Sejarah
Kisah Habib Syarif dari Arab Mekkah, Bangun Masjid Quba Bebesen hingga Dibakar PKI Jelang G30S
Kisah sejarah Islam di Indonesia. Masjid Quba Bebesen yang dirintis Habib Syarif dari Arab. Dibakar PKI menjelang pecahnya G30S 1965.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Sebuah kisah sejarah Islam di Indonesia di masa kepemimpinan Presiden Soekarno.
Kisah dari seorang Habib Syarif dari Mekkah, Arab datang ke Indonesia dan mendirikan sebuah masjid.
Masjid Quba Bebesen yang menjadi rumah ibadah umat muslim di daerah Aceh Tengah.
Di periode menjelang pecahnya G30S 1965, Masjid Quba Bebesen dibakar kaum PKI kala itu.
Melansir SerambiNews.com, Pusat Kajian Kebudayaan Gayo menggelar Webinar “Menguak Sejarah Masjid Quba Bebesen” Kamis (7/4/2022) salah satu masjid tertua di Aceh Tengah.
(Kisah Habib Syarif dari Arab Mekkah, Bangun Masjid Quba Bebesan hingga Dibakar PKI Jelang G30S (SERAMBINEWS.COM/ foto kiriman Yusradi Usman Al Gayoni)
Menghadirkan narasumber peneliti Masjid Quba Bebesen Yusradi Usman al-Gayoni dan keturunan kelima Habib Syarif, perintis pembangunan Masjid Bebesen, Tgk. T Said Lidansyah, dengan moderator Iwan Bahagia.
Tgk. T. Said Lidansyah, mengungkapkan, pembangunan Masjid Bebesen dirintis Habib Syarif, orang Arab, berasal dari Mekkah, bukan berasal dari Yaman atau Hadramaut.
Tgk T Said Lidansyah menuturkan, Habib Syarif, bersama istri, dua anaknya—Habib Muhammad Jalung dan Habib Yusuf—dan seorang pengikut, penghafal Quran, Syeh Mahmud,
hijrah ke Aceh, tepatnya, di Ie Leubeu, Pidie dari Arab. Setelah menguasai bahasa Aceh, dari Pidie, Habib Syarif dan rombongan ke Ulim, Paya Tui, Pidie Jaya.
"Mereka ini kemudian meneruskan perjalanan sampai ke Peudada, lalu mengikuti aliran sungai Peudada, sampai ke Pantan Lah, sekarang kawasan Aceh Tengah,” kata Lidansyah.
Dari Pantan Lah, lanjutnya, Habib Syarif ke Jalung (sebelumnya bernama Kala Ali-Ali), sampai ke Serempah, Ketol.
“Di Serempah, Habib Syarif lama menetap, sempat bercocok tanam, bersawah.
Karena ada warga dan pemukiman, Habib Syarif kemudian membangun masjid, untuk lebih menyiarkan Islam.
Orang-orang berdatangan ke Ketol, dari Bebesen, Tunyang, dan lain-lain.
Orang ingin tahu sosok Habib Syarif dan mendalami agama Islam,” sebutnya.
Di antara jamaah yang datang dari Bebesen, lanjut Lidansyah, ada yang mengajak Habib Syarif untuk ke Bebesen.
“Habib Syarif pun kemudian mengiyakan ajakan jamaah asal Bebesen tersebut dan pindah ke Bebesen."
Di Bebesen, Habib Syarif awalnya tinggal di Pejebe. Dari Pejebe, Habib Syarif pindah ke Kampung Bebesen.
Baru kemudian Habib Muhammad, Syech Mahmud, dan keluarga menyusul dari Ketol ke Bebesen.
Karena melihat aliran air yang bagus di sebelah utara masjid sekarang, Habib Syarif membuat sumur untuk kebutuhan masyarakat Bebesen dan sekitarnya,
dikenal dengan Telege Monyeng (Monyeng atau Munyang dalam Bahasa Gayo, merujuk ke Habib Syarif).
“Habib Syarif juga membawa tiga buah Alquran. Yang satu dibawa Habib Yusuf. Yang dua tinggal di Bebesen, satu dipegang oleh cucu Habib Syarif,
yaitu anak Habib Muhammad, Syarifah Nurullah (kuburannya di Bur Ucak, Bur ni Kercing).
Syarifah Nurullah mengajar ngaji khusus kaum perempuan di Bebesen. Dari situ lah asal mula joyah.
Dulu, masih kecil. Banyak yang datang belajar untuk mengaji, dari Tunyang, menginap, membawa perbekalan, belajar mengaji, sampai sebulan di Bebesen,” sebut Lidansyah.
Anak Habib Syarif, Habib Muhammad Jalung mempunyai delapan anak, tertua Syarifah Nurullah, Habib Murasyaf, Habib Harbi, Habib Krueng, Habib Ahmad (Habib Item,
makamnya di belakang Masjid Quba Bebesen), Habib Husin, Syarifah Obit, dan Syarifah Hadijah yang bersuamikan Habib Abdillah.
“Habib Abdillah ini yang menurut Syarifah Luluk (cucunya Habib Muhammad Habib Jalung) yang merintis pembangunan masjid tua Asir-Asir.
Habib Syarif meninggal sekitar tahun 1850, sementara Habib Muhammad Jalung meninggal tahun 1887.
Saya sependapat dengan Yusradi, Masjid Bebesen dibangun sekitar akhir 1700 atau awal 1800, merujuk tahun meninggalnya Habib Syarif,” tutur Lidansyah.
Yusradi Usman al-Gayoni menjelaskan, pada 2007 dirinya meneliti sejarah Masjid Quba, dengan mewawancarai tokoh-tokoh yang sudah cukup berumur waktu itu, 90-an tahun.
Yang lebih muda, termasuk alm. Gecik Tue Mongal, dan alm Tgk M. Isa Umar.
Yusradi, menyimpulkan, Masjid Bebesen dibangun sebelum Belanda masuk ke Gayo (1903) dan terdapat relasi dengan Ketol.
Sebagian bahan pembangunan masjid yang berbahan papan, berbentuk panggung, dan beratap hijuk saat itu dibawa dari Ketol.
Yusradi memperkirakan, Masjid Bebesen dibangun akhir tahun 1700 atau awal 1800.
Bangunannya, sambung Yusradi, seperti masjid di Isaq, Masjid Asal di Penampaan Gayo Lues, Masjid Kebayakan, masjid-masjid tua di pesisir Aceh, juga Masjid Demak.
Mengingat penambahan jamaah, yang tidak hanya berasal dari Bebesen, tetapi juga dari luar Bebesen, tambah Yusradi, kemudian dilakukan pengembangan masjid.
Masjid pengembangan ini, lanjut Yusradi dibakar oknum anggota PKI, tanggal 21 Juli 1965.
Bangunan masjid yang dibakar ini seperti yang dilukis seorang pelukis Gayo, Pak Hasan Keding Karang.
Masih bangunan papan, berbentuk panggung, berpondasi batu, bangunannya lebih besar, ada tiga menara kecil di atasnya. Bagian depannya seperti rumah "bubung lime."
"Setelah dibakar oknum PKI, dipakai Mersah Uken untuk masjid darurat sebagai tempat beribadah sementara.
Lalu, dibentuk panitia pembangunan masjid yang masa kepengurusannya tiga tahun, sampai sekarang.
Nama Masjid Quba diusulkan Tgk Abdurrahman, salah satu ulama kharismatik Aceh Tengah saat itu, asal Kampung Bebesen.
Nama Quba filosofinya berangkat dari hijrah Nabi Muhammad SAW, dari Mekkah ke Madinah,” sebut Yusradi.
Webinar Pusat Kajian Kebudayaan Gayo “Menguak Sejarah Masjid Quba Bebesen” diikuti dua puluhan peserta, terdiri dari peneliti, sejarawan, akademisi, dan tokoh masyarakat, termasuk Reje (Kepala Desa) Bebesen Riduansyah,
Kepala Dinas Pariwisata Bener Meriah Irmansyah, Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Aceh Tengah, dan Direktur Universitas Terbuka Medan Dra. Yusrafiddin, M.Pd.
(*)
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com