Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Brigadir J Tewas

Kasus Polisi Tembak Polisi Brigadir J dan Bharada E Dianggap Bikin Sesat, Ini Kata Pengamat

Kasus polisi tembak polisi antara Brigadir J dengan Bharada E dinilai bisa bikin sesat. Pengamat Sosial berikan penjelasan.

Editor: Frandi Piring
Istimewa
Kasus Polisi Tembak Polisi Brigadir J dan Bharada E di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo dianggap bikin sesat. Pengamat singgung adanya perang opini antara para pihak yang terlibat. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sorotan terkait kasus Polisi Tembak Polisi yang kini menjadi perbincangan publik mendapatkan tanggapan dari Pengamat sosial yang juga Founder KlinikDigital.org Devie Rahmawati.

Devie mengatakan masyarakat harus bijak dalam mengikuti kasus tersebut.

Mengapa?

Dijelaskan Devi Rahmawati, hal itu karena saat ini telah terjadi perang opini antara para pihak yang terlibat.

Diketahui, kasus Polisi Tembak Polisi antara Brigadir J atau Brigpol Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan Bharada E di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo pada Jumat 8 Juli 2022 lalu kini menjadi sorotan publik.

Sejumlah informasi pun beredar di media sosial, bahkan tak terbendung tanpa disertakan bukti maupun data terkait peristiwa baku tembak di rumah dinas Kavid Propam non-aktif Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta pada 8 Juli 2022.

Untuk itu, publik harus mewaspadai tsunami informasi terkait kasus Brigadir J.


(Bharada E (Kolase/Istimewa/Antara)

Menurut Devie, tak bisa dipungkiri informasi di media sosial bergerak bagaikan tsunami dalam kasus Brigadir J.

Dengan minimnya data dan fakta dari penyelidikan menyeluruh, tak jarang satu sisi persepsi menjadi penentu opini publik.

“Dalam konteks kasus Brigadir J, awal viralnya kasus ini jelas berangkat dari opini yang begitu sengkarut,” ujarnya, Selasa (26/7/2022).

“Justifikasi yang santer pada awal sebuah kasus yang digiring opini publik, tak jarang memberikan dampak negatif orang yang tidak bersalah,” imbuh Devie.

Saat ini, kata Devie, proses penyelidikan kasus Brigadir J tengah berlangsung.

Polisi terus mengumpulkan fakta dan data yang sebenarnya.

Bahkan, Komnas HAM pun sempat menyampaikan ada kejanggalan dari pengungkapan kasus Brigadir J tersebut.

Namun, yang mengkhawatirkan dari apa yang terjadi adalah tuduhan di awal informasi viral yang sungguh merusak.

Bukan saja reputasi seseorang, kata Devie, tetapi jejaring yang terkait orang tersebut.

Padahal, jika ditelisik kesalahan dari justifikasi awal netizen bisa jadi salah.

“Akan menjadi bijak, bila kita semua mengawal terus kasus Brigadir J,” katanya.

“Berbagai kasus yang viral lainnya di media sosial dengan pikiran terbuka, dan memberikan kesempatan para ahli yang sesuai kompetensi untuk mengumpulkan data-data obyektif,” ucapnya.

Menurutnya, tidak semua informasi di media sosial menjadi berkah, justru sebagian menjadi bencana karena diwarnai banyak prasangka.

Akan tetapi, ia tak menampik pergeseran cepat informasi ini, banyak menghasilkan informasi positif dan membangun.

“Tetapi sering juga kita temui informasi yang tidak bermanfaat, bahkan opini tidak berimbang,” katanya.

“Gulungan informasi viral menjadi alat untuk menjustifikasi sebuah pembenaran yang terus disebarkan, dan justru mengaburkan kebenaran,” imbuhnya.

Pada hakikatnya, lanjutnya, media sosial menciptakan ruang tanpa tuan dan tanpa batas, yang memungkinkan setiap pengguna beraksi bebas kadang hingga kebablasan.

Apalagi, praktik anonimitas yang memungkinkan pengguna bersembunyi dalam identitas yang berbeda, memampukan pengguna untuk menjustifikasi informasi sesuai keinginannya.

“Dari beberapa kasus viral di media sosial, tak jarang tuduhan-tuduhan yang berujung kesalahan. Jari-jari netizen yang pada awal kasus viral pun tidak terkena pertanggungjawaban,” katanya.


(Brigadir J tewas di rumah Irjen Ferdy Sambo. (Kolase Tribun Manado)

Di universe digital, Devie mengatakan watak manusia Indonesia yang dulu ramah bahkan berubah menjadi marah dan dikenal sebagai masyarakat yang berang, bukan yang tenang.

Dimana, watak baru manusia Indonesia di ruang digital ini sering kemudian bertemu dengan fenomena cancel culture.

“Sehingga, aksi pemboikotan berbasis praduga tanpa data ini berujung menjadikan cancel culture sebagai cancer culture dalam masyarakat,

yang bisa membunuh hidup dan penghidupan seseorang. Cancel culture adalah fenomena menafikan atau mengasingkan sosok, kelompok, atau produk tertentu,” pungkasnya.

Baca juga: Potret Polisi Berlinang Air Mata saat Makam Brigadir J Digali, Suara Tangisan Tak Terbendung

Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Pengamat Sosial Minta Masyarakat Waspada Mengikuti Kasus Polisi Tembak Polisi, Bisa Bikin Sesat,

https://wartakota.tribunnews.com/2022/07/27/pengamat-sosial-minta-masyarakat-waspada-mengikuti-kasus-polisi-tembak-polisi-bisa-bikin-sesat?page=all.

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved