Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

G30S PKI

Kisah Lokasi Lubang Buaya, Tempat Para Jenderal Dibuang, Ternyata Dijadikan Sumber Air Warga

Tragedi penculikan dan pembunuhan perwira tinggi Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September dipimpin Letkol Untung.

Editor: Rhendi Umar
dok Tribun Jakarta
Sumur Lubang Buaya di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, Sabtu (29/9/2018). 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Tragedi penculikan dan pembunuhan perwira tinggi Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September dipimpin Letkol Untung.

Para Jenderal ini ditembak dan disiksa sebelum akhirnya jasadnya dibuang ke dalam sebuah sumur tua di Lubang Buaya

Sebuah sumur di daerah Lubang Buaya di kawasan Pondok Gede, Jakarta menjadi saksi bisa kekejaman G30S PKI.

Di sumur inilah jasad para Jenderal TNI AD yang juga Pahlawan Revolusi dikubur oleh para pemberontak.

Jasad para pahlawan tersebut dimasukkan ke dalam sebuah lubang setelah sebelumnya diculik oleh gerakan yang mengaku sebagai G30S.

Saat belajar pelajaran sejarah, kita pasti pernah mendengar G30S/PKI.

Dilansir Tribunjambi.com dari Intisari, Sebuah peristiwa pembunuhan terhadap perwira tinggi TNI Angakatan Darat (AD) Indonesia tepat pada 30 September sampai 1 Oktober 1965.

Seluruh korban yang terdiri dari tujuh orang tersebut ditemukan dalam sebuah sumur yang diberi nama Sumur Lubang Buaya.

Sumur Lubang Buaya berada di kelurahan Lubang Buaya, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.

Posisinya berbatasan langsung dengan kelurahan Halim Perdana Kusuma di sebelah utara.

Dulunya, sumur ini adalah milik Bambang Haryono, salah satu warga.

Dengan kedalaman sumur mencapai 12 meter dengan lebar 75 sentimeter, mereka menjadikan sumur tersebut sebagai sumber air warga kampung Lubang Buaya.

Tapi sejak adanya Partai Komunis Indonesia (PKI), area dekat Sumur Lubang Buaya merupakan pusat pelatihan milik PKI.

Nama Lubang Buaya sendiri berasal dari sebuah legenda yang menyatakan bahwa ada buaya-buaya putih di sungai yang terletak di dekat kawasan Pondok Gede.

Selain itu juga terdapat rumah yang di dalamnya ketujuh pahlawan revolusi disiksa dan dibunuh.

Terdapat mobil yang digunakan untuk mengangkut orang-orang.

Tanggal 4 Oktober 1965, pihak militer mengetahui bahwa ketujuh perwira militer Angkatan Darat (AD) Indonesia yang diculik lalu dibunuh oleh PKI dibuang di sana.

Dengan izin, Soeharto, yang saat itu berpangkat Panglima Kostrad, mereka melakukan pengangkatan ketujuh korban dari dalam sumur.

Enam anggota militer dan dua dokter ikut dalam proses pengangkatan tujuh mayat korban.

Mayat Kapten Pierre Tendean adalah yang pertama kali dikeluarkan.

Lalu disusul oleh keenam lainnya yaitu Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Raden Suprapto, Letnan Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, Letnan Jenderal Siswondo Parman, Mayor Jenderal Donald Isaac Pandjaitan, dan Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.

Proses pengangkatan mayat ketujuh perwira TNI AD itu kurang lebih memakan waktu dua jam.

Setelah semuanya diangkat, semua korban dibawa ke RSPAD Gatot Subroto untuk dilakukan otopsi.

Dalam tubuh mereka ditemukan penganiayaan berat sebelum ditembak.

Kini, untuk menghormati ketujuh korban, pemerintah mendirikan Lapangan Peringatan Lubang Buaya yang berisi Monumen Pancasila Sakti, sebuah museum diorama, dan sumur tempat para korban dibuang.

Lalu menyebut ketujuh korban perwira tinggi TNI AD itu dengan sebutan Pahlawan Revolusi.

Hasil Autopsi Tak Ada Congkel Mata dan Potong Kemaluan 

Dalam buku "Soeharto, Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?" karangan Peter Kasenda disebutkan, beberapa jam setelah pengangkatan jenazah para korban G30S di Lubang Buaya, Soeharto mengeluarkan perintah pembentukan tim forensik.

Tim tersebut terdiri dari Brigjen dr Roebiono Kertopati, dan Kolonel dr Frans Pattiasina.

Selain itu, juga masih ada tiga ahli forensik sipil dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Dr Sutomo Tjokronegoro, dr Laiuw Yan Siang, dan dr Liem Joe Thay.

"Tim itu bekerja secara maraton sejak pukul 16.30 hingga 00.30 WIB di Ruang Otopsi RSPAD Gatot Soebroto," tulis Peter.

Ternyata hasil otopsi mereka berbeda jauh dengan pernyataan Soeharto.

"Tim forensik sama sekali tak menemukan bekas siksaan di tubuh korban sebelum mereka dibunuh," tulis Peter.

Namun, saat itu media sudah gencar memberitakan para korban disiksa.

Seorang dokter yang juga ikut dalam tim otopsi, Prof Dr Arif Budianto atau Liem Joe Thay mengatakan, kondisi jenazah para jenderal itu tidak seperti diberitakan oleh media massa.

"Kami memeriksa penis-penis korban dengan teliti. Jangankan terpotong, bahkan luka iris saja juga sama sekali tidak ada. Kami periksa benar itu, dan saya berani berkata itu benar. Itu faktanya," ujar Arif seperti yang dikutip dalam buku tersebut.

Seorang akademisi, Benedict Anderson juga menemukan dokumen berisi laporan yang disusun oleh tim forensik.

Mereka telah memeriksa jenazah enam orang jenderal, dan seorang perwira muda.

"Ternyata laporan tersebut berseberangan dengan pernyataan Soeharto sendiri," tulis Anderson dalam buku Tentang Matinya Para Jenderal.

Selembar nota yang disebut Soekarno mencekam

Pasca peristiwa G30S/PKI, situasi politik, khususnya di Jakarta pun semakin memanas.

Para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI pun melakukan aksi, dan mendesak pemerintahan Soekarno membubarkan PKI.

Dalam buku "Soeharto, Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?", karangan Peter Kasenda, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No 41/Kogam/1966 yang berisi pembubaran KAMI.

Namun, hal itu tak menyurutkan desakan para mahasiswa.

Oleh karena itu, Soekarno pun memaksa mengadakan sidang kabinet untuk membicarakan tuntutan mahasiswa, pada 11 Maret 1966.

Saat itu semua menteri datang, walaupun ada gangguan karena mahasiswa kembali demo, dan mengempiskan ban-ban mobil di sekitar istana.

"Yang secara mencolok adalah ketidakhadiran Soeharto yang dikatakan sakit tenggorokan ringan,"tulis Peter.

Peter melanjutkan, berdasarkan sebuah sumber, Soekarno sebenarnya telah diberitahu Duta Besar untuk Ethiopia yang baru saja pulang ke Jakarta, Brigjen Suadi semalam sebelumnya, bahwa pasukan-pasukan RPKAD berusaha menyergap istana.

Mendapatkan informasi itu, Soekarno pun menghubungi Panglima KKO Hartono yang mengulangi jaminannya, KKO siap menghadapi RPKAD.

Sementara saat Soekarno berpidato, satu di antara ajudannya menyela, dan menyerahkan selembar nota.

Setelah membacanya, Soekarno mengumumkan sesuatu yang amat penting telah mencekam dirinya, dan bermaksud meninggalkan tersebut sebentar.

Dua pejabat lainnya saat itu, Soebandrio dan Chaerul Saleh juga mengetahui isi nota itu.

Begitu tahu isi nota tersebut, mereka juga pergi meninggalkan sidang.

"Nota itu berisi informasi sekelompok pasukan tak dikenal yang menanggalkan segala tanda pengenal mereka sehingga identitasnya tak diketahui, telah menduduki posisi mengepung istana," tulis Peter.

Menurut Peter, awalnya nota itu ditujukan kepada Pangdam Jaya, Amir Machmud.

Lalu, ia mengatkan tak apa-apa.

Belakangan, diketahui Soekarno meninggalkan sidang kabinet, dan menuju Istana Bogor.

Di sana Soekarno bertemu sejumlah pejabat, hingga menghasilkan Surat Perintah 11 Maret, atau yang biasa dikenal Supersemar.

Isi Supersemar "memerintahkan" Soeharto mengambil tindakan yang dianggap perlu demi menjaga keamanan

SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO OFFICIAL:

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved