Kabar Iran
Ebrahim Raisi, Presiden Terpilih Iran, Ulama Garis Keras dan Algojo Massal, Israel Bereaksi Keras
Ebrahim Raisi, Presiden Terpilih Iran, mengklaim garis keturunan yang ditelusuri kembali ke nabi Muhammad, memungkinkan dia untuk memakai sorban hitam
Penulis: Aldi Ponge | Editor: Aldi Ponge
TRIBUNMANADO.CO.ID - Rakyat Republik Islam Iran sudah memilih pemimpin baru dalam pemilihan presiden.
Ebrahim Raisi terpilih menjadi Presiden Iran menggantikan Hassan Rouhani. 60 juta pemilih Iran memberikan hak suaranya.
Sebelumnya, Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei dan badan pemeriksaan konstitusi melarang bersekutu dengan presiden Hassan Rouhani.
Pemimpin tertinggi memang memegang kekuatan politik tertinggi Iran sejak revolusi 1979 menggulingkan monarki yang didukung Amerika
Tetap presiden memiliki pengaruh yang signifikan di berbagai bidang mulai kebijakan industri hingga urusan luar negeri.
Ebrahim mendapat dukungan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Selain Ebrahim Raisi, ada 3 calon presiden Iran lainnya yakni mantan kepala bank sentral, Abdolnaser Hemmati, Mohsen Rezaei dan Amir Hossein Ghazizadeh Hashemi, anggota parlemen lama dari Mashhad.
Raisi memimpin penghitungan suara dalam pilpres Iran dengan mendulang suara 17,8 juta atau 61,95 persen suara
Lebih dari 28 juta warga Iran dari 59 juta pemilih yang memenuhi syarat telah memberikan suaranya.
Presiden Iran Hassan Rouhani memberi selamat kepada presiden pilihan rakyat, tanpa menyebutkan nama.
Raisi menemui Presiden Iran Hassan Rouhani dan Ketua Parlemen Mohammad Bagher Qalibaf setelah menang telak.

Sosok Ebrahim Raisi
Melansir Alarabiya, Ebrahim Raisi as-Sadati itu lahir di di Kota Masyhad, Provinsi Razavi Khorasan pada 14 Desember 1960.
Ayahnya merupakan seorang pemuka agama dan meninggal saat Ebrahim berusia lima tahun.
Tak lama sebelum Revolusi 1979, Ebrahim mengenyam pendidikan agama di Kota Qom.
Saat berusia 15 tahun, ia telah berguru ke sejumlah ulama terkenal, seperti Ali Meshkini, Hossein Nouri Hamdani, dan Abul Qasim Khazali.
Kariernya dimulai sejak usia 20 tahun saat ia menjadi Jaksa di Kota Karaj pada 1980.
Ia ditugaskan ke beberapa ke kota, termasuk Kota Hamdan (1982) dan Teheran (1984) hingga 1990-an.
Ebrahim Raisi adalah seorang hakim sekaligus ulama Syiah garis keras yang berusia 60 tahun.
Dia dijatuhi sanksi oleh Amerika atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Ulama ultrakonservatif ini mendukung dihidupkannya kembali kesepakatan nuklir.
Raisi menjadi Jaksa Agung Iran pada 2014.
Setelah kematian Imam Reza Vaezi Tabsi, Khamenei mengangkatnya sebagai kepala salah satu pusat agama dan ekonomi terpenting yang memiliki miliaran dana abadi.
Raisi juga diangkat sebagai kepala kehakiman pada 2019, dua tahun setelah kalah telak dari Hassan Rouhani dalam Pemilu
Raisi dipandang sebagai kandidat terpilih dari pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei dan memberikan dorongan besar untuk peluangnya.
Dia adalah seorang ulama ultrakonservatif, meskipun dia tidak memiliki status ayatollah, peringkat tertinggi untuk ulama Syiah.
Dia mengklaim garis keturunan yang ditelusuri kembali ke nabi Muhammad, yang memungkinkan dia untuk memakai sorban hitam.
Raisi adalah seorang hakim di pengadilan revolusioner Teheran, yang sedang menjalani pembersihan lawan-lawan Republik Islam, yang mengambil alih kekuasaan dalam revolusi 1979 di negara itu.
Bagi banyak orang Iran, Raisi dikaitkan dengan serangkaian pengadilan dan eksekusi politik berdarah pada 1988 di sekitar akhir perang Iran-Irak.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan Raisi terlibat dalam kematian ribuan orang. Bagi beberapa pemilih konservatif, sejarah ini menambah pengaruh politiknya.
Anggota "Komite Kematian"
Dilansir Kompas.com dalam artikel berjudul Profil Ebrahim Raisi, Kandidat Unggul Presiden Iran dan Algojo Massal 1988 menyebutkan Ebrahim ditunjuk sebagai anggota "Komite Kematian", sebuah komite yang dibentuk untuk menentukan nasib ribuan tahanan politik pada 1988 saat usia belum genap 30 tahun.
Ribuan tahanan politik itu pun dijatuhi hukuman mati. Ini merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia paling serius dalam sejarah Iran.
Iran tidak pernah mengakui eksekusi massal itu, sementara Raisi tidak pernah membahas tuduhan tentang perannya di dalamnya.
Amnesty International juga mengatakan bahwa sebagai kepala kehakiman, Raisi mengawasi impunitas bagi pejabat dan pasukan keamanan yang dituduh membunuh pengunjuk rasa selama kerusuhan pada 2019.
Dia telah muncul sebagai yang terdepan setelah lawan-lawan utama didiskualifikasi, oleh otoritas lapangan yang terbatas pada kandidat garis keras.
Raisi memiliki hubungan dekat dengan Pengawal Revolusi Iran dan hubungan selama puluhan tahun dengan Khamenei.
Dia dikenal karena perannya dalam komisi 1988, yang menghukum mati ribuan tahanan politik.
Tahanan politik Iran yang diinterogasi, disiksa dan dihukum mati oleh Ebrahim Raisi telah menceritakan pengalaman mengerikan mereka, ketika Iran bersiap untuk menjadikannya presiden negara berikutnya.
Farideh Goudarzi, yang dipenjara karena menjadi bagian dari kelompok politik terlarang, mengatakan Raisi menyaksikan penjaga menjatuhkan bayinya ke lantai.
Itu dilakukan sebagai bagian dari satu interogasi brutal, setelah Goudarzi disiksa saat hamil dan dipaksa melahirkan di penjara.
Mahmoud Royaee, tahanan politik lainnya mengatakan Raisi pernah menjatuhkan hukuman mati kepada seorang narapidana yang berada di tengah serangan epilepsi.
Kematian pria itu hanyalah salah satu dari banyak yang terjadi dalam lima bulan berdarah di musim panas 1988.
Sementara jumlah pasti orang mati tidak diketahui, diperkirakan bahwa setidaknya beberapa ribu dan mungkin lebih dari 30.000 orang dihukum mati, digantung oleh derek konstruksi dalam 10 kelompok.
Raisi dikenal sebagai "algojo" atas eksekusi tersebut karena keterlibatannya dalam "Komisi Kematian 1988."
Baik Goudarzi dan Royaee mengatakan penunjukan Raisi dimaksudkan untuk mengirim pesan ke penduduk Iran.
Yakni bahwa perbedaan pendapat tidak akan lagi ditoleransi, menyusul serangkaian protes besar dalam beberapa tahun terakhir.
Ketika sanksi lama dan baru dari AS menghantam Iran, perdagangan mengering dan perusahaan asing angkat kaki.
Kelesuan ekonomi yang mendalam yang telah memicu peningkatan inflasi, kehilangan pekerjaan, dan krisis yang diperdalam oleh pandemi Covid-19.
Ekonomi yang menukik tajam dan harga yang melonjak memicu serangan berulang dari kerusuhan sosial, yang dipadamkan oleh pasukan keamanan.
“Raisi dibawa ke tampuk kekuasaan untuk membantai orang-orang ini,” kata Goudarzi melansir Daily Mail. Menurut pendapat saya Raisi adalah pembunuh anak-anak Iran, dia adalah seorang kriminal.
“Jadi pesan untuk orang-orang di negara saya adalah penahanan, penyiksaan, dan eksekusi. Pesan untuk seluruh dunia adalah penyebaran dan ekspor terorisme. Tidak ada pesan lain.”
Sementara itu Royaee berkata: “Dia (Raisi) tidak memiliki rasa kemanusiaan, dia sangat kejam terhadap para tahanan. Kebencian yang dipenuhinya terhadap para tahanan - saya telah melihat sangat sedikit orang seperti itu.”
"Ini tidak dapat ditoleransi bagi saya, bagi keluarga para korban dan bagi bangsa Iran untuk membayangkan orang seperti itu menjadi presiden. Tempatnya di pengadilan, di kursi terdakwa."
Israel Peringatkan Masyarakat Internasional
Setelah Ebrahim Raisi terpilih jadi presiden Iran, Israel langsung bereaksi.
Israel memperingatkan masyarakat internasional untuk harus hati-hati dengan Ebrahim Raisi.
Ebrahim Raisi karena dianggap berkomitmen kuat pada program nuklir.
Terpilihnya Raisi "menjelaskan niat jahat Iran yang sebenarnya, dan seharusnya masyarakat internasional meningkatkan keprihatinan serius", tulis juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel Lior Haiat dalam Twitter, seperti yang dilansir dari AFP pada Sabtu (19/6/2021).
Iran telah "memilih presiden yang paling ekstrem hingga saat ini", kata Haiat setelah pemilihan usai di Iran pada Jumat (18/6/2021).
Raisi disebutkan "berkomitmen pada program nuklir militer Iran yang berkembang pesat". (Aldi Ponge/tribun Manado/Kompas.com)