Tan Malaka
Kisah Tan Malaka, Pilih Membujang Sampai Akhir Hidup: Perkawinan Membelokan dari Perjuangan
Tan Malaka dikabarkan hidup membujang hingga akhir hayatnya. Ia dikenal sebagai seorang revolusioner yang kesepian.
Penulis: Rizali Posumah | Editor: Rhendi Umar
TRIBUNMANADO.CO.ID - Siapa yang tak kenal dengan Tan Malaka.
Dia adalah penggagas dari bentuk Negara Indonesia setelah merdeka, yakni Negara Republik.
Tepat pada 2 Juni 1897 di Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat, Tan Malaka lahir.
Tan Malaka lahir dengan nama Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka.

Dari gelarnya dapat diketahui bahwa Tan Malaka adalah seorang bangsawan.
Tan Malaka dalam jejak perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah bagian dari golongan kiri, ia dikenal sebagai tokoh komunis dan pendiri Partai Murba.
Pembentukan Republik Indonesia disebut-sebut terinspirasi dari catatannya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (1925).
Bung Karno, bapak Proklamator Indonesia bahkan menyebut Tan sebagai guru. Dan menobatkannya sebagai Bapak Republik Indonesia.
Ia adalah tokoh besar Indonesia yang mengalami hidup teramat tragis.
Menyuarakan perjuangan lewat tulisan, ikut turun langsung dalam medan pertempuran, menjadi pendidik untuk generasi bangsa, bicara di forum internasional demi nasib Rakyat Indonesia, berkali-kali keluar masuk penjara.
Hingga menjadi pelarian akibat terus-terusan diburu Interpol dan Polisi Kolonial. Dan akhirnya, gugur di ujung bedil tentara Republik yang turut dirintisnya.
Riwayat
Masa kecil Tan Malaka erat dengan agama. Ia bahkan tinggal di Surau. Di sana juga Tan Malaka berlatih beladiri Silat.
Dari sejak remaja, benih-benih pejuang sudah nampak di diri Tan. Ia kerap mengeritik perlakuan sewenang-wenang Belanda.
Dalam bukut Franz Magnis Suseno (Romo Magnis) yang berjudul Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin Sampai Tan Malaka, Tan awalnya mendapat pendidikan di Bukit Tinggi.
Ia masuk sekolah guru di sana. Lalu atas nasehat guru Belandanya, Tan dikirim ke Belanda untuk bersekolah selama enam tahun.
Di Belanda, Tan malah larut dalam gerakan kaum kiri. Ia tertarik pada Revolusi Oktober di Rusia dan giat membaca buku-buku Marxis.
Tahun 1919, Tan kembali ke Indonesia. Dari Sumatera, kemudian ke Jawa. Di Jawa rekan seideologinya, Semaun memintanya membuka sekolah di Semarang.
Tahun 1921, Tan diangkat menjadi ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibat aktivitas politiknya itu, setahun kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengusirnya dari Indonesia.
Tan lalu memutuskan untuk kembali ke Belanda dan bergabung bersama Partai Komunis di sana.
Ia bahkan nyaris terpilih masuk parlemen Belanda sebagai wakil partai.
Tahun 1923 Tan menghadiri Kongres IV Komintern (Aosiasi Komunis Internasional) di Moskow.
Dalam kongres ini ia mengeritik sikap Komintern yang anti Pan-Islamisme.
Ia mengajak agar kaum komunis mau bekerja sama dengan kelompok-kelompok muslim.
Oleh Komintern, Tan kemudian diangkat sebagai wakil Komintern untuk wilayah Asia Tenggara dan bermarkas di Kanton, Cina. Tahun 1925 Tan pindah ke Manila.
Sementara hubungannya dengan kawan-kawan Partai Komunis di Indonesia semakin renggang, Tan sering bersilang pendapat dengan para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saat para petinggi PKI merencanakan revolusi melawan pemerintahan Hindia Belanda, Tan menentang mereka.
Ia menyebut rencana itu terlalu dini dan diramalkan bakal gagal.
Sialnya, setelah pemberontakan pada tahun 1926-1927 gagal totol, Tan Malaka malah dipersalahkan oleh PKI. Sejak itu, tokoh penting komunis di Asia Tenggara ini pun meninggalkan PKI.

Tahun-tahun berikutnya adalah masa-masa sulit bagi Tan Malaka. Ia bekerja sebagai guru di beberapa tempat seperti di China dan Hongkong.
Tahun 1937 ia melarikan diri dari tentara Jepang menuju Singapura.
Setelah Jepang menduduki Indonesia 1942, ia menyelundup masuk ke Medan.
Pelarian Tan tak berhenti sampai di situ, pada pertengahan tahun 1942 Tan ke Jakarta.
Setahun kemudian ia menyingkir lagi ke Banten Selatan.
Di sinilah Tan kemudian memutuskan untuk menetap agak lama dan memperoleh pekerjaan, di mana ia kemudian mempelajari sistem Romusha (kerja paksa ala Jepang).
Pertengahan tahun 1945, Tan kembali ke Jakarta. Sebagai tokoh lama, Tan merasa sebagai orang asing di antara elit baru Indonesia Merdeka.
Namun lewat Subardjo, ia berkenalan dekat dengan orang-orang muda radikal seperti Sukarno, Adam Malik, dan Chaerul Saleh.
Revolusioner yang Kesepian
Tan Malaka dikabarkan hidup membujang hingga akhir hayatnya. Ia dikenal sebagai seorang revolusioner yang kesepian.
Meski begitu bukan berarti dia tidak pernah punya hubungan asmara dengan perempuan.
Seperti yang diceritakan salah seorang pengikutnya Adam Malik (mantan Wakil Presiden 1978–1983) dalam buku Mengabdi Kepada Republik.
“Apa Bung pernah jatuh cinta?” tanya Adam Malik .
"Pernah. Tiga kali malahan," jawab Tan Malaka.
"Sekali di Belanda. Sekali di Filipina dan sekali lagi di Indonesia. Tapi semuanya itu katakanlah hanya cinta yang tidak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan (Indonesia)," ujar Tan Malaka.
Hal serupa juga dituturkan oleh Harry A Poeze, seorang peneliti asal Belanda yang meghabiskan sebagian besar hidupnya hanya untuk meneliti tentang Tan Malaka.
Dalam bukunya ‘Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia’ Harr menuliskan pernyataan SK Trimurti, istri Sajoeti Melik mengenai Tan Malaka dan alasannya tak pernah menikah hingga akhir hayat.
"Ia (Tan Malaka) tidak kawin karena perkawinan akan membelokannya dari perjuangan."
"Ia bersikap penuh hormat terhadap perempuan. Ia juga tak pernah berbicara tentang perempuan dalam makna seksual. Dari sudut ini, ia seorang yang bersih," kata SK Trimurti.
Menurut Harry A Poeze, setidaknya ada empat wanita yang sempat singgah di hati Tan Malaka.
Perempuan-perempuan tersebut yakni Syarifah Nawawi, Fenny Struijvenberg, Carmen, AP, dan Paramitha Abdurrachman.
Syarifah Nawawi adalah teman sekelas Tan Malaka waktu bersekolah di Bukittinggi.
Sementara Fenny Struijvenberg adalah gadis Belanda, mahasiswi kedokteran yang kerap datang ke kosnya waktu Tan bersekolah di Belanda.
Lalu Carmen, ia adalah gadis Filipina yang sempat dekat dengan Tan Malaka saat pelarian Tan di Filipina.
Dan yang terakhir adalah Paramitha Abdurrachman, Paramitha dikenal Tan saat dirinya pertama kali muncul lagi ke publik pada tahun 1945.
Karya
Tan malaka dikenal sebagai tokoh pejuang yang gemar menulis. Berikut karya-karya Tan Malaka sebagaimana yang dikuti dari TribunnewsWiki.
Parlemen atau Soviet (1920)
SI Semarang dan Onderwijs (1921)
Dasar Pendidikan (1921)
Tunduk Pada Kekuasaan Tapi Tidak Tunduk Pada Kebenaran (1922)
Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) (1924)
Semangat Muda (1925)
Massa Actie (1926)
Local Actie dan National Actie (1926)
Pari dan Nasionalisten (1927)
Pari dan PKI (1927)
Pari International (1927)
Manifesto Bangkok (1927)
Aslia Bergabung (1943)
Muslihat (1945)
Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
Politik (1945)
Manifesto Jakarta (1945)
Thesis (1946)
Pidato Purwokerto (1946)
Pidato Solo (1946)
Madilog (1948)
Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)
Gerpolek (1948)
Pidato Kediri (1948)
Pandangan Hidup (1948)
Kuhandel di Kaliurang (1948)
Proklamasi 17-8-45 Isi dan Pelaksanaanya (1948)
Dari Pendjara ke Pendjara (1970). (*/Tribun Manado)
SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO OFFICIAL: