Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

TNI

Profil Tim Mawar, Dikomandoi Prabowo Subianto, Eks Anggotanya Tuai Protes Buntut Pencullikan Aktivis

Tim Mawar ini merupakan dalang dari operasi penculikan para aktivis politik pro-demokrasi tahun 1998. Bentukan Prabowo Subianto. Berikut profilnya.

Editor: Frandi Piring
Kumparan
Prabowo dan Anggota Kopassus. Profil Tim Mawar, Bentukan Prabowo Subianto, Eks Anggotanya Tuai Protes Buntut Pencullikan Aktivis. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Mengenal Tim Mawar, sebuah satuan tim kecil yang dibuat oleh kesatuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Grup IV, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, 1998. 

Tim Mawar ini merupakan dalang dari operasi penculikan para aktivis politik pro-demokrasi tahun 1998. 

Ada 14 aktivis yang ditangkap oleh Tim Mawar, tetapi sembilan di antaranya berhasil dipulangkan, sementara terdapat beberapa tawanan lain yang berstatus hilang, salah satunya Wiji Thukul.

Asal Usul

Tim Mawar merupakan tim kecil yang dibuat Kopassus untuk menculik para aktivis 1998. 

Tim Mawar terbentuk karena peristiwa 27 Juli 1996. 

Kala itu, para preman didukung tentara merampas kantor dan menyerang simpatisan yang mendukung Megawati di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. 

Kejadian ini kemudian membuat Danjen Kopassus Mayor Jenderal Prabowo Subianto menugaskan secara khusus kepada Mayor Bambang Kristiono, Komandan Batalyon 42. 

Ia diminta untuk menjabat sebagai Komandan Satgas Merpati. 

Tugas tim ini adalah untuk mengumpulkan data dan informasi tentang kegiatan-kegiatan radikal.

Mayor Bambang kemudian memanggil Kapten Fauzani Syahril Multhazar, Kapten Nugroho Sulistyo Budi, Kapten Yulius Selvanus, dan Kapten Dadang Hendra Yudha untuk menganalisis informasi tersebut dengan membentuk tim khusus pada pertengahan Juli 1947. 

Terdapat tiga tim yang dibentuk, yaitu Tim Mawar, Tim Garda Muda, dan Tim Pendukung. 

Tim Mawar bertugas untuk mendeteksi kelompok radikal, pelaku aksi kerusuhan, dan teror. 

Operasi Penculikan

Pada 18 Januari 1998, terjadi ledakan di Rusun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. 

Kejadian ini membuat Tim Mawar semakin menginsentifkan kinerja mereka. 

Tim Mawar menyusun rencana untuk menangkap sejumlah aktivis yang dicurigai terlibat dalam insiden ledakan bom tersebut. 

Mayor Bambang mendapat sembilan nama dari data intelijen untuk ditangkap oleh Tim Mawar

Mereka adalah:

Desmond J Mahesa
Pius Lustrilanang
Haryanto Taslam
Faisol Riza
Raharja Waluyo Jati
Nezar Patria
Aan Rusdianto
Mugiyanto
Andi Arief

Tim Mawar sudah menyiapkan tempat penyekapan sekaligus markas di Markas Kopassus, Cijatung. 

Target penangkapan pertama mereka adalah Desmond, aktivis dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum Nasional.

Pada 3 Februari 1998, sekitar pukul 09.30 WIB, Kapten Fauzani memerintah Kapten Dadang, Kapten Nugroho, dan Kapten Djaka untuk menangkap Desmond. 

Desmond tertangkap ketika ia pergi ke luar kantor sekitar pukul 12.00 siang. 

Penangkapan dilancarkan saat Desmond tengah turun dari mikrolet yang ia tumpangi.

Setelah tertangkap, Desmond dalam keadaan tangan terikat dan mata dibalut kain hitam dibawa ke markas Kopassus di Cijatung. 

Selama di markas, Desmond banyak menerima siksaan fisik, salah satunya dipukul. Ia juga dibawa ke sel bawah tanah.  

Setelah itu, Kapten Fauzani memerintahkan Kapten Yulius untuk menangkap Aan Rusdianto, aktivis Partai Rakyat Demokratik di Rusun Klender. 

Malam itu, Kapten Yulis menyamar sebagai pak RT. 

Ia mengetuk pintu rumah Aan. Sesaat begitu pintu dibuka, Aan langsung ditangkap dan dibawa ke markas.

Selain Aan, rupanya Nezar juga sedang berada di rumah tersebut. Ia kemudian turut ditangkap. 

Keduanya dibawa ke markas dan tiba sekitar pukul 20.30. 

Kapten Yulis memerintah Kapten Djaka untuk tetap di Rusun Klender, barangkali masih ada orang yang akan datang.

Sayangnya, ketika Kapten Djaka hendak masuk ke unit yang disewa aktivis PRD tersebut, sudah lebih dulu ada petugas Koramil Duren Sawit. 

Mereka menangkap Mugiyanto yang sedang berada di dalam kamar.

Setelah Aan dan Nezar, pada 4 Februari Pius Lustrilanang berhasil diciduk oleh Tim Mawar di depan RS Cipto Mangunkusumo di Salemba, Jakarta Pusat. 

Setelah Pius, disusul Haryanto Taslam yang diculik pada 8 Maret 1998. 

Taslam merupakan salah satu aktivis PDI Pro-Megawati.

Penculikan selanjutnya terjadi pada 12 Maret 1998. Faisol Riza dan Raharja Waluyo Jati tertangkap di RS Cipto Mangunkusumo. 

Usai menulik kedelapan orang tersebut, pada 27 Maret, atas perintah Mayor Bambang, Kapten Fauzani diminta menangkap Andi Arief.

Andi Arief adalah ketua umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi dan Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik.

Andi Arief ditangkap di rumah kakaknya. Ia kemudian dibawa ke markas dan ditahan di sel bawah tanah. 

Aktivis yang Pulang

Tidak hanya berjumlah sembilan orang, ternyata ada sekitar 14 aktivis yang ditahan Tim Mawar di Markas Kopassus Cijantung, salah satunya adalah Wiji Thukul.

Keberadaan Wiji Thukul sampai saat ini juga masih belum diketahui. 

Namun, sembilang orang tersebut berhasil kembali ke rumah mereka masing-masing dengan selamat.

Desmond, Pius, Haryanto, Raharja, dan Faizol Riza yang disekap selama kurang lebih 1,5 - 2 bulan dipulangkan ke kampung halamannya. 

Sedangkan Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Nezar Patria, yang disekap selama tiga hari diserahkan oleh Tim Mawar ke Polda Metro Jaya pada 15 Maret.

Ketiganya baru dibebaskan 5 Juni 1998.

Eks Tim Mawar Mayjen Untung Budiharto Tuai Protes karena Jadi Pangdam Jaya

Sosok Mayjen Untung Budiharto yang kini menjabat sebagai Pangdam Jaya menuai protes.

Mayjen Untung Budiharto adalah seorang perwira tinggi TNI AD yang sejak 4 Januari 2022 mengemban amanat sebagai Panglima Kodam Jaya.

Eks anak buah Prabowo Subianto itu merupakan lulusan Akmil 1988 ini dari kecabangan Infanteri (Kopassus). Jabatan terakhir jenderal bintang dua ini adalah Staf Khusus Panglima TNI.

Mayjen Untung Budiharto diangkat sebagai Pangdam Jaya oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman.

Proses pelantikan dilakukan di Markas Besar TNI, Jakarta pada Senin (10/1/2022).

Naiknya Mayjen Untung Budiharto mendapat protes dari berbagai pihak, terkhusus dari para keluarga korban penghilangan paksa 1997-1998.

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa pun akhirnya dituntut oleh Imparsial, Kontras, dan YLBHI sebagai kuasa hukum dari para korban ke PTUN dan Pengadilan Militer Tinggi (PMT) II Jakarta.

Hal ini dikatakan Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Julius Ibrani, dalam keterangan tertulis, Jumat.

“PTUN dan Pengadilan Militer Tinggi II dipilih sebagai tempat para penggugat mencari keadilan karena tidak ada konstruksi hukum

yang memadai saat ini untuk menguji obyek keputusan Panglima tersebut dalam tenggang waktu 90 hari yang terbatas,” kata Julius Ibrani.

Terlibat penculikan aktivis 1998

Untung Budiharto lahir di Benda, Pangkah, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah pada 1965. Dia adalah lulusan Akademi Militer (Akmil) 1988

dari cabang infentari dan memulai karier militer melalui Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Dalam perjalanannya, nama Untung juga tercatat masuk dalam daftar eks Tim Mawar bentukan Prabowo Subianto,

tim kecil yang dibuat oleh kesatuan Kopassus Grup IV TNI AD pada 1998.

Diketahui, Tim Mawar merupakan dalang dari operasi penculikan para aktivis politik pro-demokrasi. Saat itu, Untung beberapa kali menempati jabatan strategis.

Dalam Putusan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta no. PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999, 11 anggota Tim Mawar divonis pecat dan penjara, termasuk Untung.

Saat itu dia berpangkat kapten infanteri dan divonis 20 bulan penjara dan dipecat, seperti dikutip dari salinan kronik dari Kontras.org.

Namun mereka banding dan Untung hanya dikenakan sanksi penjara 2 tahun 6 bulan tanpa pemecatan.

Artikel ini tayang di Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved