolaang Mongondow ini membangun istana,
dalam bahasa lokal disebut dengan istilah komalig, di Gunung Bumbungon
sebagai pusat untuk mengatur jalannya pemerintahan
(http://gmibm.tripod.com). Pada era kepemimpinan Punu’ Mokolududut,
kehidupan Kerajaan Bolaang Mongondow berjalan dengan baik dan teratur.
Kemajuan di segala perikehidupan masyarakat kerajaan diperoleh dengan
relatif pesat.
Hubungan diplomasi dengan pihak-pihak luar kerajaan pun mulai digagas.
Salah seorang yang paling berperan dalam menjalin relasi dengan pihak
luar adalah anak perempuan Punu’ Mokolududut yang bernama Ginsapondo.
Putri kerajaan ini mempelopori terhubungnya kemitraan niaga dengan kaum
saudagar Minahasa yang banyak mendirikan permukiman di areal pesisir
pantai (Ridwan Lasabuda, dalam http://totabuanku.blogspot.com).
Di bawah kepemimpinan Punu’ Mokolududut, masyarakat Kerajaan Bolaang
Mongondow juga mulai mengenal kesenian. Di ranah seni sastra, misalnya,
dikenal seni itu-itum, yakni semacam nyanyian doa yang disenandungkan
dalam acara-acara tertentu, misalnya pada waktu upacara pelantikan
pejabat kerajaan. Selain itu diperkenalkan juga odi-odi (semacam sumpah
atau ikrar) serta jenis vokal yaitu totampit atau sastra bermelodi yang
kemudian kerap dilagukan oleh warga Kerajaan Bolaang Mongondow sembari
menjalani aktivitas sehari-hari (www.geocities.ws).
Punu’ Mokolududut duduk di singgasana tertinggi Kerajaan Bolaang
Mongondow selama kurang lebih 60 tahun dan berakhir pada tahun 1460 M.
Kondisi Kerajaan Bolaang Mongondow sepeninggal Punu’ Mokolududut masih
berjalan dengan relatif baik. Kehidupan warga kerajaan semakin bertambah
sejahtera karena didukung oleh aktivitas perdagangan yang bagus dan
cukup maju kendati pola perniagaan yang dilakukan pada masa itu masih
menggunakan sistem barter atau saling menukar barang. Pada era-era ini
Kerajaan Bolaang Mongondow mulai menjalin hubungan dengan pihak asing,
antara lain dengan pedagang-pedagang dari Spanyol, Portugis, dan Belanda
yang pada kala itu masih berstatus sebagai kongsi dagang yang kemudian
lazim dikenal dengan nama Verenignde Oost-indie Compagnie (VOC) alias
kompeni (www.geocities.ws).
Kehidupan dan hubungan antar masyarakat yang terjalin di lingkungan
Kerajaan Bolaang Mongondow pun berlangsung dengan damai. Meskipun
komposisi rakyat kerajaan berasal dari golongan kelompok yang berlainan
dengan aneka ragam perbedaannya, kerukunan antar warga terjalin dengan
baik karena tidak adanya tingkatan atau strata sosial dalam tatanan
masyarakat. Suasana yang aman dan terkendali serta tanpa perbedaan kelas
sosial yang merupakan warisan dari Punu’ Mokolududut tersebut
berlangsung dalam kondisi yang stabil hingga masa pemerintahan raja-raja
di era-era berikutnya. Perubahan yang sedikit mewarnai perjalanan
sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow terjadi pada tahun 1480 M adalah
pergeseran ibukota kerajaan dari yang semula berada di Gunung Bumbungon
dipindahkan ke Kotobangon. Perpindahan sentra pemerintahan ini
berlangsung pada masa kepemimpinan Punu’ Damopolii yang bertahta pada
kurun 1480 – 1510 M (http://gmibm.tripod.com).
Reformasi yang cukup mencolok baru terjadi ketika Punu’ Tadohe (1600 –
1650 M) menempati kedudukan sebagai orang nomor satu di Kerajaan Bolaang
Mongondow. Semenjak periode ini, kebijakan pemerintah kerajaan mulai
mendapat pengaruh dari orang-orang Belanda. Walaupun hanya berkapasitas
sebagai mitra dagang, namun tampaknya Belanda mulai mencoba untuk turut
campur tangan dalam mempengaruhi urusan internal Kerajaan Bolaang
Mongondow.
Di sisi lain, Punu’ Tadohe dikenal sebagai sosok pemimpin yang cakap,
cerdas, dan mau menerima masukan yang dibawa oleh pihak asing.
Progresivitas yang dilakukan oleh Punu’ Tadohe, misalnya, adalah
penerapan sistem bercocok tanam padi, jagung, dan kelapa yang dikenalkan
oleh bangsa Spanyol. Begitu juga dengan Belanda yang ternyata mampu
memberikan pengaruh yang diterima oleh Punu’ Tadohe, salah satunya
adalah digantinya gelar Punu’ yang sebelumnya lekat sebagai gelar
kehormatan untuk raja menjadi Datu (www.geocities.ws).
Belanda juga berhasil membujuk Punu’ (Datu) Tadohe untuk memberlakukan
perubahan dalam sistem sosial masyarakat. Sejak saat itu, strata sosial
masyarakat Kerajaan Bolaang Mongondow dipisah menjadi dua kasta, ialah
golongan Kinalang yang berisikan kalangan bangsawan dan keluarga
kerajaan, serta golongan Paloko’ yang merupakan kasta untuk rakyat
kebanyakan. Akan tetapi, bukan berarti gagasan pembagian kelas sosial
tersebut tidak memuat manfaat yang positif. Kaum Paloko’ harus patuh dan
menunjang tugas Kinalang, sedangkan golongan Kinalang diwajibkan bisa
mengangkat tingkat penghidupan kaum Paloko’ melalui pembangunan di
segala bidang.
Era pemerintahan Tadohe juga menorehkan catatan emas dengan berhasil
mempersatukan seluruh komunitas rakyat yang selama ini masih hidup
mengelompok sendiri-sendiri untuk disatukan di bawah naungan kebesaran
panji-panji Bolaang Mongondow (http://www.kotamobagukota.go.id).
Hubungan antara kelompok masyarakat diperbaiki dengan pembukaan jalan
untuk tranportasi serta pengaturan pemerintahan di tingkat duku
(padukuhan) dan desa.
Kaidah demokrasi kian dijalankan dengan baik, misalnya dengan
diberlakukannya pemilihan langsung oleh rakyat dalam pemilihan kepala
desa (www.geocities.ws). Pada masa pemerintahan Tadohe ini juga mulai
dikenal mata uang sebagai alat transaksi perdagangan yang sebelumnya
masih menggunakan sistem tukar barang (www.bolmong.go.id). Atas sejumlah
prestasi gemilang yang diguratkan selama orde kekuasaannya, Tadohe
boleh dibilang cukup berhasil dalam mengantarkan Kerajaan Bolaang
Mongondow menuju ke arah pintu gerbang kemajuan.
Penerus tahta Tadohe adalah Raja Loloda’ Mokoagouw atau Datu Binangkang
yang memerintah sekurun 1653–1694 M. Pada masa ini, dakwah Islam mulai
masuk ke wilayah Bolaang Mongondow. Raja Loloda’ sendiri telah menjadi
seorang muslim sejak usia remaja dari hasil pendalaman agamanya di
Manado (http://marsa84.multiply.com). Sang raja dikenal sebagai tokoh
pemimpin yang agresif. Di bawah komandonya, pasukan tempur Kerajaan
Bolaang Mongondow berhasil menaklukkan dan menguasai wilayah Manado.
Akibat serangan itu, rakyat Manado terpaksa mengungsi ke Pulau Sangir
dan mendapat perlindungan dari Belanda (Mokoginta, dalam
http://totabuanmadani.wordpress.com).
Berbeda dengan sang ayah, hubungan Raja Loloda’ dan Belanda tidak
berjalan harmonis. Kubu kompeni berulangkali melecehkan kewibawaan Raja
Loloda’, bahkan melancarkan gerakan adu domba di lingkungan internal
kerajaan. Raja Loloda’ yang merasa sangat terganggu dengan kekacauan
yang disebabkan oleh Belanda kemudian mengalihkan ibukota kerajaan dari
Kotobangon ke Amurang pada sekitar tahun 1665 M
(http://gmibm.tripod.com).
Raja Loloda’ sejatinya sudah mempersiapkan salah seorang anak lelakinya
sebagai putera mahkota. Akan tetapi, Belanda juga sudah punya calon
sendiri, yakni putra Raja Loloda’ lainnya dari istri selir yang berasal
dari Minahasa. Kandidat yang dijagokan Belanda itu, bernama Yakobus
Manoppo, berdomisili di Manado dan memperoleh pendidikan Barat. Sang
pangeran ini adalah penganut agama Kristen Protestan, ia dibaptis oleh
orang-orang Belanda yang tinggal di Minahasa.
Pada tahun 1694 M, Raja Loloda’ menghembuskan nafas penghabisan. Belanda
bergegas memainkan perannya dalam suksesi pergantian kepemimpinan.
Akhirnya, berkat campur tangan bangsa penjajah, Yakobus Manoppo
dinobatkan sebagai pemangku tahta Kerajaan Bolaang Mongondow yang
berikutnya. Pada orde pemerintahan Yakobus Manoppo, kedudukan pusat
kerajaan bergeser lagi, kali ini dari Amungan dipindahkan ke Bolaang
Pantai Utara (Lasabuda, dalam http://totabuanku.blogspot.com).
Ketika Kerajaan Bolaang Mongondow dipimpin oleh Raja Salomon Manoppo
yang bertahta sejak tahun 1735 M, terjadi konfrontasi dengan kubu
Belanda. Raja ini melindungi orang-orang Minahasa yang lari mencari
suaka ke Kerajaan Bolaang Mongondow akibat penindasan yang dilakukan
oleh pejabat daerah di sana. Residen Manado yang merupakan wakil
Belanda, meminta supaya para pelarian tersebut dikembalikan ke Minahasa.
Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Raja Salomon, dan ini
berarti, genderang perang melawan penjajah telah ditabuh (Mokoginta,
dalam http://totabuanmadani.wordpress.com).
Di waktu yang hampir bersamaan, Raja Salomon juga sedang menghadapi
perkara tentang perbatasan wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow dengan
Kerajaan Kaidipang. Belanda yang menyokong Kerajaan Kaidipang lantas
menanamkan hasutan agar Kerajaan Kaidipang menyerang Kerajaan Bolaang
Mongondow. Akibatnya, Raja Salomon ditangkap dan dipenjara di Ternate,
kemudian dipindahkan ke Batavia. Pada tahun 1748 M, Raja Solomon
dijatuhi hukuman pengasingan ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan) selama
kurang lebih 8 tahun (Mokoginta, dalam
http://totabuanmadani.wordpress.com).
Hukuman dan pembuangan Raja Salomon memantik berbagai kerusuhan di
Bolaang Mongondow. Kericuhan semakin parah karena terjadinya peristwa
pembunuhan berlatar-belakang politis yang dilakukan oleh keluarga
kerajaan yang berambisi naik tahta. Namun, mayoritas rakyat Bolaang
Mongondow bersikukuh menuntut supaya Raja Salomon segera dikembalikan.
Untuk menghindari situasi chaos agar tidak semakin memburuk, Belanda
memenuhi permintaan itu dan pada tahun 1756 M, Raja Solomon kembali
menduduki tampuk kekuasaan sebagai Raja Bolaang Mongondow (Mokoginta,
dalam http://totabuanmadani.wordpress.com).
Dinamika perubahan bergulir kembali pada masa pemerintahan Raja
Cornelius Manoppo yang bertahta pada periode 1825–1829. Di rezim ini,
syiar agama Islam berkembang dengan subur. Bahkan, Islam dinyatakan
sebagai agama raja dan menjadi agama resmi kerajaan. Kegemilangan ajaran
Islam ini dapat terjadi berkat andil seorang pendakwah bernama Syarif
Aloewi yang datang dari Gorontalo. Syarif Aloewi kemudian dinikahkan
dengan salah seorang puteri Raja Cornelius Manoppo
(www.kotamobagukota.go.id).
Penerapan hukum Islam semakin digalakkan di lingkungan Kerajaan Bolaang
Mongondow pada masa pemerintahan Raja Yakobus Manuel Manoppo
(1833–1858). Pada bulan September 1849, mulai diterapkan aturan tentang
ritual perkawinan dan tata cara berpakaian serta sanksi bagi pelaku
tindakan kriminal dan pelanggaran pidana seperti membunuh, mencuri,
berselingkuh/berzina, dan lain-lainnya (Mokoginta, dalam
http://totabuanmadani.wordpress.com). Diakui atau tidak, ajaran Islam
telah turut mewarnai perkembangan kebudayaan dalam sendi-sendi kehidupan
warga Bolaang Mongondow. Namun, sejauh ini belum diketahui faktor
penyebab mengapa nama-nama raja Bolaang Mongondow masih bernuansa Eropa
(Nasrani) meskipun sudah memeluk agama Islam.
c. Bolaang Mongondow di Era Kolonial dan Kemerdekaan
Ketenangan Bolaang Mongondow lagi-lagi terusik oleh ambisi agresi
Belanda. Pada tanggal 1 Januari 1901, armada militer Belanda dengan cara
kekerasan memaksa masuk ke wilayah Bolaang Mongondow melalui Minahasa
Selatan, setelah upaya mereka menyerbu lewat laut tidak kunjung
membuahkan hasil. Di bawah pimpinan Anton Cornelius Veenhuizen, tentara
perang Belanda merangsek sampai ke halaman istana di Bolaang Pantai
Utara. Prajurit Kerajaan Bolaang Mongondow yang kalah persenjataan tidak
mampu berbuat banyak, demikian pula dengan pemangku tahta Kerajaan
Bolaang Mongondow saat itu, yakni Raja Riedel Manuel Manoppo
(www.geocities.ws).
Raja Riedel Manuel Manoppo tidak sudi tunduk kepada Belanda. Akibatnya,
Belanda kemudian menurunkan kedudukan Raja Riedel Manuel Manoppo dan
menggantikannya dengan melantik Datu Cornelis Manoppo sebagai penguasa
Kerajaan Bolaang Mongondow yang baru. Pusat pemerintahan kerajaan pun
dikembalikan dari Bolaang Pantai Utara ke Kotobangon
(www.bolmong.go.id). Dahulu kala, Kotobangon pernah menjadi ibukota
Kerajaan Bolaang Mongondow pada tahun 1480 M saat dipimpin Punu’
Damopolii (http://gmibm.tripod.com).
Di luar istana, rakyat Bolaang Mongondow melakukan perlawanan di bawah
arahan salah seorang kerabat kerajaan yang bernama Hatibi Dibo Mokoagow.
Pejuang pemberani ini memimpin rakyat melawan Belanda dengan memotong
tiang bendera Belanda yang dipancang di halaman istana. Tiang bendera
triwarna yang dipasang di pelabuhan Lombagian (Inobonto) pun tidak luput
dari sasaran pemangkasan. Namun, pada tahun 1904 Hatibi Dibo Mokoagow
tertangkap oleh Belanda dan kemudian ditembak mati. Pimpinan perjuangan
rakyat dilanjutkan oleh Sangadi Eman yang berasal dari Pontodon kendati
perlawanan itu kembali bisa dipatahkan oleh kubu Belanda
(www.geocities.ws).
Sejak saat itu, kehidupan di lingkungan Kerajaan Bolaang Mongondow
praktis berada di bawah kendali pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada
tahun 1906, sekolah-sekolah kolonial mulai dibangun, termasuk Sekolah
Rakyat (SR) yang dikelola oleh kalangan misionaris Nasrani.
Sekolah-sekolah bikinan Belanda itu didirikan di sejumlah desa yang ada
di wilayah Bolaang Mongondow dengan guru-guru yang didatangkan dari
Minahasa. Pada awal pendirian sekolah tersebut, jumlah murid yang
tertampung adalah 1.605 orang (www.bolmong.go.id).
Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga mendirikan sekolah menengah
Holland Inlandshe School (HIS) di Kotamobagu pada tahun 1911. Setahun
kemudian, sekolah zending yang dikelola oleh lembaga misionaris dibuka
di Dumoga. Pendirian sekolah-sekolah serupa kian gencar dilakukan,
yakni di daerah Tabang, Tungoi, Poigar, Matali, dan Lolak, pada tahun
1926. Selanjutnya, pada tahun 1937, dibuka sebuah sekolah Gubernemen,
yakni Vervolg School, di Kotamobagu (www.geocities.ws).
Pembangunan sekolah-sekolah dan berbagai fasilitas pelayanan publik
lainnya memang memberi nilai positif bagi taraf hidup rakyat Bolaang
Mongondow. Akan tetapi di sisi lain, kedaulatan Kerajaan Bolaang
Mongondow tidak diakui secara penuh dan tak lagi memiliki kewenangan
untuk menjalankan roda pemerintahan. Keadaan yang seperti ini
berlangsung cukup lama hingga menjelang kedatangan tentara Jepang pada
tahun 1942. Kondisi yang terjadi pada masa pendudukan Jepang tidak
berubah, kedudukan raja hanya dijadikan sebagai simbol semata tanpa
mempunyai kekuatan politik.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow meleburkan diri dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadi bagian wilayah Provinsi
Sulawesi yang berpusat di Makassar. Kemudian, pada tahun 1953, Bolaang
Mongondow masuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Utara.
Wilayah Bolaang Mongondow selanjutnya dipisahkan menjadi kabupaten pada
tanggal 23 Maret 1954.
Sejak itu, Bolaang Mongondow resmi menjadi daerah otonom yang berhak
mengatur rumah tangganya sendiri. Tanggal 23 Maret pun diabadikan
sebagai hari peringatan ulang tahun Kabupaten Bolaang Mongondow
(www.bolmong.go.id). Dengan demikian, berakhir sudah riwayat Kerajaan
Bolaang Mongondow yang sudah melakoni eksistensinya selama ratusan
tahun, dan berganti dengan format pemerintahan yang lebih mutakhir
sebagai kabupaten. Tokoh yang tercatat sebagai pemimpin Kerajaan Bolaang
Mongondow yang terakhir adalah Raja Henny Yusuf Cornelius Manoppo yang
berkuasa pada masa pascakemerdekaan, yakni tahun 1947 hingga 1950.
Seiring dengan berjalannya Reformasi dan Otonomi Daerah, telah dilakukan
pemekaran wilayah. Pemekaran tersebut membagi bekas wilayah kekuasaan
Kerajaan Bolaang Mongondow menjadi sejumlah wilayah administratif,
antara lain Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow
Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow
Selatan, dan Kota Kotamobagu (http://id.wikipedia.org).
2. Silsilah
Berikut daftar nama-nama penguasa yang pernah memimpin Kerajaan Bolaang Mongondow yang dihimpun dari beberapa sumber:
1. Punu’ Mokodoludut (1400 – 1460 M).
2. Punu’ Yayubangkai (1460 – 1480 M).
3. Punu’ Damopolii (1480 – 1510 M).
4. Punu’ Busisi (1510 – 1540 M).
5. Punu’ Mokodompit (1560 – 1600 M).
6. Punu’ Tadohe (1600 – 1650 M).
7. Raja Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang (1653 – 1694 M).
8. Raja Yakobus Manoppo (1694 – 1695 M).
9. Raja Fransiscus Manoppo (1695 – 1731 M).
10. Raja Salomon Manoppo (1735 – 1748 M dan 1756 – 1764 M).
11. Raja Egenius Manoppo (1764 – 1767 M).
12. Raja Christofel Manoppo (1767 – 1770 M).
13. Raja Markus Manoppo (1770 – 1773 M).
14. Raja Manuel Manoppo (1773 – 1779 M).
15. Raja Cornelius Manoppo (1825 – 1829).
16. Raja Ismail Cornelis Manoppo (1829 – 1833).
17. Raja Yakobus Manuel Manoppo (1833 – 1858).
18. Raja Adreanus Cornelis Manoppo (1858 – 1862).
19. Raja Yohanes Manuel Manoppo (1862).
20. Raja Abraham Sugeha atau Datu’ Pinonigad (1886 – 1893).
21. Raja Riedel Manuel Manoppo (1893 – 1901).
22. Raja Datu Cornelius Manoppo (1901 – 1928).
23. Raja Laurens Cornelius Manoppo (1928 – 1938).
24. Raja Henny Yusuf Cornelius Manoppo (1947 – 1950). (Mokoginta, dalam
3. Sistem Pemerintahan
Orang-orang Bolaang Mongondow sudah menganut prinsip-prinsip demokrasi
sejak awal berdirinya kerajaan. Tradisi mereka mengenal tata cara yang
disebut singok in lipu molantud yang berarti “keputusan tertinggi dalam
suatu pendapat terletak pada keputusan orang banyak”
(http://marsa84.multiply.com). Mekanisme seperti ini digunakan dalam
pemilihan pemimpin pertama Kerajaan Bolaang Mongondow dan pada
perkembangannya kemudian diterapkan juga dalam pemilihan kepala desa
yang bernaung di bawah kuasa kerajaan.
Kerajaan Bolaang Mongondow memiliki sistem pemerintahan yang
diberlakukan secara konsisten dan konsekuen sejak masa kepemimpinan
Punu’ Tadohe (1600–1650 M). Pemerintahan pusat dipimpin oleh seorang
raja atau Punu’ atau Datu sebagai penguasa tertinggi. Seorang raja
dipilih dari anak atau cucu raja laki-laki melalui keputusan Dewan
Musyawarah Rakyat yang diketuai oleh seorang perdana menteri. Suksesi
raja dapat terjadi karena raja meninggal dunia, sakit, atau diturunkan
dengan paksa karena tidak mampu mengemban amanat hukum adat kerajaan
(Lasabuda, http://totabuanku.blogspot.com).
Perdana menteri kerajaan disebut juga dengan istilah Sadaha Tompunuon.
Tugas dari pengampu jabatan ini adalah sebagai pemegang hukum adat
kerajaan, penyimpan harta benda dan pusaka milik kerajaan, membagi hak
untuk raja dan pejabat-pejabat kerajaan, serta memimpin Dewan Musyawarah
Rakyat. Posisi perdana menteri dijabat oleh keturunan Tompunuon, yaitu
orang yang ahli menghafal. Keturunan Tompunuon biasanya berasal dari
Inalie dan Amalie, yakni pemimpin komunitas adat (Bogani) dari Dumoga
yang dulu membesarkan dan mendidik Mokodoludut, pemimpin pertama
Kerajaan Bolaang Mongondow (http://gmibm.tripod.com).
Lembaga Dewan Musyawarah Rakyat, selain berfungsi sebagai institusi yang
berhak memilih, mengangkat, dan memberhentikan raja, juga mengemban
tugas untuk memutuskan berbagai persoalan yang berhubungan dengan
pelaksanaan dan amandemen hukum adat Kerajaan Bolaang Mongondow. Di
bawah pimpinan perdana menteri atau Sadaha Tompunuon sebagai ketua,
Dewan Musyawarah Rakyat juga dimotori oleh Panghulu Passi dan Panghulu
Lolayan sebagai anggota istimewa serta para kepala desa yang bergelar
Hukum Major sebagai anggota biasa (http://gmibm.tripod.com).
Panghulu adalah jabatan kepala wilayah adat. Kerajaan Bolaang Mongondow
mempunyai 4 (empat) wilayah adat, yakni masing-masing: Passi, Lolayan,
Kotabunan, dan Bolaang. Khusus wilayah Passi dan Lolayan, pemimpin
wilayah adat disebut Kohongian in Passi dan Kohongian in Lolayan, yang
diberi gelar Panghulu. Sedangkan wilayah adat Kotabunan dan Bolaang
biasanya dijabat oleh keluarga raja, misalnya Abraham Patra Mokoginta
sebagai Panghulu Kotabunan, Samer Abraham Sugeha selaku Panghulu
Bolaang, atau Riedel Manuel Manoppo yang sebelum naik tahta menjadi raja
pernah menjabat sebagai Panghulu Kotabunan (Lasabuda,
http://totabuanku.blogspot.com).
Selain itu, tata pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Bolaang Mongondow
juga mempunyai sejumlah jabatan penting dalam pemerintahan tingkat
desa, yakni Hukum Major, Kapita Raja, Sangadi, dan Kimalaha. Hukum Major
adalah pemimpin dari beberapa desa yang berwilayah besar. Kapita Raja
adalah kepala desa dari sebuah desa kecil dan berasal dari keturunan
Kohongian. Sangadi adalah kepala desa dari sebuah desa besar juga bisa
kecil yang berasal dari keturunan pemuka masyarakat setempat. Sedangkan
Kimalaha adalah sebutan kepala desa yang memimpin suatu desa yang besar
(http://gmibm.tripod.com).
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah yang dahulu dikuasai oleh Kerajaan Bolaang Mongondow sangat
luas. Di masa sekarang, wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Bolaang
Mongondow telah menjelma menjadi wilayah-wilayah yang termasuk dalam
lingkup administratif Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang
Mongondow Selatan, dan Kota Kotamobagu (http://id.wikipedia.org).
Banyak nama tempat yang ditemukan dan pernah menjadi bagian dari area
kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow. Sebagian dari tempat-tempat
tersebut di masa sekarang telah berubah statusnya menjadi kecamatan,
kelurahan, atau padukuhan. Beberapa tempat itu antara lain: Tudu in
Lombagin, Buntalo, Pondoli’, Ginolantungan, Mahag, Siniow, Pasan,
Ratahan, Ponosakan, Tonsawang, Poigar, Bolaang, Pontak, Buyat, Amurang,
Kotabunan, Basaan, Popo Mongondow, Kotabaru, Gunung Sia’, Kotamobagu,
Werdhi Agung, Kembang Mertha, Mopuya, Mopugad, Tumokang, Pusian,
Pontodon, Lombagian, Dumoga, Tabang, Tungoi, Matali, Lolak, dan
lain-lainnya. Selain itu, Kerajaan Bolaang Mongondow juga pernah
menguasai wilayah Manado pada era pemerintahan Raja Loloda’ Mokoagouw
(1653–1694 M).(*)
Kerajaan Bolaang Mongondow
Penulis: Tim Tribun Manado
Editor: Aswin_Lumintang
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger