Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Toleransi di Sulawesi Utara

Kisah Toleransi di Minahasa Sulut pada Masa Kedatangan Kyai Modjo dan Pengikutnya ke Tanah Tondano

Semangat toleransi di Sulawesi Utara bukan hanya ada di dalam pepatah tapi bisa dilacak hingga ke jejak sejarah di Tanah Minahasa.

|
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Rizali Posumah
andreas ruauw/tribun manado
God Bless Minahasa beserta kawasan bisnis dan kawasan pemerintahan yang berada di Kota Tondano, Sulawesi Utara. 

Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Sejak dulu warga Sulawesi Utara hidup dengan semangat toleransi yang tinggi. 

Semangat toleransi ini hidup dalam tindakan maupun ajaran kearifan lokal berbagai suku di Sulawesi Utara

Dalam bahasa Minahasa misalnya, ada dikenal istilah, "sitou timou tumou tou." yang bermakna, "manusia hidup untuk memanusiakan sesamanya."

Semboyan ini dipopulerkan oleh Dr Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, atau sering kita kenal sebagai Sam Ratulangi

Di Manado, ada istilah, "torang samua basudara." yang berarti, "kita semua bersaudara."

Di Minahasa juga dikenal nilai-nilai luhur seperti, "maesa-esaan atau saling bersatu, maleos-leosan atau saling menyangi, mangenang-ngenangan atau saling mengingat, malinga-lingaan atau saling mendengarkan, masawang-sawangan atau saling menolong, dan matombo-tomboan atau saling menopang. 

Dalam Suku Mongondow, juga ada moto hidup yang mengandung nilai-nilai toleransi.

Yakni mototompiaan atau saling memperbaiki, mototabian atau saling mengasihi, mototanoban saling merindukan.

Toleransi di Sulawesi Utara bahkan bisa kita lacak melalui jejak sejarah. 

Salah satu contohnya adalah kisah toleransi di tanah Tondano Minahasa saat Kyai Modjo dan 63 pengkutnya menginjakkan kaki di tanah Toar Lumimuut itu pada tahun 1831.

Kisah toleransi di tanah Tondano Minahasa

Kuburan Kyai Modjo di Kampung Jawa Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Kuburan Kyai Modjo di Kampung Jawa Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Dilansir dari tulisan Finneke Wolajan berjudul, Kampung Jawa Tondano Akulturasi Budaya Minahasa-Jawa Perekat Kerukunan, Budayawan dan sejarawan Minahasa, Fendy Parengkuan menceritakan bagaimana Kyai Modjo dan para pengikutnya ikut membangun gereja pertama di Tondano, yakni Gereja Sentrum Tondano.

Pembangunan gereja pertama ini seiring dengan masuknya pekabaran Injil di Minahasa.

Dua penginjil asal Jerman Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwarz tiba di Minahasa pada 12 Juni 1831.

Riedel menetap di Tondano pada 14 Oktober 1831, sementara Schwarz melakukan penginjilan di wilayah Kakas lalu berpindah ke Langowan. Kedatangan Riedel setelah 1,5 tahun Kiai Modjo berada di Tondano.

Riedel datang dan bergaul erat dengan warga Tondano, namun tak semata-mata para walak Tondano langsung memperbolehkan warga Tondano menjadi Kristen.

Meski begitu para pemimpin sudah memperbolehkan perempuan dan anak-anak mereka untuk ikut penginjilan Riedel.

Sampai suatu waktu, salah seorang tua-tua Tondano yang berteman dengan Riedel, menghampiri Riedel. Ia mengira akan diajak minum kopi.

“Hari itu tua-tua Tondano itu berkata kepada Riedel, tadi malam melalui burung Manguni, Opo Empung (Tuhan) berkata, orang Minahasa boleh menjadi Kristen,” kata Parengkuan.

Sejak saat itu warga Minahasa mulai dibaptis dan memeluk Kristen.

Riedel lalu menginisiasi pembangunan gereja pertama di Tondano.

Pada saat itu, para perempuanlah yang menjadi pelopor pembangunan gereja di Tondano.

Saat hendak membangun gereja pertama tersebut, terjadi gesekan di antara masyarakat  Tondano, terutama para laki-laki.

Mereka enggan membangun gereja tersebut.

Hal ini rupanya menjadi kesempatan bagi Kiai Modjo dan para pengikutnya untuk bergaul erat dengan perempuan-perempuan di Minahasa.

Saat itu bangunan gereja masih terbuat dari kayu.

Para perempuan Minahasa lalu gotong-royong mengambil kayu di perkebunan Lembean untuk membangun gereja.

Untuk menuju perkebunan, para perempuan harus melewati pemukiman Kiai Modjo dan pengikutnya di Kampung Jawa Tondano.

Melihat kondisi tersebut, Kiai Modjo dan pengikutnya menawarkan bantuan kepada para perempuan Minahasa untuk mengangkut kayu.

Tak hanya membantu mengangkut, Kiai Modjo dan pengikutnya juga turut membangun gereja pertama di Tondano.

“Saat laki-laki Tondano hanya berpangku tangan, Kiai Modjo dan anak buahnya membantu perempuan Minahasa membangun gereja. Dari situlah terbentuk hubungan erat antara mereka,” katanya.

Setelah dari situ, terjadilah proses kawin-mawin antara Kiai Modjo dan pengikutnya dengan para perempuan Minahasa.

Saat itu, perempuan Minahasa yang belum menjadi Kristen sudah dipinang Kiai Modjo dan pengikutnya, sehingga memeluk agama Islam.

Proses peminangan Kiai Modjo dan pengikutnya pada para perempuan Tondano berlangsung lama, ada ketentuan-ketentuan yang harus diikuti.

“Salah satunya warisan, perempuan yang sudah menikah dengan para pengikut Kiai Modjo tak lagi mendapat warisan,” katanya.

Profesor Ishak Pulukadang, budayawan dan tokoh masyarakat Kampung Jawa Tondano mengatakan untuk meminang warga lokal saat itu maharnya mahal.

Kiai Modjo dan pengikutnya diizinkan untuk meminang perempuan lokal, dengan catatan mereka berjanji tidak akan lagi melakukan perbuatan seperti di Jawa, yakni berontak kepada pemerintah kolonial.

Selain itu mereka juga harus melapor pada pemerintah Belanda.

Pernikahan pada waktu itu pun berlangsung meriah dan berlangsung tujuh hari tujuh malam.

Pernikahan tersebut kental dengan budaya Jawa dan Minahasa.

Pengantin pria dengan salawatan sedangkan pengantin wanita dengan tarian maengket.

“Terjadi perpaduan seni dan budaya saat itu,” kata Pulukadang.

Penginjil Riedel dan Kiai Modjo saat itu juga pernah bertemu.

“Riedel, Kiai Modjo, para Walak (pemimpin) pernah duduk bersama saat itu, dalam suasana kekerabatan,” kata Fendy Parengkuan.

Kerukunan antara rombongan Kiai Modjo dan warga Minahasa memang sudah ada sejak awal, dan itu pun diperkuat dengan kawin-mawin kedua belah pihak. 

Baca berita lainnya di: Google News.

Berita terbaru Tribun Manado: klik di sini

 

 

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved