Pantas Prancis Larang Siswi Muslim Gunakan Jilbab di Sekolah, Ini Sebabnya, Dapat Sorotan PBB
Sebuah komite PBB memutuskan bahwa Prancis melanggar perjanjian hak internasional dengan melarang seorang wanita Muslim mengenakan jilbab bersekolah
TRIBUNMANADO.CO.ID - Prancis kini tengah mendapat sorotan dari Persatuan Bangsa-bangsa (PBB).
Itu lantaran mereka melarang wanita muslim untk menggunakan jilbab.
padahal itu adalah hak pribadi, dan ada perjanjian yang sudah dilanggar.
Baca juga: Sosok Bernard Chene, Pembuat Nama Panggilan Jokowi, Teman dan Mitra Usaha Asal Prancis
Simak video terkait :
Kebebasan dalam beragama dan berekspresi di Prancis ternyata hanya berlaku pada kaum mayoritas.
Seorang siswi Muslimah di Prancis dilarang memakai jilbab.
Larangan jilbab itu pun lantas mendapat tanggapan dari PBB.
Sebuah komite PBB memutuskan bahwa Prancis melanggar perjanjian hak internasional dengan melarang seorang wanita Muslim mengenakan jilbab bersekolah di negara itu.
Baca juga: Masih Ingat Delia Septianti? Dulu Cerai karena Suami Kasus Penggelapan Uang, Kini Jualan Jilbab
Muslimah di Eropa mendapat serangan karena islamofobia.(Istimewa)
Langkah Prancis itu melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, kata Komite Hak Asasi Manusia PBB.
Keputusannya mengikuti pengaduan yang diajukan pada tahun 2016 oleh seorang warga negara Prancis yang lahir pada tahun 1977, yang pengacaranya tidak ingin namanya dipublikasikan.
Dilansir dari Daily Sabah, wanita itu mengikuti kursus pelatihan profesional untuk orang dewasa pada tahun 2010, dan telah lulus wawancara dan tes masuk.
Tetapi kepala sekolah SMA Langevin Wallon di pinggiran tenggara Paris menolak untuk mengizinkannya masuk karena larangan memakai simbol agama di lembaga pendidikan umum.
Baca juga: Kunjungi Ukraina, Presiden Prancis Puji Keberanian Warga Irpin
Komite PBB mengatakan "melarang dia untuk berpartisipasi dalam kursus pendidikan berkelanjutan sambil mengenakan jilbab merupakan pembatasan kebebasan beragama yang melanggar perjanjian."
Keputusan komite diadopsi pada bulan Maret tetapi dikirim ke pengacara wanita itu pada hari Rabu.
"Ini adalah keputusan penting yang menunjukkan bahwa Prancis memiliki pekerjaan yang harus dilakukan dalam hal hak asasi manusia dan khususnya pada masalah penghormatan terhadap minoritas agama, dan lebih khusus lagi komunitas Muslim," pengacaranya Sefen Guez Guez mengatakan kepada Agence France-Presse ( AFP).
PBB Desak Prancis Akhiri Islamofobia
Sebuah aliansi internasional dari 36 organisasi non-pemerintah (LSM) yang mewakili 13 negara telah mengajukan petisi kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) tentang tindakan anti-Muslim sistematis Prancis.
LSM terkemuka, pengacara dan badan-badan keagamaan meminta OHCHR untuk bertindak atas "luasnya penyalahgunaan negara terhadap Muslim" yang telah berkecamuk di negara itu selama lebih dari dua dekade.
Koalisi tersebut menuduh pemerintah Prancis melanggar sejumlah hak dasar yang dilindungi dalam undang-undang yang diratifikasi oleh Paris.
Berbicara kepada Anadolu Agency (AA), direktur pelaksana CAGE Advocacy Group yang berbasis di Inggris, Muhammad Rabbani, yang menandatangani pengaduan tersebut, mengatakan bahwa kebijakan pemerintah Prancis telah mengarah pada "sekuritisasi" kehidupan Muslim dan telah menutup tempat-tempat mereka ibadah, amal dan LSM.
"Dalam beberapa hari terakhir, menteri dalam negeri Prancis telah menutup sembilan masjid lagi. Prancis berusaha untuk mengekspor model Islamofobianya ke seluruh (Uni Eropa)," katanya seperti dilansir dari Daily Sabah.
Tentang tanggapan masyarakat internasional, Rabbani mengatakan bahwa meskipun reaksi setelah mingguan Prancis Charlie Hebdo mencetak karikatur Nabi Muhammad, diikuti dengan seruan untuk memboikot produk Prancis, mengguncang pendirian di Paris, hal-hal tetap tidak berubah di tingkat kebijakan.
Dia mengatakan bahwa perlakuan Prancis terhadap Muslim telah mendorong populis sayap kanan di Eropa.
"Prancis bisa dibilang laboratorium pengujian untuk Islamofobia Eropa. Oleh karena itu, sangat penting untuk ditantang secara kuat dan terorganisir sehingga tidak meluas ke luar perbatasan Prancis," tambah Rabbani.
Dia mencatat bahwa koalisi internasional LSM juga berencana untuk mengambil tindakan hukum terhadap pemerintah Prancis untuk memastikan hak-hak Muslim dilindungi.
Kelompok itu akan menyoroti pelanggaran Paris terhadap kewajiban hak-hak internasional.
Feroze Boda, juru bicara Asosiasi Profesional Muslim Afrika Selatan (AMPSA), juga mengatakan kepada AA bahwa kebijakan Presiden Prancis Emmanuel Macron lebih dari sekadar bermusuhan.
"Mereka bertujuan untuk memberantas Islam dengan kedok ideologi kebebasan dan egalitarianisme Prancis," tambahnya.
AMPSA juga merupakan penandatangan pengaduan tersebut.
“Mereka tanpa ampun mendiskriminasi Muslim antara lain, menodai martabat Nabi Muhammad dengan menyamarkan kebebasan berbicara, menyerang pemakaian jilbab, menyerbu rumah, masjid dan organisasi Muslim, dan melarang amal Muslim,” kata Boda.
Menggambar paralel antara kebijakan Macron dengan apartheid di Afrika Selatan, juru bicara AMPSA mengatakan pengalaman yang mereka perjuangkan akan memungkinkan organisasinya untuk memberikan wawasan dan keahlian kepada para pengadu internasional lainnya.
Menurut pernyataan pers, LSM telah secara forensik mengidentifikasi dan mendokumentasikan bukti struktural Islamofobia dan diskriminasi terhadap Muslim di Prancis.
Pernyataan itu mengatakan mereka memiliki dokumen yang memetakan sejarah diskriminasi terhadap Muslim sejak 1989 dan menemukan bahwa Prancis telah melanggar beberapa hak dasar yang dilindungi dalam undang-undang yang diratifikasi oleh Paris.
"Prancis mengeksploitasi tindakan kekerasan politik untuk menanamkan Islamofobia di kepolisian dan peradilan. Kebijakan negara menetapkan praktik keagamaan sebagai tanda risiko dan sangat mirip dengan model Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan (CVE) yang gagal," kata pernyataan itu.
Pernyataan itu juga menuduh bahwa pemerintah Prancis mempersenjatai "laicite," sekularisme versi Prancis, untuk membenarkan campur tangan negara dalam praktik keagamaan dan politik umat Islam.
"Prancis melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Prancis melanggar kebebasan anak, khususnya untuk menargetkan anak-anak Muslim yang melanggar Konvensi PBB tentang Hak Anak," pernyataan itu ditambahkan.
Dokumen tersebut menyerukan kepada PBB untuk memastikan bahwa Prancis menjunjung dan menegakkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) kelompok tersebut dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) bersama dengan setiap arahan tentang larangan diskriminasi dan rasisme.
Pernyataan itu lebih lanjut mendesak Prancis untuk memberlakukan atau membatalkan undang-undang jika perlu untuk melarang diskriminasi semacam itu dan untuk "mengambil semua tindakan yang tepat untuk memerangi intoleransi atas dasar agama dalam masalah ini."
LSM juga meminta intervensi dari badan-badan internasional karena tidak adanya pemulihan yang nyata atau efektif dalam sistem hukum Prancis untuk mengatasi jenis diskriminasi ini.(Tribunpekanbaru.com).
Artikel ini telah tayang di TribunPekanbaru.com