Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tribun Manado Travel

Ini Dua Rumah Kopi di Manado yang Ditahbiskan Sebagai DPRD Tingkat Tiga

Warga Manado dari beragam latar belakang menyatu di rumah kopi ini, seperti para pejabat Pemkot Manado hingga anggota DPRD Manado.

Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
Dokumentasi Tribun Manado
Jarod di kawasan Niaga 45, Manado, Sulawesi Utara. 

Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Politik di Manado bukan hanya urusan di parlemen atau kantor partai.

Tapi juga di rumah kopi. Tak percaya ?

Coba saja datang ke rumah kopi di pusat kota Manado, Sulawesi Utara.

Di sana anda akan mendengarkan pembicaraan politik tingkat tinggi, tak kalah dengan yang terdengar di meja elit politik.

Analisis canggih sering terdengar di rumah kopi.

Begitu pun strategi tingkat dewa, kerap lahir dari percakapan ngolor ngidul ala rumah kopi Manado.

Rumah kopi berisikan politisi yang cerdas karena tahu ide besar berasal dari bawah.

Tak hanya itu, rumah kopi kerap melahirkan para politisi andal Sulut.

Karena itulah, beberapa rumah kopi di Manado menyandang julukan keren, DPRD tingkat 3. 

Ini dua rumah kopi di Manado yang menyandang gelar DPRD tingkat tiga.

1 Rumah Kopi Tower

D'Coffee Tower di Kelurahan Tuminting Lingkungan 1, Kecamatan Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara. 
D'Coffee Tower di Kelurahan Tuminting Lingkungan 1, Kecamatan Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara.  (Dokumentasi Tribun Manado)

D'Coffee Tower berada di Kelurahan Tuminting Lingkungan 1, Kecamatan Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara

Di D'Coffe, ibarat Jalan Roda mini.

Warga Manado dari beragam latar belakang menyatu di rumah kopi ini, seperti para pejabat Pemkot Manado hingga anggota DPRD Manado

Bahkan, Wali Kota Manado, Andrei Angouw, juga beberapa kali mencicipi nikmatnya kopi di D'Coffee Tower. 

Dekat Pemilu 2024, tempat ini juga kerap jadi lokasi rapat dadakan pengurus parpol maupun relawan.

Tribunmanado.co.id mengunjungi rumah kopi ini beberapa waktu lalu.

Sekilas tak ada yang istimewa. 

Hanya ada tempat duduk dan meja sederhana, hiasan pun tergolong sederhana. 

Sebuah gambar besar Bung Karno berdampingan dengan Sam Ratulangi. 

Pada salah satu dinding kaca tertempel beragam stiker caleg.

Dari sebuah speaker kecil terdengar lagu, agaknya dari radio. 

Begitu duduk dan menyesapi kopinya, barulah terasa bagaimana istimewanya rumah kopi ini.

Rasa kopinya luar biasa, ngangenin. Manis dan pahitnya klop. Kopi itu membius saya. 

Hingga saya yang sebenarnya tak bisa lagi minum kopi karena asam lambung parah, meneguk dua gelas. 

Ivan Laiya, pemilik rumah kopi menuturkan, kekuatan dari rumah kopi itu adalah pada rasanya. 

Begitu duduk dan menyesapi kopinya, barulah terasa bagaimana istimewanya rumah kopi ini.

Rasa kopinya luar biasa, ngangenin. Manis dan pahitnya klop. Kopi itu membius saya. 

Hingga saya yang sebenarnya tak bisa lagi minum kopi karena asam lambung parah, meneguk dua gelas. 

Ivan Laiya, pemilik rumah kopi menuturkan, kekuatan dari rumah kopi itu adalah pada rasanya. 

"Ini resep keluarga saya, paduan kopi Palu dan Manado, seperti juga dalam darah saya mengalir darah Palu dan Manado," katanya. 

Ivan mendirikan rumah kopi pada 2019. 

Nama Tower diambil dari adanya tower di sekitar rumah kopi itu. 

"Supaya lebih banyak orang kenal, saya pakai nama tower," kata dia. 

Pada debutnya, rumah kopi itu sepi. Pengunjung bisa dihitung dengan jari.

"Pernah hanya untung 40 ribu sehari," katanya.

Beberapa orang mengkambinghitamkan lokasi yang berada di dalam lorong hingga membuat pembeli enggan mampir. 

Namun Ivan enggan menyerah, ia percaya pada kekuatan kopi. 

Filosofinya, jika orang merasakan nikmat kopinya, niscaya mereka akan mencari meskipun itu jauh. 

Perlahan rumah kopi itu mulai dikenal. Prosesnya dari mulut ke mulut, lama kelamaan tempat itu mulai jadi tempat favorit. 

Pelanggannya bermacam-macam, mulai dari pegawai swasta, PNS, aktivis, pejabat, hingga anggota dewan.

Pelanggan rumah kopi bertambah bak cendawan di musim hujan. 

Insting kopi Ivan ternyata benar. 

"Promosi dari mulut ke mulut lah yang menjadikan tempat kopi ini dikenal," ujar dia. 

Filosofinya pun terbukti, banyak pelanggan Ivan dari tempat yang jauh. 

Mereka datang murni karena kopi. 

"Ada yang jauh-jauh kemari dan penasaran ditaruh apa sih kopi ini," ujarnya. 

Ivan adalah pria yang menyenangkan. Ia ramah dan gaul. Ngomong apapun dengannya semua nyambung.

Inilah kekuatan kedua rumah kopi itu.

"Saya memang punya konsep murni rumah kopi. Yang saya jual adalah kopi dan suasana khas rumah kopi.

Di sini orang boleh bicara apa saja, main catur atau bercengkrama, yang belum dikenal jadi teman, inilah kekuatan rumah kopi yang saya jual," kata dia. 

Dia senang karena rumah kopinya turut menyemai satu hal yang jadi perekat warga Manado yang terdiri dari suku dan agama yang berbeda, yaitu kerukunan.

2 Jalan Roda Manado

Jarod di kawasan Niaga 45, Manado, Sulawesi Utara.
Jarod di kawasan Niaga 45, Manado, Sulawesi Utara. (Dokumentasi Tribun Manado)

Di Kota Manado, Sulawesi Utara, terdapat sebuah jalan yang dinamai sebagai Jl Roda. Oleh warga Manado, lebih sering disingkat dengan sebutan Jarod.

Di tempat ini, Anda bisa melepaskan penat sembari menikmati alunan musik live yang hadir setiap Rabu dan Sabtu. Selain itu, Anda juga bisa menikmati aneka jajajan khas Manado yang dijajakan di sepanjang Jarod.

Jika waktunya musik live, pengunjung disilakan menyumbangkan lagu di tempat ini. Siapa saja bisa menyanyi. Jenis lagu apapun akan dilayani.

Jalan Roda kerap disebut DPRD tingkat tiga karena banyaknya pembicaraan politik disana.

Bahkan Presiden Jokowi dan dua anaknya yang kini jadi politisi yakni Gibran dan Kaesang pernah mampir disana.

Sejarah jalan ini terlepas dari masa penjajahan Belanda atau jauh sebelum tercetusnya Perang Dunia I dan II.

Kala itu, Manado masih bernama Wenang. Nama ini disematkan oleh warga Minahasa yang tinggal di pedalaman Minahasa kala itu.

Kala itu, warga Minahasa sering datang ke Manado dengan mengendarai pedati yang ditarik oleh kuda.

Dalam bahasa lokal Manado, pedati disebut sebagai roda.

Pedati ini selain digunakan mengangkut manusia, juga digunakan untuk mengangkut kebutuhan pokok dari Minahasa ke Kota Manado.

Roda-roda itu datang dari desa-desa di Minahasa, baik dari arah Tomohon, Tonsea, Tanawangko, dan Wori.

Roda-roda ini berkumpul di salah satu sudut Kota Manado. Di tempat ini, mereka bertransaksi dengan warga Manado dari daerah lain.

Akhirnya lama kelamaan, warga menyebut ruas jalan ini dengan sebutan Jl Roda karena sebagai tempat berkumpulnya roda-roda dari Minahasa.

Lokasi ini berdekatan dengan pasar besar yang dinamakan Pasar Minahasa, yang sekarang oleh orang Manado disebut dengan istilah lokasi Shoping Centre.

Sejak zaman itu pulalah terbentuk bahasa percakapan yang kemudian dikenal dengan bahasa Melayu Manado, dengan dialeknya maupun arti katanya bercampur-baur yang berasal dari berbagai suku dan etnis.

Lagu Oh Ina Ni Keke, diciptakan karena terinspirasi oleh kondisi ketika itu. Di sekitar tahun 1950 di sudut Jarod ini terdapat sebuah penginapan milik orang Tionghoa bernama Penginapan Celebes.

Penginapan ini menjadi tempat menginap / bermalam dari para pedagang yang datang dari luar Kota Manado.

Ketika roda mulai digantikan perannya oleh mobil, sampai pada pertengahan abad XX, masih ada roda-roda dari pedalaman Minahasa yang diparkir di Jarod, tapi khusus mengangkut bambu untuk dijual.

Ketika Kota Manado mulai ramai dan padat dengan berbagai kendaraan bermotor, semua pedati dilarang memasuki pusat kota lagi.

Saat ini, sekalipun tidak lagi terlihat pedati di lokasi ini, namun nama Jarod tetap abadi dan transaksi warga di tempat ini tetap berjalan sebagaimana biasanya, bahkan berkembang seiring kemajuaan zaman dan dinamika masyarakat.

Tempat ini oleh Pemerintah Kota Manado telah direnovasi menjadi salah satu obyek wisata kuliner Kota Manado. (Art)

Hadiri Natal Unsrat, Ini Pesan Sulawesi Utara Olly Dondokambey

 

 

 

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved