Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Stateless di Bitung

Kisah Stateless Asal Filipina di Bitung, Jatuh Bangun Berjuang Demi Jadi WNI

Sebanyak 1.479 warga tanpa identitas kewarganegaraan atau stateless person dari Filipina bermukim di Kota Bitung, Sulawesi Utara

Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Finneke Wolajan
Tribun Manado/Finneke Wolajan
Pemukiman warga stateless asal Filipina di Kelurahan Manembo-nembo Kota Bitung 

TRIBUNMANADO.CO.ID – Sebanyak 1.479 warga tanpa identitas kewarganegaraan atau stateless person dari Filipina bermukim di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Nasib mereka belum jelas dan hingga kini mereka terus berjuang untuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan tanpa alasan, Bitung yang dikenal sebagai kota industri perikanan, memberikan kehidupan yang jauh lebih layak bagi mereka.

Kurang lebih sepuluh tahun lamanya, Richard Calumba (39) bermukim di Bitung sebagai seorang stateless. Bukan kehidupan yang mudah bagi Richard, ruang geraknya sangat terbatas. Richard tak memiliki dokumen kewarganegaraan baik Filipina, pun dengan Indonesia.

Namun syukurnya, Richard telah memiliki izin tinggal di Indonesia. Sudah sejak 2016 ia mengajukan status kewarganegaraan, namun hingga kini ia belum mendapatkan surat keputusan naturalisasi dari Kementerian Hukum dan HAM RI.

Richard kini menikah dengan warga lokal, perempuan asal Gorontalo bernama Marma Tilome. Mereka dikaruniani dua buah hati. Richard dan istri tinggal di rumah sederhana di pesisir pantai Kelurahan Manembo-nembo, Kota Bitung.

Richard dan istri belum memiliki surat nikah, karena status kewarganegaraan Richard. Akte kelahiran anak-anak mereka pun terpaksa harus ditulis 'anak seorang ibu'. Richard mengaku kasihan pada anak-anaknya.

Richard Calumba (39) warga asal Filipina yang kini berstatus stateless dan tinggal di Kota Bitung. Ia bersama istrinya Marma Tilome (42) di teras rumah mereka di Kelurahan Manembo-nembo
Richard Calumba (39) warga asal Filipina yang kini berstatus stateless dan tinggal di Kota Bitung. Ia bersama istrinya Marma Tilome (42) di teras rumah mereka di Kelurahan Manembo-nembo (Tribun Manado/Finneke Wolajan)

Kehidupan ekonomi Richard sangat terbatas. Ia hanya bergantung pada pendapatan harian sebagai nelayan tradisional,  sedangkan istrinya tidak bekerja. Sebagai nelayan dengan perahu kecil, rata-rata per hari Richard bisa menghasilkan uang Rp 100 ribu. Kalau sedang tak bernasib baik, Richard akan pulang dengan tangan kosong. Kalau lagi beruntung, bisa Rp 300 ia dapat dalam sehari.

Sebenarnya Richard bisa mendapat penghasilan lebih, jika ia bekerja di kapal besar penangkap tuna. Namun apa daya, ia tak punya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kalau kerja di kapal milik perusahaan, harus ada identitas. "Susah karena anak sudah dua.

Kalau kapal kecil, melaut hari itu ya untuk makan hari itu. Kalau ikut kapal Tuna, pendapatannya bisa jauh lebih banyak," ujarnya. Richard juga tak bisa ke mana-mana. Ia hanya berdiam di rumahnya yang berlokasi di pesisir pantai. Paling jauh ia keluarga hanya ke Gorontalo, pulang ke kampung istrinya. 

Sepuluh tahun lalu, Richard yang adalah seorang kaptel kapal. Ia beserta sembilan anak buah kapal lainnya ditangkap kapal patroli TNI AL, saat tengah melaut di perairan Sulawesi Utara, Indonesia, dekat dengan Filipina. Mereka pasrah ketika menyadari kapal mereka didekati kapal patroli yang kemudian menggiring mereka menepi di Kota Bitung, dengan waktu berjam-jam dari tengah laut.

Dari pelabuhan, Richard dan teman-teman digelandang ke markas TNI AL di Bitung. Mereka terkurung di dalam kompleks tentara itu selama tiga bulan. "Selama ditahan, saya kerjanya bersih-bersih kantor," kata Richard, ketika menceritakan kembali pengalamannya kepada tribunmanado.co.id, di teras rumahnya, di pesisir pantai Kelurahan Manembo-nembo, Kota Bitung, Desember 2021 lalu.

Setelah keluar markas tentara, Richard mencari pemukiman bersama warga Filipina lainnya, sambil memikirkan bagaimana nasib selanjutnya. "Untuk bertahan hidup ya kami melaut, pakai kapal yang kecil-kecil," ujarnya.

Empat tahun lamanya hidup Richard tak menentu. Pulang kampung dia tak bisa, tinggal di Bitung pun tak jelas statusnya. Richard akhirnya bertemu Marma Tilome (42) yang kini menjadi istri dan ibu dari dua anaknya. "Ini pernikahan saya yang kedua, yang pertama di Filipina sudah cerai," ujarnya. Sejak menikah lagi, Richard menetapkan hati untuk tinggal di Indonesia bersama keluarga kecilnya.

Trauma Meski Sudah WNI

Masita Makidatu (57) mengalami trauma yang mendalam karena harus kucing-kucingan dengan petugas imigrasi hingga pernah ditangkap. Ia masih takut bertemu orang luar, padahal Masita sudah berstatus WNI dan mendapat KTP pada tahun 2019 lalu. "Ibu ini masih trauma dengan petugas imigrasi, karena dulu lari-larian dan pernah ditangkap," ujar Richard Calumba menjelaskan tingkah Masita. Richard dan Masita bermukim di tempat yang sama, kelurahan Manembo-nembo,

Masita tampak kaget ketika dia dihampiri, bibirnya terasa berat untuk bicara. Namun akhirnya dia memberanikan diri untuk bicara. Sudah sepuluh tahun tinggal di Bitung, namun dirinya masih kaku berbahasa Indonesia, dialeg Manado. Cara bicaranya terbata-bata, dan sesekali harus dibantu Richard untuk menerjemahkannya.

Masita Makidatu (57) dulu warga Filipina, sempat jadi stateless dfggfb
Masita Makidatu (57) dulu warga Filipina, sempat jadi stateless. Kini telah menjadi WNI dan tinggal di Bitung (Tribun Manado/Finneke Wolajan)
Sumber: Tribun Manado
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved