Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

HUT ke 78 RI

Pantas Sayuti Melik Ditujuk Sebagai Pengetik Teks Proklamasi, Ternyata Ini Latarbelakangnya

Sejak kecil, Sayuti Melik telah menunjukkan semangat nasionalisme dan minat pada dunia jurnalistik.

Editor: Alpen Martinus
Instagram.com/aliapewe
Sosok Sayuti Melik, wartawan yang menjadi juru ketik naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Banyak cerita yang bisa dikenang saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.

Termasuk persiapan yang dilakukan sebelum upacara.

Satu di antaranya adalah teks proklamasi yang dibacakan oleh Ir Soekarno.

Baca juga: Sosok Sayuti Melik, Jurnalis yang Ketik Naskah Proklamasi, Banyak Kali di Penjara Sebelum Meninggal

Sayuti Melik Pengetik Naskah Proklamasi
Sayuti Melik ditunjuk sebagai pengetik naskah proklamasi menggunakan mesin ketik.(Perpusnas)

Dibalik itu ada sosok Sayuti Melik yang mengetik teks proklamasi.

Jelas dia bukanlah orang sembarang yang mendadak dipilih untuk mengetik teks proklamasi.

Ternyata ia punya pengalaman menulis yang cukup mumpuni.

Ia dikenal sebagai pengetik naskah proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945.

Baca juga: Mengingat Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Diketik Sayuti Melik, Dibaca Oleh Soekarno

Namun, sebelum menjadi pengetik naskah proklamasi, Sayuti Melik telah mengalami berbagai perjuangan dan pengorbanan sebagai seorang wartawan, aktivis, dan pejuang.

Sayuti Melik lahir dengan nama Mohammad Ibnu Sayuti pada 22 November 1908 di Sleman, Yogyakarta.

Ia adalah anak dari Abdul Muin alias Partoprawito, seorang kepala desa yang menentang kebijakan Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau.

Sejak kecil, Sayuti Melik telah menunjukkan semangat nasionalisme dan minat pada dunia jurnalistik.

Baca juga: SOSOK Sayuti Melik, Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Aktivis Sejak Usia Muda

Ia belajar di Sekolah Guru di Solo, tetapi ditangkap Belanda karena dituduh terlibat dalam pergerakan politik.

Kemudian ia belajar secara otodidak dan membaca berbagai majalah dan buku tentang nasionalisme dan Marxisme.

Pada tahun 1926, Sayuti Melik bertemu dengan Soekarno di Bandung dan terkesan dengan pidato dan pemikirannya.

Ia kemudian bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno.

Lalu ia juga aktif menulis artikel-artikel kritis tentang pemerintahan kolonial Belanda di berbagai media, seperti Medan Prijaji, Pemandangan, dan Pesat.

Karena tulisan-tulisannya, ia sering ditangkap dan dipenjara oleh Belanda.

Pada tahun 1927, ia dibuang ke Boven Digul, sebuah tempat pengasingan di pedalaman Papua yang sangat terpencil dan tidak bersahabat.

Di sana, ia bertemu dengan banyak tokoh pergerakan lainnya, seperti Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Marco Kartodikromo, dan lain-lain.

Di Boven Digul, Sayuti Melik tidak putus asa. 

Tetapi tetap berusaha belajar dan berdiskusi dengan sesama tawanan politik.

Ia juga membantu mengajar anak-anak tawanan dan mendirikan sekolah-sekolah di kamp pengasingan.

Ia bahkan berhasil menerbitkan sebuah majalah bernama Indonesia Merdeka yang berisi tentang ide-ide kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia.

Sayuti Melik juga menikah dengan Soerastri Karma Trimurti, seorang wartawati dan aktivis perempuan yang juga dibuang ke Boven Digul.

Pada tahun 1939, Sayuti Melik dibebaskan dari Boven Digul karena mendapat grasi dari Gubernur Jenderal Belanda.

Saat kembali ke Jawa dan melanjutkan aktivitasnya sebagai wartawan dan politisi.

Ia bergabung dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang merupakan salah satu partai sayap kiri yang mendukung Soekarno.

Ia juga menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk oleh Jepang pada tahun 1945.

Pada tanggal 16 Agustus 1945, setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Sayuti Melik ikut serta dalam peristiwa Rengasdengklok yang menculik Soekarno dan Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Keesokan harinya, ia bersama dengan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo merumuskan naskah proklamasi di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jakarta.

Sayuti Melik ditunjuk sebagai pengetik naskah proklamasi menggunakan mesin ketik pinjaman dari Komandan Angkatan Laut Jerman.

Dalam proses pengetikan, ia juga memberikan beberapa perubahan pada naskah proklamasi, seperti mengganti kata "tempoh" menjadi "tempo" dan "wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "atas nama bangsa Indonesia".

Naskah proklamasi yang diketik oleh Sayuti Melik kemudian ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta dan dibacakan di depan rakyat Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Sayuti Melik tetap berkiprah dalam dunia politik dan jurnalistik.

Ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari fraksi Golongan Karya (Golkar) dari tahun 1971 hingga 1982.

Juga menjadi pemimpin redaksi majalah Indonesia Raya dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ia juga menulis beberapa buku, seperti Boven Digul: Kenangan Seorang Tawanan Politik, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan Memoar Sayuti Melik.

Sayuti Melik meninggal dunia pada 27 Februari 1989 di Jakarta.

Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Sayuti Melik adalah sosok yang patut dihormati dan diteladani oleh generasi muda Indonesia. 

Beliau adalah saksi sejarah dan pelaku kemerdekaan yang berani berjuang dan berkorban demi bangsa dan negara.

Ia juga adalah seorang intelektual dan jurnalis yang kritis dan visioner.

Juga adalah pengetik naskah proklamasi yang membawa harapan dan cita-cita bagi bangsa Indonesia.

 

Sumber: Grid.ID
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved