Stateless di Bitung
Kisah Stateless Asal Filipina di Bitung, Jatuh Bangun Berjuang Demi Jadi WNI
Sebanyak 1.479 warga tanpa identitas kewarganegaraan atau stateless person dari Filipina bermukim di Kota Bitung, Sulawesi Utara
Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Finneke Wolajan
Data di Dinas Kependudukan dan Pecatatan Sipil Bitung dan Kantor Imigrasi Bitung, saat ini ada 1.479 warga stateless di Bitung. Mereka tersebar di sejumlah pesisir di Kota Bitung. Proses pemberian kewarganegaraan telah berlangsung sejak tahun 2016 yakni ada 54 orang yang mendapat surat keputusan naturalisasi, tahun 2018 ada 277 orang serta tahun 2019 ada 156 orang yang masih berproses di Kemenkumham. Namun sepanjang 2017 ada 86 warga Filipina yang dipulangkan ke negaranya karena terlibat kasus pencurian ikan dan pemalsuan dokumen.
Wali Kota Bitung Maurits Mantiri mengatakan warga pemukim tanpa identitas kewarganegaraan yang kemudian dikategorikan sebagai stateless person di Kota Bitung mulai teridentifikasi pada saat verifikasi dan validasi ulang data terkait sengketa pilkada tahun 2005.
Ia mengungkap ini dalam seminar nasional Universitas Dipenogoro bekerja sama dengan UNHCR yang bertajuk Understanding Statelessness Situation in Indonesia through Baseline Survey Project in 2021, yang berlangsung secara daring pada 21 Desember 2021.
Ia mengatakan DPRD Kota Bitung pun menginisiasi dan memfasilitasi pendataan warga tanpa identitas sejak tahun 2010 dan ditindak lanjuti pada tahun 2015. Data biometric yang diambil Polres Bitung saat itu terdata ada 1.492 jiwa pemukim tanpa dokumen kewarganegaraan (stateless) yang beretnis Filipina Sangir di Kota Bitung
Pada umumnya warga tanpa identitas dan stateless di bitung merupakan etnis Sangir Filipina. Rata-rata sudah bermukim di Bitung selama lebih dari 15 tahun. Sebagian besar bekerja pada perusahaan/kapal perikanan tangkap di Kota Bitung, karena umumnya mereka adalah nelayan.

Maurits Mantiri mengungkap upaya Pemerintah Kota Bitung dalam menangani permasalahan stateless ini di antaranya melakukan pendataan di masing-masing wilayah kecamatan dan kelurahan. Pendataan ini dilakukan oleh lintas terkain yakni Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pariwisata dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik. "Ada koordinasi dan kerja sama tim pengawasan orang asing (Timpora)," ujarnya.
Selain itu, Pemerintah Kota Bitung juga terus melakukan sosialisasi dan bantuan hukum dengan melibatkan akademisi dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Utara. Juga pertukaran informasi dengan Konsulat Jenderal Filipinan di Manado.
Menurutnya, kondisi saat ini tinggal 24 orang dari jumlah 277 stateless berdasarkan SK tahun 2018 yang belum mengambil SK tersebut, sehingga proses pengurusan NIK, dokumen kependudukan KK dan KTP serta akte kelahiran belum dapat dilakukan.
Tak hanya stateless, pemerintah kini tengah serius menangani isu perdagangan manusia atau human trafficking. "Misalnya ada sepuluh orang Filipina dipekerjakan di Bitung. Operasional menangkap ikan ikan dibiayai, tapi mereka tak terima gaji," ujarnya.
Ia menegaskan, masalah kemanusiaan tetap menjadi hal utama. Maurits berharap para stateless di Bitung yang adalah nelayan ulung bisa meningkatkan perekonomian keluarga mereka. "Kami sadar ada banyak juga orang Indonesia yang ada di Filipina sebagai pekerja
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada 2018 lalu saat Penyerahan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI tentang Penegasan Status Kewarganegaraan RI kepada 277 Pemukim Tanpa Dokumen di Kota Bitung, dikutip dari laman kemenkumham.go.id, menyatakan permasalahan kewarganegaraan menang berada di wilayah perbatasan sensitif. Seperti di Sulawesi Utara, khususnya orang-orang Sangir Filipina yang bermukim di Kota Bitung, Kepulauan Sangihe, dan sekitarnya.
Mereka datang ke wilayah Indonesia dengan tujuan memperbaiki kehidupannya dengan bekerja sebagai nelayan di Kota Bitung dan Kabupaten Sangihe yang merupakan salah satu kota pelabuhan terbesar di Indonesia Timur dan menjadi pilihan utama warga pelintas batas Indonesia dan Filipina.
Ia menyebut, konstitusi menganut prinsip pemberian perlindungan maksimal bagi segenap bangsa antara lain melalui Pasal 28D ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Yasonna juga menambahkan Konstitusi Negara Indonesia telah sejalan dengan Universal Declaration of Human Rights, yang menyatakan hak atas status kewarganegaraan sebagai hak asasi manusia bagi semua orang, dan harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi.
Baik Richard Calumba dan warga stateless lainnya, berharap bisa segera menjadi WNI agar kehidupan mereka lebih baik. Dengan adanya identitas, mereka bisa meningkatkan perekonomian keluarga mereka. “Kalau ada KTP bisa ikut kapal-kapal tuna yang besar, pendapatannya lebih banyak. Anak-anak saya juga sudah bisa hidup seperti anak-anak Indonesia pada umumnya,” kata Richard. (tribunmanado.co.id/finneke wolajan)
Liputan ini merupakan bagian dari Program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan The Netherlands Embassy