Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Aturan Pemerintah

Aturan Baru Pemerintah, Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Pemilihan DPRD Bareng Pilkada

Putusan MK untuk memisah jadwal pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) tingkat nasional dan daerah mulai 2029 mendapatkan sambutan beragam

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
PUTUSAN MK- Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah), Wakil Ketua MK Saldi Isra (kedua kiri) dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat (kedua kanan), Enny Nurbaningsih (kiri) dan Daniel Yusmic P Foekh (kanan) memimpin sidang pengucapan putusan sela (dismissal) sengketa Pilkada 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/2/2025). Aturan Baru Pemerintah, Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Pemilihan DPRD Bareng Pilkada 

"Memang tahapan yang beririsan bahkan bersamaan secara teknis lumayan membuat KPU harus bekerja ekstra," kata Afifuddin, Jumat (27/6/2025), dikutip dari Antara.

Paradoks

Sementara KPU dan Perludem menyambut baik putusan MK, suara miring justru datang dari Senayan, tempat DPR berkantor.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Muhammad Khozin, menilai putusan MK kali ini bersifat paradoks.

Sebab, MK sebelumnya telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 pada 26 Februari 2020 yang memberikan enam opsi keserentakan pemilu.

"Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020, MK telah memberi enam opsi keserentakan pemilu, tapi putusan MK yang baru justru membatasi, ini paradoks," ujar Khozin lewat keterangan tertulisnya, Jumat (27/6/2025).

Khozin menegaskan, MK seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang dalam merumuskan model keserentakan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk lompat pagar atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU," kata Khozin.

Menurut dia, pertimbangan hukum putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 juga tegas menyebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan.

Senada, anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Golkar Ahmad Irawan menilai putusan MK itu terlalu jauh memasuki ranah kewenangan legislatif.

Menurut Irawan, keputusan MK tersebut perlu dikaji lebih lanjut untuk menentukan tindak lanjut yang tepat, apakah cukup dengan merevisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada, atau bahkan perlu mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945.

"Secara highlight saya baca putusan tersebut, MK jauh memasuki ranah legislatif. Sehingga masih perlu kami pelajari apakah tindak lanjut dari putusan MK tersebut cukup dengan dilakukan revisi undang-undang atau lebih jauh dari itu harus dilaksanakan amandemen terhadap UUD 1945," ujar Irawan saat dihubungi, Jumat (27/6/2025).

"Jalan untuk melakukan penataan secara komprehensif dan konstitusional. Berbeda dengan yang dilakukan oleh MK selama ini yang sifatnya kasuistik dan parsial. Apalagi pendapat MK sendiri juga sering berubah-ubah," kata Irawan.

Dia mengingatkan bahwa sistem pemilu dan pemerintahan sebaiknya tidak dibangun dengan pendekatan “tambal sulam” aturan, karena semuanya saling berkaitan satu sama lain.

Oleh sebab itu, ia berpandangan, amendemen bisa menjadi langkah untuk menata ulang sistem pemerintahan secara menyeluruh dan sesuai konstitusi, berbeda dengan pendekatan MK yang selama ini dinilai bersifat parsial.

Kualitas meningkat

Kepala Badan Riset dan Inovasi Strategis (BRAINS) DPP Partai Demokrat, Ahmad Khoirul Umam, menilai putusan MK ini akan meningkatkan kualitas kontestasi di tingkat lokal.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved