Cina Ganggu Pengeboran Minyak dan Gas Indonesia di Natuna, Ini yang Terjadi Kemudian

Pakar hukum laut internasional dari Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, menilai nota diplomatik tadi kian menunjukkan sikap asertif Cina atas klaim teritorial Laut Cina Selatan di Natuna.

Kendati demikian pemerintah Indonesia, katanya, tidak perlu bersiap reaktif apalagi bernegosiasi atau mengajukan persoalan sengketa ini ke pengadilan internasional.

Langkah reaktif, kata Arie, akan dianggap bahwa Indonesia mengakui klaim Cina.

"Indonesia tidak perlu takut, karena Indonesia sudah berpegang pada koridor hukum internasional yang diakui banyak negara. Jadi Indonesia sudah berada dalam jalur yang betul berdasarkan UNLCOS," jelas Arie dikutip dari BBC Indonesia.

Suara senada juga diutarakan pengamat hubungan internasional, Aisha Kusumasomantri.

Baginya, jika pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan Cina justru hanya akan menaikkan eskalasi konflik.

Kemudian, meskipun Cina merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi, tapi menurut Aisha hal itu tidak akan membuat posisi Indonesia timpang.

Ia menilai secara diplomatik Indonesia dan Cina memiliki kemitraan strategis.

"Dalam perdagangan, Cina bisa saja mengekspor bauksit dari Afrika, tapi selama ini Cina pilih Indonesia karena pertimbangan Indonesia memiliki kekuatan di ASEAN. Makanya Cina berusaha tetap mempertahankan hubungan ekonominya."

"Indonesia pun sadar mengakui Cina merupakan great power yang sedang rising dan Indonesia bisa mendapat keuntungan ekonomi di bidang perdagangan."

Arie dan Aisha lalu menyarankan, Pemerintah Indonesia harus bersiap dengan kondisi tak terduga dalam konflik Natuna dengan mengerahkan kekuatan keamanan laut. (*)

Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Konflik di Laut Natuna Memanas Lagi, Cina Tuntut Indonesia Setop Pengeboran Migas, Ini Kronologinya