Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Memilih Damai

Yohan Ungkap Kenapa Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan Disenangi: Bukan Soal Identitas

Inilah alasan Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan Disenangi, diungkap Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu.

Istimewa
Kolase Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Berdasarkan survei, ada 3 nama yang menguasai 60 persen lebih total suara responden untuk kepemimpinan nasional. 

Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan

Terkait itu Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu kemudian mengungkap alasan kenapa 3 nama itu disenangi. 

Menurut Yohan Wahyu, dengan tegas dia sampaikan bahwa pemilihan pemimpin di Indonesia bukan berdasarkan kedekatan identitas.

Kedekatan identitas yang dimaksud Yohan adalah agama, suku, atau hal-hal yang lainnya.

Hal tersebut disampaikan saat Talkshow Series Memilih Damai dengan tema 'Membedah Genealogi Presiden dari Masa ke Masa'.

Talkshow digelar di Auditorium Arifin Panigoro, Universitas Al-Azhar Indonesia, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (8/12/2022).

"Terkait dengan hasil survei kepemimpinan nasional, masih didominasi dengan nama-nama yang selama ini juga beredar di lembaga survei yang lain ya," ujar Yohan dalam pemaparannya.

Yohan menyebutkan nama seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan memang menjadi tiga nama yang menguasai 60 persen lebih total suara responden.

Artinya di bawah tiga nama tersebut, memang banyak nama-nama yang bermunculan, tapi selisihnya cuku

"Bahkan survei Kompas menyebutkan kenapa milih Prabowo, Ganjar, atau Anies, itu tidak ada yang menjawab karena sama agamanya atau karena sama sukunya," ucap Yohan.

Ia mencontohkan, Ganjar dipilih karena merakyat. Prabowo dipilih karena tegas.

Lalu, Anies dipilih karena kinerjanya, dan mungkin karena asosiasi Gubernur DKI saat itu.

Yohan menegaskan apabila dilihat dari trend kepemimpinan dari tahun ke tahun, memang tidak ada dimensi sosiologis yang begitu menguat.

Namun demikian, ia menyadari ke depan di masa mendatang, perilaku pemilih di Indonesia memang lebih banyak digerakkan oleh sentimen sosiologi.

"Jadi kalau ditanya suka atau enggak sama pemimpin itu, ya suka saja. Kalau ditanya alasannya apa, kadang bingung juga," jelas Yohan.

Hal tersebut menandakan dimensi psikologi akan banyak bermain ketika pemilih menentukan pilihannya dengan program kerja.

Lama kelamaan, alasan-alasan psikologis itu akan makin kuat apabila calon-calon elit politik juga menyuguhkan alasan yang sifatnya rasional.

Yohan kembali menegaskan, tidak ada pertimbangan sosiologi dalam menentukan pilihan.

"Tapi memang masih ada beberapa, namun sedikit. Jadi kalau ditanya tanpa menyebutkan nama, apakah agama atau suku menjadi pertimbangan pemilih, pasti akan ada yang menjawab iya," pungkas Yohan.

Jadi memang Yohan menyadari identitas merupakan sesuatu yang tidak bisa dilepaskan.

Tapi ketika memilih, Yohan yakin seseorang akan menjadi obyektif.

Dalam artian pasti lebih mengedepankan dengan melihat program kerja yang dibawa oleh elit politik itu.

Sebagai informasi, talkshow tersebut digelar atas kerja sama antara Tribun Network dengan Universitas Al-Azhar Indonesia.

Beberapa narasumber yang hadir menjadi pembicara antara lain: Ahli Antropologi dan Politikus, Meutia Farida Hatta Swasono; Dekan FISIP Universitas Indonesia, Semiarto Aji Purwanto; Dekan FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia, Heri Herdiawanto; Founder Lingkar Madani, Ray Rangkuti; dan Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu.

Berdasarkan pantauan Warta Kota, sekira ratusan mahasiswa hadir dalam talkshow tersebut.

Antusiasme terlihat dari keaktifan mereka saat bertanya terkait topik talkshow yang sedang didiskusikan.

Litbang Kompas tak pernah terima pesanan survei

Sebelumnya diberitakan, keberadaan Lembaga Survei dalam perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 turut menjadi bahasan dalam Tribun Network Talkshow Series: Memilih, Damai dengan tema Membaca Suara dari Daerah: Kalimantan, pada 5 Desember 2022.

Hadir dalam talkshow beberapa narasumber, di antaranya Rektor Universitas Balikpapan, Isradi Zainal; Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman Samarinda, Muhammad Noor; Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu; dan Aktivis Pengamat Pemilu dan Demokrasi Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini.

Terungkap dalam perbincangan, ada penilaian Lembaga Survei yang mengaitkan antara suku dengan Pilpres 2024.

Peneliti Litbang Harian Kompas, Yohan Wahyu, menegaskan bahwa selama ini Litbang Kompas tidak pernah memplot, maupun ada kepentingan sepihak.

Talkshow Memilih, Damai Yang Muda Yang Primordial?
Talkshow Memilih, Damai Yang Muda Yang Primordial?" di FISIP Unair, Jumat (2/12/2022). (Dok. Humas Damai - Makassar)
“Kita survey berkala, itu tidak memenuhi order dari pihak luar, murni, tidak ada pesanan-pesanan," ujarnya dalam gelaran Talkshow.

"Memang bagian dari agenda setting Kompas. Sebagai lembaga media, yang salah satu fungsinya memberikan informasi, mengedukasi dan juga bagian dari kontrol terhadap publik,” imbuhnya.

Misalnya mendekati Pemilu, setiap 3 bulan akan dilakukan survey. Jadi hal itu, juga merupakan fungsi, daripada tugas media.

Baca juga: Satu Persatu Lumbung Suaranya di Pilpres 2019 Disambangi Anies, Bagaimana Nasib Prabowo di 2024?

“Karena hal tersebut dapat memberikan informasi ke publik. Terkait bagaimana sih respon publik terhadap kebijakan Pemerintah, evaluasi terhadap kinerja Pemerintah,” tukas Yohan.

"Kemudian siapa sih, Presiden yang diinginkan publik Kompas. Sebagai amanat hati nurani Rakyat, bukan amanat hati nurani dari Partai," lanjutnya.

Yohan menuturkan, bahwa memang Kompas bertanya kepada publik, terkait siapa calon Presiden yang diinginkan, sama halnya, siapa Partai yang diinginkan publik.

“Jadi memang dari sisi evaluasi kinerja Pemerintah, bagian dari kontrol sisi yang lain. Kita mencari figur-figur yang diinginkan publik, bagian dari cara menyajikan informasi. Ini loh yang sebenarnya figur-figur yang diinginkan publik,” ulasnya.

Baca juga: DOB Papua Terancam tak Ikut Pemilu 2024, kini KPU RI Menanti Hadirnya Perppu

Menyambung perihal tersebut, kata Yohan, sebenarnya tidak ada jawaban publik yang terkait etnisitas. Ketika memilih, orang tidak peduli etnisitas.

“Jadi kita tanya, kenapa memilih Pak Ganjar, kenapa memilih Pak Anies, kenapa memilih Pak Prabowo. Alasannya tidak menyudutkan etnisitas, yang kebetulan tiga-tiganya bersuku Jawa,” paparnya.

“Memilih Pak Ganjar karena merakyat, memilih Pak Prabowo karena tegas, memilih Pak Anies karena kinerja. Jadi alasannya tidak ada yang memiliki kesamaan perihal etnis bahkan kesamaan agama," jelasnya.

Memang alasan tersebut yang menjadi pertimbangan, kata Yohan.

Sehingga, menurutnya pemilih di Indonesia, tidak menjadikan unsur suku dan etnis menjadi petimbangan dalam berpolitik. (Ary Nindita)

Telah tayang di WartaKotalive.com

Baca Berita Lainnya di: Google News

Berita Terbaru Tribun Manado: KLIK INI

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved