Memilih Damai
Diskusi Memilih Damai di Makassar, Presiden Harus Orang Jawa?
Diskusi Memilih Damai. Hasan Nasbi dan M Qashim Mathar menjadi pembicara di FISIP Universitas Hasanuddin, Makassar.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Komisaris Utama PT. Cyrus Nusantara Hasan Nasbi dan Guru Besar Emiritus UIN Alauddin Makassar M Qashim Mathar menjadi pembicara pada diskusi Memilih Damai.
Digelar di Aula Prof Syukur Abdullah, FISIP Universitas Hasanuddin, Makassar, Senin 14 November 2022.
Simak tanggapan mereka terkait pertanyaan presiden harus orang Jawa?
Jumlah penduduk menjadi penentu presiden di Indonesia.
Sehingga wajar jika Presiden Indonesia selalu dari Pulau Jawa, bahkan untuk selanjutnya juga seperti itu.
Sebab, penduduk di Indonesia mayoritas berada di Pulau Jawa.
Demikian disampaikan Komisaris Utama PT. Cyrus Nusantara Hasan Nasbi.
Saat itu Hasan Nasbi memaparkan jumlah penduduk setiap pulau di Indonesia.
Hasilnya, penduduk di Pulau Jawa tiga kali lipat dibanding penduduk seluruh pulau di Indonesia Timur.
"Kalau disederhanakan Indonesia ini dari segi elektoral 60 persen Jawa, 20 persen Sumatera, pulau-pulau lainnya itu 20 persen. Kalau digabung Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, itu hanya 20 persen," kata Hasan.
"Bahkan Jawa Barat plus Jakarta itu lebih besar dari Indonesia Timur," Hasan menambahkan.
Ia juga menjelaskan, penduduk Pulau Jawa bukan hanya terbesar di Indonesia, tetapi juga mengalahkan beberapa penduduk negara di dunia seperti Rusia dan Australia.
Sehingga, wajar jika Pulau Jawa menjadi titik sentral politisi dan calon Presiden.
Sebab, pemimpin ditentukan dari jumlah suara yang memilih.
Hasan mengibaratkan Pulau Jawa sebagai sebuah kolam yang memiliki banyak ikan.
Sehingga jika ingin mendapatkan pemilih yang banyak sangat gampang.
Sementara pulau lain diibaratkan sebagai danau yang luas, tetapi jumlah ikan di dalamnya sedikit.
Sehingga akan sulit mendapatkan pemilih dalam jumlah yang banyak.
"Jadi orang berpikir elektoral seperti kayak berpikir marketing juga, jadi kalau apapun produk di Indonesia tes pertamanya gak mungkin di Sulawesi Selatan atau Papua. Pasti di Jawa," ujarnya.
"Karena memang pasar kepadatan jumlah populasinya besar sekali. Lempar produk di Jawa lebih potensial daripada Malaysia. Malaysia diadu dengan Jawa Barat menang Jawa Barat dari segi populasi," sambungnya. ( Tribun-Timur.com )
Jawaban Guru Besar Emiritus UIN Alauddin Makassar M Qashim Mathar
Guru Besar Emiritus UIN Alauddin Makassar M Qashim Mathar tegas mengatakan tokoh yang bukan orang Jawa mustahil memimpin Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Prof Qashim Mathar menjawab pertanyaan haruskah orang Jawa lagi memimpin pada tahun 2024?
Pertanyaan itu merupakan tema sebuah diskusi Memilih Damai di Aula Prof Syukur Abdullah, FISIP Universitas Hasanuddin, Makassar, Senin (14/11/2022).
"Jawaban saya bukan harus. Tapi wajib," katanya.
Menurutnya, selama ini kepala rakyat Indonesia selalu diisi dengan presiden adalah orang Jawa.
Termasuk beberapa presiden yang terpilih sebelumnya. Adapun Presiden bukan orang Jawa yang pernah ada, bukan karena dipilih langsung oleh rakyat, tapi hanya sebagai pengganti.
"Mustahil tokoh luar Pulau Jawa terpilih menjadi presiden," katanya.
Prof Qashim menjelaskan bahwa polarisasi menyambut Pilpres 2024 ini tidak kalah kencang dengan Pilpres sebelumnya.
Polarisasi, kata dia, akan terus terjadi bahkan bisa makin kencang kedepannya.
Sehingga, kata dia, orang yang harus memimpin Indonesia adalah orang Jawa.
Sebab presiden yang terpilih selalu mengandalkan kekuatan uang dan juga oligarki.
"Kalau tidak ada seperti itu pasti kalah," katanya.
Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa proses seperti itu didukung oleh peraturan yang ada selama ini.
"Undang-undang pemilu sama sekali tidak mendukung untuk mengubah keadaan ini," katanya.
Ia menyebutkan politisi sebenarnya tidak pernah jenuh. Bahkan banyak diantara mereka pindah-pindah partai.
"Semua ingin terpilih dan berteriak capresnya paling sempurna," katanya.
"Itu jualan politisi. Bukan hal baru. Semuanya nyaris omong kosong," tambahnya.
Menurutnya sampai saat ini presiden yang terpilih tidak otomatis yang terbaik.
"Presiden yang terpilih tidak otomatis yang terbaik karena kita belum punya peraturan dalam undang-undang pemilu yang memaksa rakyat kita dan bangsa kita orang paling ideal yang terpilih," katanya. ( Tribun-Timur.com )
Baca Berita Lain di : Google News