G30S PKI
Beda Pernyataan Soeharto dan Kolonel Latief, Padahal Dua Kali Bertemu dan Bocorkan Rencana Aksi G30S
Kolonel Latief yang mendapat bocoran tentang rencana itu, kemudian bertermu Panglima Kostrad atau Pangkostrad yang saat itu dijabat oleh Soeharto.
Penulis: Gryfid Talumedun | Editor: Gryfid Talumedun
TRIBUNMANADO.CO.ID - Sosok Kolonel Latief, perwira TNI yang mengaku mendapat bocoran tentang gerakan G30S/PKI beberapa hari sebelum terjadi.
Kolonel Abdoel Latief adalah Komandan Brigade Infanteri (Brigif) I Kodam V Jakarta Raya (Jaya).
Dia tinggal di Jalan Cawang I kavling 524/525, Jatinegara, bersama keluarganya.
Rumah Latief menjadi tempat tiga rapat penting terkait Tragedi 1965.
Pertama, rapat berlangsung pada 22 Agustus 1965. Kedua, rapat pada 29 Agustus 1965 dan terakhir rapat pada 6 September 1965.
• Sosok Sjam Kamaruzaman, Petinggi PKI yang Sombong, Klaim Kuasai Militer, Hidupnya Berakhir Tragis
Ia semakin jadi sorotan setelah ia juga mengaku sudah dua kali menemui Soeharto untuk memperingatkan tentang gerakan pemberontakan PKI tersebut.
Melansir dari Wikipedia, Kolonel Latief memiliki nama lengkap Abdul Latief.
Kolonel Latief lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 27 Juli 1926 dan meninggal di Tangerang, Banten pada 6 April 2005.
Kolonel Latief adalah salah seorang saksi peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965.
Karena dituduh makar dan terlibat dalam peristiwa G30S/PKI, Latief ditangkap di rumah saudara sepupu istrinya di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat pada 2 Oktober 1965, dan dijebloskan ke dalam penjara sejak 11 Oktober 1965.
Ia dibebaskan pada 25 Maret 1999.
Gerakan G30S/PKI diketahui memang sudah tercium oleh beberapa perwira TNI.
Salah satunya Kolonel Latief yang saat itu menjabat Komandan Brigade Infanteri I Kodam V Jaya.
Kolonel Latief yang mendapat bocoran tentang rencana itu, kemudian bertermu Panglima Kostrad atau Pangkostrad yang saat itu dijabat oleh Soeharto.
Seperti dilansir dari Serambi Indonesia dalam artikel 'Kisah Kolonel Latief Dapat Bocoran G30S PKI Akan Membunuh Para Jenderal TNI, tapi Diabaikan Soeharto'
Soehato dalam buku "Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G30S/PKI" karya Eros Djarot, mengungkapkan kesaksiannya soal peristiwa ini.
Dikutip dari berbagai sumber termasuk arsip berita Tribunnews.com, Kolenel A Latief dikenal sebagai anak buah dan sejawat Soeharto kala itu.
Ketika diwawancarai Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto menyatakan ia memang ditemui Latief di RSPAD, beberapa jam sebelum kejadian G30S PKI terjadi.
Meski bertemu, Soeharto menegaskan bahwa Latief tak memberikan informasi apapun.
Lalu, kesaksian yang diceritakan Soehato kepada Der Spiegel tersebut berubah.
• Apa Itu G30S, G30S/PKI, Gestapu, Gestok? Ini Perbedaan dan Istilah yang Paling Tepat Penggunaannya
Pada bukunya yang berjudul "Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya", Soeharto mengutarakan jika ia hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak ada interaksi yang terjadi malam itu.
Meski demikian, Kolonel Latief mengungkapkan kisahnya sebelum terjadinya peristiwa G30S/PKI.
Latief mengungkapkan, dua hari jelang peristiwa itu, ia menemui Soeharto di kediamannya, Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat.
Dalam pertemuan itu keduanya membicarakan keadaan keluarga masing-masing.
Hingga kemudian, Latief memberi tahu Soeharto jika akan ada suatu gerakan yang akan membunuh para jenderal TNI AD.
Latief pun mengaku masih ingat kejadian tersebut.
"Saya masih ingat kejadian itu, karena saat itu putra bungsu Soeharto, yang masih berusia tiga tahun, menderita luka cukup serius akibat tersiram sop panas," tutur Kolonel Latief.
Lalu, Soeharto, kata Letief, tak melakukan tindakan apa-apa terkait informasi yang ia sampaikan itu.
Karena laporan itu tak digubris Soeharto, Latief pun kembali menemui Soeharto yang berada di RSPAD Gatot Subroto.
Kala itu, Soeharto sedang menunggui Hutomo Mandala Putra yang menjalani pengobatan karena tersiram sop panas.
Menurt Latief, laporannya terkait peristiwa itu tak digubris lagi oleh Soeharto.
Hingga kemudian peristiwa tersebut benar-benar terjadi.
Latief yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Brigade Infanteri I Kodam V Jaya datang melapor kepada Soeharto.
Latief mempertanyakan mengapa Soeharto selaku Panglima Kostrad tidak menggagalkan peristiwa yang berbuntut pada penggulingan Soekarno selaku presiden setelah mendapat laporannya.
"Siapa sebenarnya yang melakukan coup d'etat pada 1 Oktober 1965: G30S ataukah Jenderal Soeharto", ungkap Latief di pengantar bukunya Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S.
Kemudian, Latief menjadi tahanan politik karena tuduhan terlibat G30S/PKI, sejak tanggal 11 Oktober 1965.
Ia kemudian diadili tahun 1978 dan dibebaskan dari tahanan tanggal 6 Desember 1998 oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie.
Kolonel Abdul Latief meninggal dunia pada pukul 06.30 WIB pada Rabu (6/4/2005) akibat sakit paru-paru.
• Pantas AH Nasution Jadi Target Utama G30S PKI, Pengaruh Besar Sang Jenderal di TNI Jadi Penyebabnya
Soeharto Gunakan 4 Tahap untuk Menumpas G30S/PKI
Dikutip dari pernyataan Drs. Nugroho Notosusanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1966
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad menerima informasi bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.
Jenderal Yani dan beberapa pejabat tinggi Angkatan Darat telah diculik atau dibunuh oleh suatu gerombolan bersenjata.
Beliau segera berangkat menuju ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur untuk menganalisa keadaan.
Beliau mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi suatu pengkhianatan oleh sesuatu komplotan kontra-revolusioner.
Hilangnya Jenderal Yani selaku Men/Pangad menyebabkan kekosongan di lingkungan Angkatan Darat, itu merupakan sesuatu hal yang amat berbahaya.
Soeharto dengan advis dari beberapa perwira tinggi TNI memutuskan untuk memegang pimpinan Angkatan Darat sementara situasi belum jelas.
Setelah mengadakan kontak dengan Panglima Daerah Militer V/Jakarta, Soeharto berpikir cepat dan bertindak cepat.
Tindakan pertama, diusahakan untuk menetralisir pasukan-pasukan yang masih mengambil stelling di sekitar Medan Merdeka.
Pada jam 16.00, Yon 530 Para (kecuali satu kompi yang dibawa oleh Dul Arief) sudah menarik diri dari stelling dan dibawah pimpinan Wadan Yon Kapten Sukarbi melaporkan diri kepada Soeharto.
Sayang, sisa pasukan Yon 454 Para terus disalahgunakan oleh “G30S" hingga mereka mengundurkan diri ke Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim dan berhasil dicerai-beraikan disana oleh pasukan RPKAD.
Tahap kedua, Soeharto memerintahkan untuk menduduki kembali gedung Pusat Telekamunikasi dan RRI.
Tugas itu diserahkan kepada RPKAD dengan catatan: sedapat mungkin menghindarkan pertumpahan darah.
RPKAD dengan manuver yang jitu dalam waktu 20 menit saja telah berhasil menduduki kedua gedung itu tanpa melepaskan satu tembakan pun.
Tahap ketiga, pada jam 20.00 WIB Soeharto berbicara di depan radio, menjelaskan kepada seluruh Rakyat Indonesia apa yang telah terjadi dan menerangkan tindakan-tindakan apa yang telah beliau ambil.
Dengan tegas “G30S" disebut gerakan kontra-revolusioner.
Dengan serta-merta seluruh Rakyat merasa lega karena tahu duduk persoalan yang sesungguhnya dan tahu bahwa siaran-siaran “G30S" sebelumnya adalah palsu.
Tahapan keempat, Soeharto mulai memberikan pukulan maut kepada komplotan “G-30-S"
Yakni merebut PAU Halim. Tugas itu dipercayakan kepada RPKAD dengan bantuan Yon 328 Para “Kudjang”/Siliwangi.
Tugas konsolidasi di dalam kota diserahkan kepada Kodam V/Jaya dengan bantuan KKO/AL dan BRIMOB/AKRI.
Tahapan keempat itu baru dilaksanakan keesokan harinya pada tanggal 2 Oktober 1965, dan berhasil dengan baik dengan hanya makan seorang korban.
Dengan demikian selesailah sudah kisah petualangan “G-30-S" di ibukota.
Caranya menyelesaikan dilakukan dengan gaya khas Pak Harto: tenang tapi tegas dan pasti, tahap yang satu disusul dengan tahap yang berikutnya di dalam urut-urutan yang serasi.
Masih dari sumber yang sama, gerakan G30S/PKI didalangi oleh sejumlah tokoh.
Tokoh-tokoh itu terdiri atas dua golongan, yakni golongan “pembina” dan golongan yang dibina.
Para “pembina" terdiri atas petugas-petugas PKI, sedangkan yang dibina (dalam hal ini) adalah perwira-perwira ABRI.
Yang dibina tidak selalu saling mengenal selaku orang-orang yang seideologi
Untung diberitahu oleh pembinanya yang bernama Sujono, bahwa pada tanggal 3 September akan ada rapat di mana ia akan diperkenalkan dengan (eks) Kolonel Latief, Komandan Brigade I Infantesri/Jayakarta, (eks) Major Udara Sujono, Komandan Resimen Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU Halim.
Rapat pada tanggal 3 September 1965 itu merupakan rapat pertama untuk merupakan persiapan terakhir bagi gerakan 30 September 1965
Yang hadir dari pihak “pembina" adalah: Sam dan Supono (yang menurut eks- Kolonel Latief adalah “pengawal” D.N. Aidit), sedang dari pihak yang dibina adalah: Latief, Untung, Sujono dan tuan rumah (eks) Kapten Wahyudi.
Dalam rapat itu Sam memberi briefing mengenai adanya “Dewan Jenderal” yang dipimpin oleh Jenderal Nasution dan Jenderal Yani yang merencanakan suatu kudeta.
Sam meminta supaya para perwira yang hadir merencanakan sesuatu guna menghalangi rencana “Dewan Jenderal” tersebut.
Rapat yang paling penting adalah rapat tanggal 19 September 1965 yang bertempat di rumah (eks) Kolonel Latief di Cawang.
Pada rapat itulah Sam menunjuk Untung selaku “pemimpin” daripada “G-30-S".
Ketentuan-ketentuan yang khusus mengenai pencetusan “G-30-S" dilakukan pada dua rapat terakhir.
Pada rapat tanggal 29 September di rumah Sam, tokoh PKI itu memutuskan bahwa komplotan mereka diberi nama “Gerakan 30 September".
Serta diputuskan bahwa pelaksanaannya jatuh pada besok malam (30 September 1965), meskipun aksi yang lebih besar akan dilancarkan pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965.
Sebelumnya, (eks) Kolonel Latief juga telah ditugaskan untuk menyusun rencana operasi.
Menurut rencananya, operasi diberi nama Operasi Takari dan dibagi atas 3 komando:
1. Komando Penculikan dan Penyergapan yang dipimpin oleh Dul Arief dari Cakrabirawa;
2. Komando Penguasaan Kota yang dipimpin oleh (eks) Kapten Suradi dari Brigade I Infanteri/Jayakarta
3. Komando Basis yang dipimpin oleh (eks) Major Udara Gatot Sukresno.
Ketiga komando itu bertanggung jawab kepada Central Comando atau Cenco.
Pada tanggal 30 September 1965 pagi diadakan rapat terakhir di Lubang Buaya.
Yang hadir adalah (eks) Brigadir Jenderal Suparjo, Latief, Sujono, (eks) Mayor Bambang Supeno (Dan Yon 530 Para), Gatot Sukresno, (eks) Kapten Kuncoro (Wadan Yon 454 Para), Suradi, Dul Arief, Sugito dan dua orang sipil yang tidak dikenal.(*)
Artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul Profil dan Biodata Kolonel Latief yang Dapat Bocoran Sebelum G30S/PKI Pecah, 2 Kali Temui Soeharto