Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Human Interest Story

Nestapa Warga Tanpa Negara di Bitung, 'Hidup Kami Jauh Lebih Baik di Sini’

Bitung adalah surga perikanan di Indonesia. Tak heran, kota ini bak magnet bagi sejumlah warga Filipina yang akhirnya bermukim dan menjadi stateless

Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Finneke Wolajan
Tribun Manado/Finneke Wolajan
Richard Calumba (39) warga asal Filipina yang kini berstatus stateless dan tinggal di Kota Bitung. Ia bersama istrinya Marma Tilome (42) di teras rumah mereka di Kelurahan Manembo-nembo, Desember 2021 lalu 

TRIBUNMANADO.CO.ID – Siang yang tenang berubah menegangkan ketika sebuah kapal berukuran lebih besar mendekati kapal yang dinahkodai Richard Calumba, 39 tahun. Kala itu, sepuluh tahun lalu, Richard dan sembilan anak buah kapal lainnya tengah melaut di perairan Sulawesi Utara, Indonesia, dekat dengan Filipina.

Richard dan kawan-kawan segera menyadari kapal tersebut milik TNI Angkatan Laut yang tengah berpatroli. Tapi, mereka hanya pasrah, tak bisa berbuat apa-apa, ketika kapalnya ditarik oleh kapal patroli ke Pelabuhan Bitung, berjam-jam dari tempat ia ditangkap.

Dari pelabuhan, Richard dan teman-teman digelandang ke markas TNI AL di Bitung. Mereka terkurung di dalam kompleks tentara itu selama tiga bulan. "Selama ditahan, saya kerjanya bersih-bersih kantor," kata Richard, ketika menceritakan kembali pengalamannya kepada tribunmanado.co.id, di teras rumahnya, di pesisir pantai Kelurahan Manembo-nembo, Kota Bitung, Desember 2021 lalu.

Richard Calumba (39) warga asal Filipina yang kini berstatus stateless dan tinggal di Kota Bitung. Foto diambil Desember 2021 lalu
Richard Calumba (39) warga asal Filipina yang kini berstatus stateless dan tinggal di Kota Bitung. Foto diambil Desember 2021 lalu (Tribun Manado/Finneke Wolajan)

Setelah keluar markas tentara, Richard mencari pemukiman bersama warga Filipina lainnya, sambil memikirkan bagaimana nasib selanjutnya. "Untuk bertahan hidup ya kami melaut, pakai kapal yang kecil-kecil," ujarnya.

Empat tahun lamanya hidup Richard tak menentu. Pulang kampung dia tak bisa, tinggal di Bitung pun tak jelas statusnya. Richard akhirnya bertemu Marma Tilome (42) yang kini menjadi istri dan ibu dari dua anaknya. "Ini pernikahan saya yang kedua, yang pertama di Filipina sudah cerai," ujarnya. Sejak menikah lagi, Richard menetapkan hati untuk tinggal di Indonesia bersama keluarga kecilnya.

Menjelang siang yang mendung, sambil bertelanjang dada, Richard sibuk mengutak-atik serangkaian kawat. Ia sedang membuat umpan ikan suntung sebelum kembali melaut. Ketika matahari berada tepat di atas kepala, sudah lima buah umpan suntung yang dia buat. "Ini kalau beli di toko mahal sekali, lebih baik buat sendiri," katanya sambil menunjukkan umpan yang telah jadi.

Trauma dengan Petugas

Kucing-kucingan dengan petugas imigrasi hingga pernah ditangkap, memberi rasa trauma mendalam pada Masita Makidatu (57). Hingga kini ia masih takut bertemu orang dari  luar di lingkungannya. Padahal Masita sudah berstatus WNI dan mendapat KTP pada tahun 2019 lalu. 

"Ibu ini masih trauma dengan petugas imigrasi, karena dulu lari-larian dan pernah ditangkap," ujar Richard Calumba menjelaskan tingkah tetangganya ini. Masita tetiba turun dari mobil, tepat di depan rumah Richard siang itu. Masita membawa barang belanjaan alat-alat rumah tangga.

Masita tampak kaget ketika dia dihampiri, bibirnya terasa berat untuk bicara. Namun akhirnya dia memberanikan diri untuk bicara. Sudah sepuluh tahun tinggal di Bitung, namun dirinya masih kaku berbahasa Indonesia, dialeg Manado. Cara bicaranya terbata-bata, dan sesekali harus dibantu Richard untuk menerjemahkannya.

Masita bercerita, ia menyusul suaminya yang telah lima tahun lebih dulu tinggal di Bitung. Masita datang bersama tiga anaknya. Mereka naik perahu dari Mindanau Selatan ke Kepulauan Sangihe dengan biaya Rp 1 juta per orang. Dari Sangihe, mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Bitung menggunakan kapal lokal antar pulau dalam provinsi Sulawesi Utara.

Tak mudah bagi Masita harus tinggal sebagai warga tanpa kewarganegaraan. Namun setelah lama berjuang, Masita dan keluarga akhirnya mendapat Kewarganegaraan Indonesia pada tahun 2019 lalu.

Masita Makidatu (57) dulu warga Filipina, sempat jadi stateless. Kini telah menjadi WNI dan tinggal di Bitung
Masita Makidatu (57) dulu warga Filipina, sempat jadi stateless. Kini telah menjadi WNI dan tinggal di Bitung (Tribun Manado/Finneke Wolajan)

Memegang status sebagai WNI, Masita dan suaminya harus mengurus semua dokumen keluarga mereka hingga akte nikah. Masita dan suaminya akhirnya harus dua kali menikah, pertama di Filipina yang kedua menikah di Indonesia. "Saya dan suami dua kali menikah," ujar wanita berkacamata ini, lalu tertawa. Masita pamit, karena pekerjaan rumah yang menantinya siang itu.

Sulitnya Tak Punya Identitas

Semakin siang, langit masih mendung. Suara ombak di bibir pantai makin terdengar, angin kala itu makin berhembus. Istri Richard tiba-tiba keluar dari dalam rumah lalu duduk di teras menemani sang suami. Marma Tilome menggendong bayinya yang masih merah, baru berusia dua bulan. Anak bungsu buah cintanya dengan Richard. Si sulung sudah berusia empat tahun.

Tak mudah bagi Richard menjadi seorang stateless, hal ini pun berdampak pada istri dan anaknya. Ruang geraknya sangat terbatas, tak bisa bekerja lebih. Ia bahkan tak bisa mendapat vaksin Covid-19 karena belum punya kartu identitas kewarganegaraan.

Status Richard kini adalah seorang pemukim tanpa identitas kewarganegaraan atau disebut stateless. Dirinya tak memiliki dokumen kewarganegaraan Filipina, pun dengan Indonesia. Namun syukurnya, Richard telah memiliki izin tinggal di Indonesia.

Sembari menunggu surat keputusan pemerintah mengenai Kewarganegaraan Indonesia. Sudah sejak 2016 ia mengajukan status kewarganegaraan, namun hingga kini ia belum mendapatkan surat keputusan naturalisasi dari Kementerian Hukum dan HAM RI.

"Kami sudah bolak-balik ke kantor di Manado, tapi belum ada kejelasan. Katanya sebenarnya sudah akan keluar, tapi karena Covid-19, makanya tertunda," ujar istri Marma Tilome, sang istri.

Keluarga ini belum punya surat-surat nikah, pun dengan anak sulung mereka yang terpaksa membuat akte kelahiran dengan keterangan anak seorang ibu. Richard merasa kasihan pada anak-anaknya, jika status kewarganegaraannya masih akan gantung, berlarut-larut.

Richard Calumba (39) warga asal Filipina yang kini berstatus stateless dan tinggal di Kota Bitung. Ia bersama istrinya Marma Tilome (42) di teras rumah mereka di Kelurahan Manembo-nembo, Desember 2021 lalu
Richard Calumba (39) warga asal Filipina yang kini berstatus stateless dan tinggal di Kota Bitung. Ia bersama istrinya Marma Tilome (42) di teras rumah mereka di Kelurahan Manembo-nembo, Desember 2021 lalu (Tribun Manado/Finneke Wolajan)

Richard dan keluarganya harus bertahan dengan ekonomi pas-pasan. Sang istri tak punya pekerjaan, hanya bergantung pada penghasilan Richard sebagai nelayan. Nelayan dengan perahu kecil, sehari rata-rata bisa Rp 100 ribu, atau bahkan nihil. Kalau lagi beruntung, bisa Rp 300 ia dapat dalam sehari.

Sebenarnya Richard bisa mendapat penghasilan lebih, jika ia bekerja di kapal besar penangkap tuna. Namun apa daya, ia tak punya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena kalau kerja di perusahaan, harus ada identitas. "Susah karena anak sudah dua. Kalau kapal kecil, melaut hari itu ya untuk makan hari itu. Kalau ikut kapal Tuna, pendapatannya bisa jauh lebih banyak," ujarnya.

Richard juga tak bisa ke mana-mana. Ia hanya berdiam di rumahnya yang berlokasi di pesisir pantai. Paling jauh ia keluarga hanya ke Gorontalo, pulang ke kampung istrinya. "Waktu pulang itu sebelum Covid, yang belum pakai surat keterangan perjalanan," ujarnya sang istri, Richard Calumba.

Kehidupan Jauh Lebih Baik

Sesulit-sulitnya hidup sebagai stateless, Bitung tetap menjadi tempat yang jauh lebih baik bagi mereka untuk hidup. Kota Bitung adalah surga perikanan di Indonesia. Dijuluki Kota Cakalang, ikan di laut Bitung melimpah.

Bitung dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi besar menjadi pusat perikanan dunia. Dominasi ikan yang didaratkan di Bitung adalah tuna yang merupakan komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi. Tak heran, Bitung bak magnet bagi sejumlah warga Filipina.

 "Hidup kami jauh lebih baik di sini. Sekarang salah sendiri kalau tak makan, kalau rajin pasti ada ikan," kata Caesar Adam (42), warga Filipina yang kini stateless dan sudah 20 tahun tinggal di Bitung, namun masih menunggu surat keputusan status kenegaraan.

Caesar Adam (42), warga Filipina yang kini stateless dan sudah 20 tahun tinggal di Bitung, namun masih menunggu surat keputusan status kewarganegaraan
Caesar Adam (42), warga Filipina yang kini stateless dan sudah 20 tahun tinggal di Bitung, namun masih menunggu surat keputusan status kewarganegaraan (Tribun Manado/Finneke Wolajan)

Waktu tinggal Filipina, Caesar mengaku mengalami masalah ekonomi. Hasil laut sering tak bersahabat dengan mereka. Para nelayan harus melaut jauh, hanya dengan perahu kecil seadanya. Hasilnya pun tak tentu, bahkan bisa tak ada sama sekali.

"Jauh sekali tempat cari ikannya, berjam-jam ke arah laut tak ada ikan sama sekali. Kalau ada pun, hasilnya sedikit," ujarnya sembari mengecat perahu yang baru ia beli.

Di Bitung, menurut Caesar, di pinggir pantai pun ada ikan yang bisa dimakan. Melaut satu hingga dua jam, sudah banyak ikan yang didapat. "Di Filipina itu kami susah, karena hasil ikan sangat sedikit. Di sini kaya ikannya, kehidupan kami jadi lebih baik," ujarnya.

Perahu warga stateless asal Filipina di Kelurahan Manembo-nembo Kota Bitung
Perahu warga stateless asal Filipina di Kelurahan Manembo-nembo Kota Bitung (Tribun Manado/Finneke Wolajan)

Laut memang menjadi tempat nelayan Filipina ini menggantungkan hidup mereka. Richard Calumba pun menganggap hidup di Bitung jauh lebih baik dari Filipina. Ikan mudah didapat, warga sekitar pun baik.

Akses untuk mendapatkan kebutuhan mereka juga mudah. "Ikan di sini banyak, kemudian dekat kota. Jadi kalau kebutuhan sangat mudah ditemui. Pokoknya di sini enak," ujarnya.

Ikan yang melimpah dan kehidupan yang lebih enak membuat mereka enggan untuk kembali ke Filipina. Seperti pemukiman Richard Calumba yang bertetangga dengan Masita Makidatu dan Caesar Adam yang tinggal di pesisir pantai di Kelurahan Manembo-nembo, Kota Bitung.

Di pemukiman mereka ada 14 kepala keluarga yang tinggal, yang semua kepala keluarga berasal dari Filipina. Para lelaki ini mengikuti agama istri mereka, ada yang muslim ada yang protestan. Agama asal mereka di Filipina adalah Katolik.

Pemukiman warga stateless asal Filipina di Kelurahan Manembo-nembo Kota Bitung
Pemukiman warga stateless asal Filipina di Kelurahan Manembo-nembo Kota Bitung (Tribun Manado/Finneke Wolajan)

Di kampung Filipina ini lengkap dengan warung tempat warga belanja kebutuhan sehari-hari. Rumah yang mereka tinggali rata-rata berdinding tripleks dan berukuran kecil.

Sebuah pohon mangga raksasa, menjadi tempat bersantai para warga, terutama ibu-ibu yang menjaga anak-anak mereka bermain. Ada peliharaan anjing yang berkeliaran sana sini. Tepat di bibir pantai, ada ada gazebo tempat warga bersantai. Bersebelahan dengan kapal-kapal para nelayan.

Masalah Kemanusiaan Adalah yang Utama

Data di Dinas Kependudukan dan Pecatatan Sipil Bitung dan Kantor Imigrasi Bitung, saat ini ada 1.479 warga stateless di Bitung. Mereka tersebar di sejumlah pesisir di Kota Bitung. Proses pemberian kewarganegaraan telah berlangsung sejak tahun 2016 yakni ada 54 orang yang mendapat surat keputusan naturalisasi, tahun 2018 ada 277 orang serta tahun 2019 ada 156 orang yang masih berproses di Kemenkumham. Namun sepanjang 2017 ada 86 warga Filipina yang dipulangkan ke negaranya karena terlibat kasus pencurian ikan dan pemalsuan dokumen.

Wali Kota Bitung Maurits Mantiri mengatakan warga pemukim tanpa identitas kewarganegaraan yang kemudian dikategorikan sebagai stateless person di Kota Bitung mulai teridentifikasi pada saat verifikasi dan validasi ulang data terkait sengketa pilkada tahun 2005.

Ia mengungkap ini dalam seminar nasional Universitas Dipenogoro bekerja sama dengan UNHCR yang bertajuk Understanding Statelessness Situation in Indonesia through Baseline Survey Project in 2021, yang berlangsung secara daring pada 21 Desember 2021.

Ia mengatakan DPRD Kota Bitung pun menginisiasi dan memfasilitasi pendataan warga tanpa identitas sejak tahun 2010 dan ditindak lanjuti pada tahun 2015. Data biometric yang diambil Polres Bitung saat itu terdata ada 1.492 jiwa pemukim tanpa dokumen kewarganegaraan (stateless) yang beretnis Filipina Sangir di Kota Bitung

Pada umumnya warga tanpa identitas dan stateless di bitung merupakan etnis Sangir Filipina. Rata-rata sudah bermukim di Bitung selama lebih dari 15 tahun. Sebagian besar bekerja pada perusahaan/kapal perikanan tangkap di Kota Bitung, karena umumnya mereka adalah nelayan.

Maurits Mantiri mengungkap upaya Pemerintah Kota Bitung dalam menangani permasalahan stateless ini di antaranya melakukan pendataan di masing-masing wilayah kecamatan dan kelurahan. Pendataan ini dilakukan oleh lintas terkain yakni Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pariwisata dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik. "Ada koordinasi dan kerja sama tim pengawasan orang asing (Timpora)," ujarnya.

Wali Kota Bitung Maurits Mantiri
Wali Kota Bitung Maurits Mantiri (Ist/Dokumentasi Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setda Kota Bitung)

Selain itu, Pemerintah Kota Bitung juga terus melakukan sosialisasi dan bantuan hukum dengan melibatkan akademisi dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Utara. Juga pertukaran informasi dengan Konsulat Jenderal Filipinan di Manado.

Menurutnya, kondisi saat ini tinggal 24 orang dari jumlah 277 stateless berdasarkan SK tahun 2018 yang belum mengambil SK tersebut, sehingga proses pengurusan NIK, dokumen kependudukan KK dan KTP serta akte kelahiran belum dapat dilakukan.

Tak hanya stateless, pemerintah kini tengah serius menangani isu perdagangan manusia atau human trafficking. "Misalnya ada sepuluh orang Filipina dipekerjakan di Bitung. Operasional menangkap ikan ikan dibiayai, tapi mereka tak terima gaji," ujarnya.

Ia menegaskan, masalah kemanusiaan tetap menjadi hal utama. Maurits berharap para stateless di Bitung yang adalah nelayan ulung bisa meningkatkan perekonomian keluarga mereka. "Kami sadar ada banyak juga orang Indonesia yang ada di Filipina sebagai pekerja

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada 2018 lalu saat Penyerahan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI tentang Penegasan Status Kewarganegaraan RI kepada 277 Pemukim Tanpa Dokumen di Kota Bitung, dikutip dari laman kemenkumham.go.id, menyatakan permasalahan kewarganegaraan menang berada di wilayah perbatasan sensitif. Seperti di Sulawesi Utara, khususnya orang-orang Sangir Filipina yang bermukim di Kota Bitung, Kepulauan Sangihe, dan sekitarnya.

Mereka datang ke wilayah Indonesia dengan tujuan memperbaiki kehidupannya dengan bekerja sebagai nelayan di Kota Bitung dan Kabupaten Sangihe yang merupakan salah satu kota pelabuhan terbesar di Indonesia Timur dan menjadi pilihan utama warga pelintas batas Indonesia dan Filipina.

Ia menyebut, konstitusi menganut prinsip pemberian perlindungan maksimal bagi segenap bangsa antara lain melalui Pasal 28D ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

Yasonna juga menambahkan Konstitusi Negara Indonesia telah sejalan dengan Universal Declaration of Human Rights, yang menyatakan hak atas status kewarganegaraan sebagai hak asasi manusia bagi semua orang, dan harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi.

Baik Richard Calumba dan warga stateless lainnya, berharap bisa segera menjadi WNI agar kehidupan mereka lebih baik. Dengan adanya identitas, mereka bisa meningkatkan perekonomian keluarga mereka. “Kalau ada KTP bisa ikut kapal-kapal tuna yang besar, pendapatannya lebih banyak. Anak-anak saya juga sudah bisa hidup seperti anak-anak Indonesia pada umumnya,” kata Richard. (tribunmanado.co.id/finneke wolajan)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved