Stateless di Bitung
Kisah Stateless Asal Filipina di Bitung, Jatuh Bangun Berjuang Demi Jadi WNI
Sebanyak 1.479 warga tanpa identitas kewarganegaraan atau stateless person dari Filipina bermukim di Kota Bitung, Sulawesi Utara
Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Finneke Wolajan
Masita bercerita, ia menyusul suaminya yang telah lima tahun lebih dulu tinggal di Bitung. Masita datang bersama tiga anaknya. Mereka naik perahu dari Mindanau Selatan ke Kepulauan Sangihe dengan biaya Rp 1 juta per orang. Dari Sangihe, mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Bitung menggunakan kapal lokal antar pulau dalam provinsi Sulawesi Utara.
Tak mudah bagi Masita harus tinggal sebagai warga tanpa kewarganegaraan. Namun setelah lama berjuang, Masita dan keluarga akhirnya mendapat Kewarganegaraan Indonesia pada tahun 2019 lalu. Memegang status sebagai WNI, Masita dan suaminya harus mengurus semua dokumen keluarga mereka hingga akte nikah.
Masita dan suaminya akhirnya harus dua kali menikah, pertama di Filipina yang kedua menikah di Indonesia. "Saya dan suami dua kali menikah," ujar wanita berkacamata ini, lalu tertawa. Masita pamit, karena pekerjaan rumah yang menantinya siang itu.
Kehidupan Jauh Lebih Baik
Caesar Adam (42) bersyukur bisa hidup di Bitung. Sudah 20 tahun ia meninggalkan Filipina dan tinggal di Bitung dengan status stateless. "Hidup kami jauh lebih baik di sini. Sekarang salah sendiri kalau tak makan, kalau rajin pasti ada ikan," katanya. Ia sudah punya izin tinggal dan kini tengah menunggu surat keputusan status kenegaraan.
Waktu tinggal Filipina, Caesar mengaku mengalami masalah ekonomi. Hasil laut sering tak bersahabat dengan mereka. Para nelayan harus melaut jauh, hanya dengan perahu kecil seadanya. Hasilnya pun tak tentu, bahkan bisa tak ada sama sekali. "Jauh sekali tempat cari ikannya, berjam-jam ke arah laut tak ada ikan sama sekali. Kalau ada pun, hasilnya sedikit," ujarnya sembari mengecat perahu yang baru ia beli.
Di Bitung, menurut Caesar, di pinggir pantai pun ada ikan yang bisa dimakan. Melaut satu hingga dua jam, sudah banyak ikan yang didapat. "Di Filipina itu kami susah, karena hasil ikan sangat sedikit. Di sini kaya ikannya, kehidupan kami jadi lebih baik," ujarnya.

Laut memang menjadi tempat nelayan Filipina ini menggantungkan hidup mereka. Richard Calumba pun menganggap hidup di Bitung jauh lebih baik dari Filipina. Ikan mudah didapat, warga sekitar pun baik. Akses untuk mendapatkan kebutuhan mereka juga mudah. "Ikan di sini banyak, kemudian dekat kota. Jadi kalau kebutuhan sangat mudah ditemui. Pokoknya di sini enak," ujarnya.
Sesulit-sulitnya hidup sebagai stateless, Bitung tetap menjadi tempat yang jauh lebih baik bagi mereka untuk hidup. Kota Bitung adalah surga perikanan di Indonesia. Dijuluki Kota Cakalang, ikan di laut Bitung melimpah.
Bitung dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi besar menjadi pusat perikanan dunia. Dominasi ikan yang didaratkan di Bitung adalah tuna yang merupakan komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi. Tak heran, Bitung bak magnet bagi sejumlah warga Filipina.

Ikan yang melimpah dan kehidupan yang lebih enak membuat mereka enggan untuk kembali ke Filipina. Seperti pemukiman Richard Calumba yang bertetangga dengan Masita Makidatu dan Caesar Adam yang tinggal di pesisir pantai di Kelurahan Manembo-nembo, Kota Bitung.
Di pemukiman mereka ada 14 kepala keluarga yang tinggal, yang semua kepala keluarga berasal dari Filipina. Para lelaki ini mengikuti agama istri mereka, ada yang muslim ada yang protestan. Agama asal mereka di Filipina adalah Katolik.
Di kampung Filipina ini lengkap dengan warung tempat warga belanja kebutuhan sehari-hari. Rumah yang mereka tinggali rata-rata berdinding tripleks dan berukuran kecil.

Sebuah pohon mangga raksasa, menjadi tempat bersantai para warga, terutama ibu-ibu yang menjaga anak-anak mereka bermain. Ada peliharaan anjing yang berkeliaran sana sini. Tepat di bibir pantai, ada ada gazebo tempat warga bersantai. Bersebelahan dengan kapal-kapal para nelayan.
Pemerintah Menjunjung Masalah Kemanusiaan