Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Viral Oknum Guru Agama Cabuli Siswa SD, Kabarnya Tersebar di Grup Whatsapp, Korban Trauma

Beredar kabar di sejumlah grop WhatsApp, menyebutkan seorang oknum guru agama melakukan aksi bejat, men cabuli murid di sebuah  SD di Belitung Timur

Editor: Alpen Martinus
kompas.com
Ilustrasi Percabulan 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Memiliki pengetahuan luas soal agama tak menjamin memiliki akhlak dan perbuatan yang baik.

Justru belakangan banyak oknum yang disebut beragama menjadi pelaku kejahatan seksual.

Satu di antaranya adalah oknum guru agama di Belitung Timur.

Baca juga: Pantas Polisi Bisa Tangkap MSAT Tersangka Cabul Siswi Sekolah Agama di Jombang, Dibantu Jendral

simak video terkait :

Beredar kabar di sejumlah grpp WhatsApp, menyebutkan seorang oknum guru agama melakukan aksi bejat, men cabuli muridnya di sebuah  SD di Simpang Renggiang, Belitung Timur (Beltim).

Terkait informasi ini, Kepala Dinas Pendidikan Belitung Timur, Sarjano, Selasa (2/8/2022) mengaku sudah melakukan langkah tegas yakni memindahkan oknum guru tersebut ke sekolah lain.

"Kami ambil tindakan lebih kepada dugaan pelanggaran disiplin dan kode etik guru. Kalau untuk membuktikan ranah pidananya ada di pihak berwajib," kata Sarjano kepada Posbelitung.co, hari ini.

Sementara itu Wartawan Posbelitung.co juga mencari informasi terkait kronologis kejadian tersebut kepada Lembaga Perlindungan Anak Belitung Timur (Beltim).

Baca juga: Terkait Kasus Cabul, Kapolresta Manado Sulawesi Utara Ingatkan Orang Tua Lebih Memperhatikan Anak

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Beltim, Imelda Handayani, Selasa (2/8/2022) menyatakan, kasus asusila tersebut bahwa terjadi sekitar Tahun 2021 lalu.

Namun aksi bejat oknum guru agama ini baru diketahui Bulan Juni 2022 setelah sang korban berusia 12 tahun mau menceritakan kejadian yang dialaminya kepada LPA.

"Dari laporan itu kami bersama UPTD PPA memeriksakan korban ke psikolog sebagai bukti bahwa telah terjadi pelecehan seksual. Di hasil psikolog itu memang benar bahwa anak ini mengalami trauma akibat perbuatan gurunya," jelas Imelda.

Meski demikian, kasus pelecehan seksual oleh oknum guru agama ini tidak dilanjutkan ke tahap hukum karena keluarga korban menolak melaporkannya ke kepolisian. Menurut Imelda, keluarga beralasan tidak mau memperpanjang masalah ke depannya.

Baca juga: 5 Fakta Anak Kiai Jombang Pelaku Cabul Sulit Ditangkap Polda Jatim, Padahal Dikepung Puluhan Polisi

"Keluarga memandang bahwa sanksi mutasi yang diberikan ke guru tersebut sudah cukup. Walaupun pelecehan seksual bukan delik aduan, tapi ketika keluarga menolak membuat laporan tentu nantinya menyulitkan penyidik saat pemeriksaan," kata Imelda.

Saat ini korban yang mengalami trauma berat sedang mendapatkan trauma healing oleh psikolog di UPTD PPA. Korban juga diketahui saat ini masih terus bersekolah di SD yang sama. 

Ancaman hukuman 

Dilansir dari website BPSDM Hukum dan HAM, Larangan kejahatan seksual berupa perbuatan cabul terhadap anak diatur dalam Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam Pasal 76E tersebut dikatakan :” Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

Pebuatan cabul yang dilakukan seseorang terhadap anak yang sedang melakukan sholat isya di Masjid, jelas merupakan bentuk dari kejahatan seksual.

Sanksi bagi pelaku kejahatan seksual berupa perbuatan cabul terhadap anak yang dilakukan di dalam sebuah Masjid, pelaku pencabulan terhadap anak dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 82 ayat (1) junto Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

Kemudian bagaimana proses hukumnya, mengingat dari informasi yang beredar pelaku pencabulan anak tersebut masih berusia 16 tahun, atau masih dalam kategori anak.

Pengertian anak dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Yang dimaksud dengan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Ketika pelaku pencabulan masih anak, maka proses hukumnya berbeda dengan orang dewasa, proses hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencabulan, maka proses hukumnya menggunakan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dimana beberapa substansi dari undang-undang tersebut diantarabnya mengatur tentang hak-hak anak, mengatur tentang upaya diversi dengan pendekatan keadilan restoratif, kemudian mengatur juga tentang syarat dan ketentuan penahanan terhadap anak, untuk penjelasan tentang diversi, tentang syarat penahanan terhadap anak, dapat disaksikan pada video-video yang pernah saya upload sebelumnya.

Sahabaku sekalian, ketika ada anak yang berhadapan dengan hukum, atau anak sebagai pelaku tindak pidana, seperti dalam kasus ini anak menjadi pelaku pencabulan, maka dalam proses peradilan, anak mempunyai hak diantaranya yaitu bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya, selain itu juga ada hak untuk tidak dipublikasikan identiasnya.

Jadi ketika pelaku pencabulan, maupun korban pencabulan masih anak, maka identitas anak, anak korban, wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Setiap orang yang mempublikasikan identitas anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana, maka berdasarkan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pelaku yang mempubikasikan identitas anak tersebut dapat dipidana dengan pidan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Terkait dengan hak-hak anak ketika dalam proses peradilan diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Intinya ketika pelaku tindak pidana pencabulan maupun korban pencabulan masih anak, maka proses hukumnya menggunakan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sedangkan sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kejahatan seksual, dan penelantaran diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Yang terakhir diubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Artikel ini telah tayang di PosBelitung.co

Sumber: Pos Belitung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved