Berita Nasional
MAKI Tuding Terdakwa Korupsi Lahan Ibu Kota Pernah Bertemu Ahok: Ada Memo Disposisi Terungkap
Boyamin mengaku bahwa, dalam kasus lahan Cengkerang nama Rudy Hartono juga tercantum dalam perjanjian jual beli tanah.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Terdakwa kasus korupsi pengadaan lahan tanah di Munjul, yakni pemilik PT Adonara Propertindo Rudy Hartono Iskandar merupakan sosok pelaku korupsi tanah di era pimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Hal tersebut dijelaskan oleh Koordinator MAKI Boyamin Saiman.
"Jejak pertama kali yang saya dapatkan Rudy Hartono Iskandar itu justru pada saat ada copy sertifikat yang itu ada memo disposisi dari Ahok yang mengatakan untuk memerintah anak buahnya mengkaji untuk dibeli," ungkap Boyamin dalam keterangan tertulis pada Selasa (19/10/2021).
"Artinya dari dokumen itu patut di kontruksikan bahwa Rudy Hartono Iskandar ini pernah menemui Ahok menyodorkan fotocopy sertifikat dan fotocopy sertifikat yang sama itu dijadikan Ahok diberikan catatan dan diberikan kepada anak buahnya," jelasnya.
Boyamin mengaku bahwa, dalam kasus lahan Cengkerang nama Rudy Hartono juga tercantum dalam perjanjian jual beli tanah.
"Dalam dokumen perjanjiannya itu jual beli bahkan mengajukan yang permohonan ganti rugi kepada pemkot DKI ditandatangani oleh Rudy Hartono Iskandar," ungkap Boyamin.
"Nah sementara tanahnya milik ibu Titi Noeziar Soekarno, tapi Rudy Hartono Iskandar itu posisinya kuasa dari Ibu Tuti ngurus ganti rugi segala macam, tapi justru Rudy Hartono Iskandar itu pada posisi yang menerima uang dari ganti rugi yang tanah di Cengkareng Barat yang senilai Rp 600 miliar kalau tidak salah," paparnya.
Boyamin menegaskan, hal menjadi gambaran bahwa Rudy Hartono Iskandar mengurusi lahan di Cengkareng dan Munjul.
"Nah ternyata ketahuan bahwa segala hal yang masuk ke PT Adonara itu kan yang sebenarnya yang dikendalikan Rudy Hartono Iskandar yang sudah sekarang sudah ditetapkan tersangka oleh KPK juga. Itu bisa memberikan gambaran bahwa Rudy Hartono Iskandar itu mengurusi lahan yang di Cengkareng Barat dan juga melalui istrinya mengurusi lahan di Munjul," tandas Boyamin.
Semakin menguatnya nama Rudy dalam kasus korupsi pengadaan lahan di Munjul terkuak dalam sidang perdana Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (14/10/2021).
Dalam surat dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa KPK Takdir Suhan bahwa Yoory bersama direktur PT Adonara, Anja Runtuwene, Tommy Adrian dan Rudy Hartono telah merugikan negara Rp 152 miliar terkait pembelian lahan di Munjul, Jakarta Timur.
Jaksa mengatakan, program ini tidak sesuai dengan peraturan Pemda untuk digunakan sebagai lahan program Rumah DP 0 Rupiah.
"Terdakwa Yoory Corneles bersama-sama Anja Runtuwene, Tommy Adrian, Rudy Hartono Iskandar, dan korporasi PT Adonara Propertindo telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yaitu Anja Runtuwene dan Rudy Hartono Iskandar selaku pemilik (beneficial owner) korporasi PT Adonara Propertindo sebesar Rp 152.565.440.000 yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 152.565.440.000," ungkap Jaksa KPK Takdir Suhan.
Dalam perkara ini, Yoory Pinontoan melakukan kesepakatan dengan Anja berkaitan dengan pembelian lahan di daerah Munjul, Pondok Rangon, Cipayung, Jakarta Timur, pada 8 April 2019. Yorry disebut sebagai pihak pembeli. Sedangkan Anja merupakan pihak penjual tanah.
Setelah dilakukan kesepakatan, terjadi pembayaran awal sebesar 50 persen atau sejumlah Rp108,9 miliar ke rekening bank milik Anja Runtunewe pada Bank DKI. Selang beberapa waktu kemudian, atas perintah Yoory, dilakukan pembayaran oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya kepada Anja Runtunewe sebesar Rp43,5 miliar.
Nama Anies Disebut Dalam Surat Dakwaan
Sidang kasus dugaan korupsi pada pengadaan lahan di Munjul, Jakarta Timur bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan disebut dalam surat dakwaan eks Direktur Utama Perumda Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (14/10/2021).
Anies disebutkan memberikan restu penyertaan modal daerah (PMD) untuk Sarana Jaya sebesar Rp1,8 triliun untuk pembelian alat produksi baru, proyek hunian DP 0 rupiah, dan pembangunan Sentra Primer Tanah Abang.
"Bahwa terdakwa pada 2018 mengajukan usulan penyertaan modal kepada Gubernur DKI untuk ditampung atau dianggarkan pada APBD Pemprov DKI Jakarta Tahun Anggaran 2019 sebesar Rp1.803.750.000.000," kata jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Takdir Suhan membacakan surat dakwaan.
Dengan persetujuan dari Anies itu, pada November 2018, Yoory menyampaikan kepada Direktur PT Adonara Propertindo Tommy Adrian bahwa Sarana Jaya akan memperoleh PMD yang digunakan dalam rangka pembelian tanah untuk melaksanakan program rumah DP 0 rupiah.
"Yang rencana berlokasi di wilayah Jakarta Timur dengan syarat luas di atas 2 hektar, posisi di jalan besar, lebar muka bidang tanah 25 meter, dan minimal row jalan sekitar 12 meter," kata dia.
Jaksa menyatakan PT Adonara Propertindo merupakan perusahaan properti yang biasa membeli tanah dari masyarakat untuk dijual lagi kepada Sarana Jaya.
Singkatnya, PT Adonara Propertindo menemukan tanah yang berlokasi di daerah Munjul, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur dengan luas 41.921m2.
Tanah itu dimiliki Kongregasi Suster-Suster Carolus Boromeus (Kongregasi Suster CB).
Sebelum proses transaksi terjadi, PT Adonara Propertindo juga menyiapkan kelengkapan administrasi karena akan dilakukan pembayaran, seperti proses negosiasi yang bersifat formalitas.
Namun, saat itu belum dilakukan penilaian oleh appraisal, maupun survei lokasi tanah.
Selanjutnya pada saat dilakukan survei, tidak dapat diketahui batas-batas tanah karena belum ada data atau dokumen pendukung kepemilikan yang diberikan pihak PT Adonara Propertindo kepada Sarana Jaya.
Selain itu, kata Jaksa, diketahui lokasi tanah berada di jalan kecil atau row jalan tidak sampai 12 meter.
Namun, Yoory tetap memerintahkan agar dilanjutkan proses pembelian.
"Hal ini melanggar ketentuan Pasal 91 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 mengenai operasional BUMD harus berdasarkan standar operasional prosedur," kata dia.
Jaksa melanjutkan untuk membayar pembelian tanah tersebut, Yoory berencana menggunakan dana PMD yang telah dianggarkan pada APBD Pemprov DKI Jakarta Tahun Anggaran 2019.
Yoory pun mengirim surat kepada Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Pemprov DKI perihal permohonan pencairan pemenuhan PMD sebesar Rp500 miliar.
BPKD Pemprov DKI Jakarta membalas dengan surat yang pada intinya hanya bisa mencairkan sebesar Rp350 miliar.
"Meskipun permohonan PMD tersebut belum dicairkan oleh BPKD Pemprov DKI Jakarta, akan tetapi terdakwa tetap memerintahkan dilakukan proses pembayaran atas tanah Munjul," kata dia.
Jaksa melanjutkan pada 10 Desember 2019, Sarana Jaya menerima pencairan PMD dari Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp350 miliar.
Dan pada 18 Desember 2019, Sarana Jaya kembali menerima pencairan PMD tahap kedua sebesar Rp450 miliar.
Dengan begitu, total Sarana Jaya mendapat PMD sebesar Rp800 miliar.
"PMD tersebut diberikan berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 1684 tahun 2019 pada 9 Desember 2019 tentang Pencairan Penyertaan Modal Daerah Pada Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya Tahun Anggaran 2019, yang salah satu peruntukannya adalah untuk proyek Hunian DP 0 Rupiah," kata dia.
Ketua DPRD singgung petinggi Partai Gelora
Pada kesempatan sebelumnya, secara terpisah Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi menyebut nama Tri Wicaksana alias Sani dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur pada 2019 lalu.
Edi mengatakan hal tersebut lantaran banyak pihak yang terlibat dalam pembelian tanah di Cipayung untuk pembangunan hunian DP 0 Rupiah.
Satu di antaranya adalah Sani yang saat itu memimpin rapat Badan Anggaran sekaligus Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PKS.
Sani diketahui saat ini menjadi Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Gelora DKI Jakarta.
“Karena pada saat itu pelaksana badan anggarannya itu bukan saya, pak Tri Wicaksana, karena kolektif kolegial,” kata Prasetio.
“Saat itu ada defisit anggaran sebesar Rp 1,8 triliun, saya sisir sampai surplus Rp 1 triliun, gitu lho,” lanjutnya.
Sebelumnya, Prasetio keluar dari Gedung Merah Putih KPK sekira pukul 13.33 WIB atau kurang lebih hampir tiga jam setengah berada di dalam.
Prasetio mengaku dicecar soal mekanisme penganggaran terkait pengadaan lahan di Munjul, Kelurahan Pondok Rangon, Kecamatan Cipayung Jakarta Timur yang diduga berujung korupsi.
“Sedikitlah, 6 atau 7 pertanyaan. (Soal) Penganggaran dari rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), ke rencana kerja pemerintah daerah (RKPD), itu aja,” ujarnya, usai diperiksa, Selasa (21/9/2021).
Ia memastikan setiap pengadaan proyek apapun, termasuk pengadaan lahan di Munjul turut dirapatkan dalam Banggar.
Setelah dana disetujui, selebihnya hal tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
“Semua dibahas di dalam komisi, nah di dalam komisi apakah itu diperlukan untuk ini, ya namanya dia minta selama itu dipergunakan dengan baik ya nggak masalah gitu lho,” katanya.
“Nah di pembahasan-pembahasan itu langsung sampai ke banggar besar. Nah di banggar besar, ternyata saya serahkan kepada eksekutif, nah eksekutif yang punya tanggung jawab,” lanjut Prasetio
SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO OFFICIAL:
Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Koordinator MAKI Sebut Orang-orang Ahok Berada di Lingkaran Kasus Korupsi Pengadaan Lahan Ibu Kota