Sejarah
Semangat Bushido Tentara Jepang Dalam Bait Puisi Pada Monumen di Kota Bitung
Bak tawon marah, pesawat-pesawat tersebut menggempur pertahanan tentara Jepang di pulau tersebut.
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Syahdan, suatu pagi di pertengahan tahun 1945, langit-langit sebuah pulau di Pasific dipenuhi ratusan pesawat tempur Sekutu.
Bak tawon marah, pesawat-pesawat tersebut menggempur pertahanan tentara Jepang di pulau tersebut.
Pengkalan angkatan laut, tangsi hingga rumah pembesar tentara Jepang luluh lantak dihantam bom serta senapan mesin.
Di penghujung maut, tentara Jepang menunjukkan semangat Bushido (Semangat Samurai).
Mereka bertarung dengan gagah meski dengan senjata seadanya - Jepang kala itu sudah terdesak oleh Sekutu.
Ada prajurit yang keluar dari tempat persembunyian, mengacungkan sebilah Samurai ke arah pesawat yang terbang rendah sambil berteriak dengan suara parau.
Baginya dan semua tentara Jepang yang gugur kala itu, maut tak ada artinya demi sebuah kehormatan.
Semangat Bushido tentara Jepang itu tertulis dalam bait-bait puisi di atas sebuah batu pada monumen tentara Jepang di Kelurahan Manembo-Nembo Bitung Provinsi Sulawesi Utara.
Monumen itu didirikan oleh para tentara Jepang veteran perang dunia 2 pada tahun 1987, bekerja sama dengan Gubernur Sulut kala itu.
Tujuannya mengenang kepahlawanan tentara Jepang serta mempererat hubungan negara Indonesia dan Jepang.
Pejuang Bushido berjuang tanpa pamrih, gugur dalam sunyi, mencari keindahan dalam pengorbanan.
Semua tercermin dari letak monumen di tempat terpencil, di atas bukit itu, dengan pemandangan selat lembeh serta gunung dua sudara.
Monumen itu terdiri dari sebuah batu bertuliskan huruf kanji.
Batu itu ditopang oleh sebuah tembok.
Ada undakan di sekeliling batu serta pembatas rantai.
Sisi kanan monumen terdapat sebuah tiang bendera ala pelaut dengan bagian atas berbentuk salib.
Hinomaru pernah berkibar di sana, juga pernah terdengar Kimiyago, bendera dan lagu kebangsaan Jepang ; dua hal yang diperjuangkan mati - matian oleh para serdadu jepang yang sebagian besar terkubur di laut bersama kapal perang mereka yang pernah menggegerkan dunia.
Sebagai objek wisata, tempat itu sangat indah.
Dari atasnya nampak pemandangan selat lembeh dengan kapal serta perahu di atasnya serta gunung dua sudara yang hijau dan berselimut kabut di musim hujan.
Aneka bunga disekeliling tangga menuju monumen membawakan sensasi Jepang.
Seolah itu bunga sakura yang tumbuh liar di perjalanan menuju gunung suci, gunung Fuji di mana jiwa-jiwa yang baka bersemayam.
Pada jarak sekitar beberapa kilo dari sana, terdapat sebuah pantai.
Oleh masyarakat, pantai tersebut dinamakan pantai mayat.
Konon hal itu karena di sanalah mayat tentara Jepang korban pemboman sekutu ditemukan.
Seorang penjaga monumen menuturkan, monumen itu jadi primadona wisatawan asal Jepang.
"Setiap bulan selalu ada saja yang datang," ujar dia.
Sebut dia, haru muncul kala yang berkunjung adalah anak cucu dari tentara Jepang di perang dunia dua.
Meski letaknya memencil namun tak sulit menuju monumen itu.
Dari pasar Girian sekira sepuluh menit. Boleh menggunakan angkot, taksi, atau ojek.
Jalan masuk menuju ke sana dipasangi papan petunjuk.
Ya, Akhir kekuasaan Jepang di Indonesia bisa terlacak di Kota Cakalang ini.
Selain monumen, ada pula reruntuhan kapal perang Jepang di Kelurahan Mawali Kecamatan Lembeh.
Kapal tersebut merupakan satu-satunya peninggalan Kapal Perang Jepang dalam Perang Dunia II di Sulut.
Bangkai kapal itu masih utuh.
Sebenarnya ada beberapa bangkai kapal jepang lagi di sejumlah wilayah di Bitung. Tapi sudah tidak utuh lagi.
Kapal tersebut disebut merupakan produk nomor satu.
Hal itu nampak dari besi kapal yang sangat kokoh.
Sayang hal ini disalahgunakan sejumlah oknum yang mencuri besi itu.
Berbagai mitos menyelimuti kapal perang itu.
Ada yang menyebut di sana terdapat harta karun. Hal itu tak pernah terbukti.
Mitos itu malah membuat kapal itu semakin diminati.
Peninggalan Jepang lainnya di Pulau Lembeh adalah Aerprang.
Dulunya, air itu dipakai tentara Jepang untuk minum.
Sebelum berperang di front Leyte Filipina, sejumlah kapal perang singgah di sana untuk mengisi persediaan air.
Untuk itu dibangunlah dermaga. Dermaga itu masih ada hingga kini.
Begitupun sebuah bangunan yang jadi tempat penyimpanan air.
Air di sana bersumber dari tiga mata air. Hingga kini warga masih mengonsumsi air itu.
Aerprang kini jadi salah satu objek wisata andalan.
Di sekelilingnya terdapat "harta karun" yakni sejumlah spot diving yang konon lebih indah dari Bunaken serta ikan yang hanya ada di tempat itu.
Di Kelurahan Aertembaga Dua, terdapat sebuah kuburan Jepang.
Kuburan tersebut milik keluarga Okinawa.
Menurut tokoh masyarakat setempat Mayer Kawoleng, kuburan itu berisi jenazah 30 keluarga Okinawa.
"Ada 16 jenazah dari kuburan di Manado serta 14 dari pekuburan di Bitung yang dipindahkan kemari," kata dia.
Ada yang unik dengan keluarga Okinawa ini.
Sebut dia, keluarga Okinawa telah bermukim di Sulut sebelum perang dunia 2 meletus.
"Mereka bekerja sebagai nelayan, pengusaha dan tersebar di Manado serta di Bitung," ujar dia.
Medio 2014, puluhan taruna Angkatan Laut Jepang tersebut berbaris di monumen Jepang itu.
Usai mengikuti latihan di JS Kashima Japan Maritime Self Defence Force, mereka langsung singgah ziarah di monumen itu.
Untuk menghayati semangat bushido para nenek moyang mereka.
Bertubuh tegap, berambut cepak, mereka membusungkan dada mendengar taklimat mengenai senjakala Jepang di Bitung. (art)
• Pembangunan Jembatan dan Oprit Boulevard II Kota Manado
• Gempa Guncang Jawa Barat Selasa 22 Maret 2022 Malam, Baru Tadi Guncang Darat, Info BMKG Magnitudonya
• Gempa Guncang Jawa Barat Selasa 22 Maret 2022, Baru Saja Terjadi di Darat, Berikut Info BMKG