News Analysis
Silpa Wujud Lemahnya Perencanaan Anggaran dan Inefisiensi Pengelolaan Keuangan Daerah
News Analysis Joy Tulung SE MSc PhD, Ketua ISEI Manado-Sulut. Silpa Wujud Lemahnya Perencanaan Anggaran dan Inefisiensi Pengelolaan Keuangan Daerah.
Penulis: Fernando_Lumowa | Editor: Handhika Dawangi
News Analysis Joy Tulung SE MSc PhD, Ketua ISEI Manado-Sulut
TRIBUNMANADO.CO.ID - Struktur anggaran kita secara garis besar dibedakan menjadi pendapatan, belanja, dan pembiayaan.
Anggaran itu disusun dengan menyusun belanja lalu memadupadankannya dengan pendapatan.
Selisih antara belanja dan pendapatan itulah yang kemudian ditutup oleh pembiayaan, dan didalam satu tahun anggaran, pemerintah menerima pendapatan dan mengeluarkan belanja untuk menjalankan fungsinya.
Apabila belanja lebih besar dari pendapatan itu disebut “defisit anggaran”. Bagaimana mengatasi defisit tersebut? Pemerintah terpaksa melakukan pinjaman dan disebut “Pembiayaan”.
Jadi Apabila jumlah pinjaman atau “pembiayaan” lebih besar dari “defisit anggaran” maka akan terjadi sisa kelebihan uang yang tidak dibelanjakan.
Nah, dalam Laporan Keuangan sisa lebih ini disebut SiLPA (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran).
Dan, akumulasi SiLPA dari tahun ke tahun disebut dengan istilah SAL (Saldo Anggaran Lebih) dan biasa juga disebut sebagai “tabungan” pemerintah.
Apabila tabungan/SAL telah cukup banyak, maka pembiayaan untuk mengatasi defisit anggaran dapat dilakukan tidak hanya melalui pinjaman, tapi dapat juga dengan mengambil SAL tersebut.
Ada empat hal dengan karakteristik yang berbeda-beda sehingga terjadi SiLPA.
Pertama, efisiensi belanja. Sebagai pengelola kebijakan fiskal, pemerintah daerah dapat mengetatkan belanja, misalnya untuk mengurangi inflasi atau meredam pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, penghematan belanja juga mungkin dilakukan untuk membiayai kebutuhan prioritas lainnya.
Kedua, kelebihan penerimaan pembiayaan. Pada prinsipnya, pembiayaan/utang harus dibayarkan kembali pada tahun-tahun berikutnya beserta biaya bunganya.
Untuk itu, jumlah pembiayaan yang berasal dari utang harus dikelola jumlahnya dan pemanfaatannya untuk hal yang produktif seperti misalnya penyertaan modal pemerintah.
Ketiga, tidak tercapainya target belanja. SiLPA karena faktor ini tentu tidak diharapkan terjadi karena menunjukkan kinerja penyerapan belanja yang tidak optimal.
Antara lain karena tata kelola keuangan yang tidak tertib seperti lemahnya perencanaan kegiatan, terdapat permasalahan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa (lelang, ketersediaan barang, keterbatasan waktu pelaksanaan pekerjaan) dan lambatnya penyelesaian tagihan pihak ketiga.
Tingginya nilai SiLPA karena tidak maksimalnya penyerapan belanja jelas bukan sebuah prestasi. Pasalnya masih menyisakan kewajiban yang harus dipenuhi pada tahun berikutnya.
Keempat, pendapatan yang melampaui target, Hal ini merupakan angin segar bagi pemerintah untuk memperbesar ruang fiskal.
Pemerintah Daerah perlu memperhatikan pendapatan apa yang realisasinya di atas ekspektasi.
Jika hanya dari pendapatan Transfer Pemerintah Pusat sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru di bawah target, maka hal ini justru mengindikasikan penurunan tingkat kemandirian daerah
Adapun, jumlah SiLPA yang terlalu besar mengindikasikan belum optimalnya penggunaan instrumen APBD untuk meningkatkan perekonomian daerah dan memberikan layanan publik yang lebih baik.
Memang belum ada persentase pasti berapakah nilai SiLPA ideal yang dapat disimpan sebagai bentuk motif berjaga-jaga. Misalnya untuk mengatasi persoalan kebutuhan kas di awal tahun anggaran.
Tapi, akumulasi SiLPA yang tinggi dapat menimbulkan opportunity cost meskipun disimpan dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan.
Jumlah simpanan yang cukup tinggi sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk penyertaan modal pemerintah pada perusahaan daerah.
Selain itu, pembangunan infrastruktur yang diproyeksikan mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada dasarnya, SiLPA di akhir tahun anggaran setidaknya bernilai nol karena nilai SiLPA dihasilkan dari penjumlahan surplus/defisit selisih pendapatan dan belanja pemerintah dengan pembiayaan netto.
Jika terjadi defisit anggaran maka entitas yang bersangkutan akan melakukan pembiayaan untuk menutupi kekurangan.
Dalam kejadian ini, nilai SiLPA positif apalagi dengan nilai cukup besar dapat dianggap sebagai ketidakefisienan dalam menarik pembiayaan.
Inefisiensi penarikan pembiayaan selanjutnya membawa dampak pada tingginya biaya yang harus ditanggung di masa depan.
Apalagi DAK, harusnya itu terserap semuanya data yang ada menyatakan bahwa ada sisa DAK Fisik dan non fisik di Sulut yaitu masing-masing sebesar Rp 38,3 miliar dan Rp 9,21 miliar.
Apalagi ada sisa dana PEN yang begitu besar. Seharusnya dana PEN bisa lebih lagi dioptimalkan pemerintah daerah untuk pemulihan ekonomi Sulawesi Utara yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Ada banyak faktor yang menyebabkan selisih antara penerimaan dan pengeluaran dan itu perlu menjadi perhatian pemerintah daerah.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan Pemerintah Daerah untuk mencegah SiLPA yang besar di kemudian hari.
Pertama yang perlu dilakukan yaitu meningkatkan kualitas perencanaan anggaran dari sisi penerimaan serta pengeluaran.
Misalnya dengan memperhatikan kondisi makro perekonomian.
Kedua, pemerintah juga harus meninggalkan model penganggaran konservatif dengan melihat prioritas pembangunan daerah.
Ketiga, pemerintah perlu memperbaiki kinerja penyerapan anggaran dan mengawal pelaksanaannya agar sesuai dengan perencanaan.
Apabila terdapat hal yang berpotensi menghambat penyerapan, misalnya perubahan kebijakan, maka agar segera dimitigasi risiko tersebut atau implementasinya dapat diterapkan pada tahun berikutnya.(ndo)