Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Digital Activity

Wawancara Khusus Bersama Pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulut

Tribunmanado.co.id, berkesempatan berbincang-bincang bersama Pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulut Matulandi Paat Lontoh Supit SH.

Penulis: Mejer Lumantow | Editor: Rizali Posumah
Tribun Manado
Pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulut Matulandi Paat Lontoh Supit SH 

Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Peran masyarakat adat di tengah dunia modern saat ini perlu menjadi perhatian serius.

Apalagi, Indonesia merupakan negara yang kaya akan adat istiadat serta beragam budaya menjadi cermin kebangsaan yang terangkum dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Tribunmanado.co.id, pun berkesempatan berbincang-bincang bersama Pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulut Matulandi Paat Lontoh Supit SH terkait eksistensi masyarakat adat ini.

Seperti apa masyarakat adat di dunia modern saat ini?

Berbicara tentang masyarakat adat sebetulnya berbicara tentang masyarakat adat di tengah modernitas saat ini.
Atau bisa dikatakan sekelompok masa lalu yang tinggal menjadi sebuah 'artefak'

Malahan sebenarnya terbentuknya masyarakat modern adalah karena adanya masyarakat adat ini.

Di Indonesia sendiri definisi masyarakat Adat, tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18b dan itu jelas.

Ketika kita berbangsa dan bernegara, para pendiri bangsa mengakui keberadaan itu sehingga dimuat didalam konstitusi.

Jika kita menilik lebih jauh ke belakang sebelum kemerdekaan, masyarakat adat ini adalah bagian penting di dalam kerangka Sumpah Pemuda.

Karena saat itu para pemuda-pemuda mewakili lingkungan masyarakat adat pada masa itu, inilah sehingga eksistensi masyarakat adat tertuang dalam Undang-undang dasar negara.

Disini, ada 3 hal penunjuk masyarakat adat, pertama ada wilayah, kedua ada orangnya, ketiga ada sistemnya. Ketiga syarat ini menjadi dasar disebutnya suatu masyarakat adat.

Bagaimana posisi masyarakat adat saat ini?

Sesungguhnya masyarakat adat itu masih ada, walaupun sudah 70 persen sudah didominasi oleh peradaban modern.

Banyak yang mengaku saya masyarakat adat tetapi dalam kehidupan sehari-hari masih menunjukan perilaku peradaban modern.

Nah, fakta fakta lapangan saat ini, terutama di bidang pertanahan, justru eksistensi masyarakat adat ini akan tampak dan sangat mendasar.

Persoalan wilayah ini sangat mendasar, kenapa sangat mendasar? karena itu menyangkut hak-hak tertentu.

Tentu ada perbedaan antara wilayah non adat, dan wilayah adat.

Tetapi sekarang ini digeneralisir, buktinya sampai hari ini persoalan tanah dan agraria belum selesai selesai, bahkan amburadulnya persoalan hak tentang wilayah.

Contohnya pembangunan Ibu Kota Negara yang baru (IKN), yang ribut justru masyarakat adat di sana, wilayahnya.

Itu milik komunitas adat di sana dan itu belum beres.

Adakah Undang-Undang yang Mengatur Terkait Masalah Itu?

Undang-Undang yang mengatur masalah ini adalah UU Pokok Agraria yang menyatakan hak komunal komunitas diangkat menjadi hak komunal negara. 

Apakah hal-hal semacam ini mengancam eksistensi masyarakat adat itu sendiri?

Ya sudah pasti, jika haknya tidak diakui lagi, artinya dia harus keluar dari wilayahnya dengan berbagai cara.

Kita sudah lihat dimasa lalu bagaimana pengusuran masyarakat adat bahkan dari zaman kolonial.

Apa saja yang dinilai sebagai ancaman nyata bagi masyarakat Adat sendiri, khususnya di Sulawesi Utara?

Di Sulut kita bisa lihat banyak masyarakat adat, ada tiga kluster, yakni Nusa Utara, Minahasa, dan Bolaang Mongondow.

Ini yang saya sebutkan tadi, adat dan non adat.

Sangihe dan Sitaro itu kerajaan sewaktu masa lalu, Bolaang Mongondow juga kerajaan, sedangkan Talaud bukan kerajaan, Talaud terdiri dari 18 Komunitas adat.

Kita turun ke Minahasa Raya. Minahasa itu ada 9 satuan suku, mulai dari Tountemboan, Tonsea, Tombulu dan Tolour, sisanya pecahan dari sana.

Nah, itu sebetulnya secara telanjang hari ini kita lihat bukan masyarakat adat lagi.

Karena peradaban modern mengganti tata kehidupan, tetapi di balik itu mereka masih menguasai wilayah. Sebut saja Wanua atau satu Desa.

Contohnya penunjuk terhadap penguasaan wilayah, ditanah desa itu memiliki nama adat semua.

Makanya, dalam UU Agraria di Tanah Minahasa tahun 1970 itu ditolak.

Alasanya bahwa setiap jengkal tanah di tanah Minahasa itu ada pemiliknya, maka tidak harus dilakukan registrasi tanah. Karena jelas pemiliknya siapa.

Misalnya, namanya berdasarkan pohon yang tumbuh disitu, atau batu disitu diberi nama dan warisan turun temurun dari nenek moyang.

Makanya tidak heran gugat menggugat di pengadilan soal masalah tanah ini hampir mendominasi pengadilan.

Dengar-dengar Anda bersama sejumlah tokoh masyarakat adat di Sulut pernah mendorong Perda tentang Masyarakat adat, nah seperti apa?

Iya, soal Perda sudah beberapa kali, kami pernah mendorong Perda tentang pernak pernik adat untuk dipajang di tempat-tempat Publik.

Namun kemudian dianggap tidak mendesak sehingga tertunda.

Tetapi kami akan terus mendorong itu, bukan karena Rasis tetapi ini persoalan identitas.

Ketika dia masuk ke Manado tampak ke Minahasaanya, ketika masuk ke Nusa Utara nampak budayanya, ketika masuk ke Bolmong nampak adat istiadatnya.

Yang umum dipahami masyarakat soal adat dan budaya, hanya sebatas ilmu ilmu mistis, itu hanya sebagian kecil.

Tetapi Bicara masyarakat adat itu ada sejarahnya, ada seninya, ada bahasanya dan persoalan ruang hidup dan hukum.

Bahkan PBB sudah mendeklarasikan hak hak masyarakat adat. Kita punya acuan Internasional juga dalam hal ini.

Dalam banyak kasus Masyarakat Adat sering kalah dengan Perusahaan Tambang terkait pengelolaan SDA di daerah masing-masing, bagaimana anda melihat hal ini?

Memang sepanjang masa orde baru tatkala negara begitu kuat, atau kekuasaan begitu kuat mengatur seluruh kepentingan di wilayah RI, konsesi-konsesi tambang diterbitkan di Jakarta.

Padahal konsesinya ada di Papua, pembuatnya tidak tahu wilayah di sana seperti apa.

Ketika konsesi ditetapkan maka siapapun menggunakan eksploitasi tanah itu tidak akan peduli, dan tidak ada komunikasi dengan masyarakat di situ. Jadi dia mau usir, itu terserah dia, karena punya izin.

Negara tidak memiliki tanah sebenarnya, dia hanya menggunakan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yaitu hak Menguasai, bukan hak memiliki.

Kalau bilang itu tanah negara, tidak ada tanah negara, itu hak menguasai.

Yang bisa disebut tanah negara itu Jalan karena dibebaskan, dibayar.

Tetapi kalau bangunan-bangunan dan perkebunan/hutan itu kan ada yang punya.

Tetapi ketika ada yang bisa membuktikan itu milik komunitas masyarakat adat itu wajib dikembalikan oleb negara.

Bagaimana di tanah Bolaang Mongondow Raya yang menganut sistem kerajaan?

Jika Bolmong Raya hendak mengajukan klaim adat, maka dia harus menggali lagi sebelum ada kerajaan.

Jadi zaman para Bogani. Tetapi kalau dia mulai dari dasar kerajaan bisa repot.

Bagaimana anda melihat dukungan pemerintah pusat dan daerah terkait eksistensi masyarakat adat di Sulut?

Pemerintah pusat saya kira sudah terbuka dengan persoalan ini, bahkan sudah jauh lebih baik dari masa Orde Baru.

Kemarin didorong Restoratif Justis itu sama dengan perdamaian secara terbuka. Apapun persoalan itu masalah duduk bersama dan disepakai.

Apa peran pemerintah atau lembaga pendidikan untuk menjaga eksistensi masyarakat adat?

Kita saat ini atau Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, sementara mendorong pendidikan adat, bahkan akan membangun Universitas Adat, lewat pendidikan non formal.

Para gurunya tentu para tua tua adat, dan ini kita sedang meminta fasilitasi dari pemerintah.

Intinya, kita berharap ada suatu aturan untuk menjamin semua orang dalam hal eksistensi adat dan budaya itu sendiri.

Apa yang harus disiapkan Masyarakat Adat, agar diakui dan memiliki peran dalam kebijakan pemerintah daerah?

Masyarakat adat bisa memiliki posisi dalam pengambilan keputusan misalnya diwilayah provinsi dan Kabuapaten/Kota ketika ada payung hukumnya.

Saat ini masyarakat adat dalam pengambilan keputusan dan kebijakan hanya diundang lewat tokoh-tokoh adat masyarakat saja.

Jadi, siapapun yang mengundang terserah dia dalam mengambil keputusan, karena kita hanya diundang, bukan karena suatu kewajiban.

Contohnya, di Minahasa masyarakat adat di Minahasa, walaupun Ormas-Ormas sudah menyatakan kami Ormas Adat, tetapi adat yang mana?

Bicara adat dan budaya kan berbeda secara terminologi. Kalau budaya itu terbuka, kalau adat itu statis. K

alau budaya itu berkembang dan bertumbuh, kalau adat tidak, dia dari dulu A tetap A sampai hari ini.

Apa saran dan harapan terhadap eksistensi masyarakat adat sehingga bisa berperan dalam kebijakan strategis di daerah?

Eksistensi masyarakat adat sendiri dalam situasi modern saat ini memang tidak mudah.

Apalagi dalam pengambilan kebijakan-kebijakan tertentu dalam hal pembangunan dan investasi. Menyangkut persoalan hak-hak wilayah.

Untuk itu, Sinergitas dan kesepakatan bersama perlu dikedepankan.

Walaupun saat ini saya lihat ada hambatan-hambatan tertentu tetapi sudah lebih baik dimasa sekarang. (Mjr)

Informasi Terbaru Harga Pertamax dan Pertalite Hari Ini Jumat 3 Juni 2022 di SPBU Seluruh Indonesia

Segini Tawaran Juventus Untuk Gaji Paul Pogba, Tinggal Tunggu Keputusan Kontrak

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved