Soeharto Lengser
''Sebaiknya Presiden Mengundurkan Diri'' Kata Eks Menteri Orba Harmoko yang Buat Soeharto Lengser
Ketua MPR/DPR RI kala itu, mewaikli bangsa Indonesia H Harmoko meminta Soeharto mundur dari jabatan presiden pada Mei 1998.
TRIBUNMANADO.CO.ID - "Demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko saat meminta Seoharto mundur dari jabatan Presiden RI pada tahun 1998.
Desakan agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya semakin terdengar kencang pada 18 Mei 1998 silam.
Ketua MPR/DPR RI kala itu, mewaikli bangsa Indonesia H Harmoko meminta Soeharto mundur dari jabatan presiden.
Kala itu, aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa semakin membesar dan mulai bergerak masuk ke Gedung DPR.
Ribuan mahasiswa semakin lantang minta Soeharto mundur setelah terjadi penembakan di Universitas Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa kampus itu.
(Foto: Soeharto Lengser, mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Nyatakan dirinya akan lengser keprabon madeg pandito (pensiun menjadi pemimpin akan menjadi begawan)./Getty Images/Patrick Aventurier)
Selain itu, situasi politik pun semakin pelik dengan adanya kerusuhan pada pertengahan Mei 1998.
Terlebih lagi, kerusuhan itu disertai kekerasan berbasis prasangka rasial yang menimbulkan korban tewas dengan jumlah tidak sedikit.
Dikutip dari arsip Kompas yang terbit pada 19 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR pun kemudian meminta Presiden Soeharto untuk mundur.
Permintaan itu disampaikan Ketua DPR/MPR Harmoko yang didampingi pimpinan lain,
yaitu Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid, pada 18 Mei 1998.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua,
mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko.
"Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan,
serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional," lanjut Mantan Menteri Penerangan Orde Baru kala itu.
(Foto: Koran saat mengabarkan Ketua MPR/DPR RI pada 1998, Harmoko meminta Soeharto untuk mundur dari jabatan presiden karena sudah punya firasat Soeharto lengser./Dok. CNN)
Disanggah ABRI dan Golkar
Namun, pernyataan pimpinan DPR itu disanggah Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto.
Pernyataan pimpinan DPR dinilai Wiranto sebagai pendapat pribadi.
"Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki ketetapan hukum.
Pendapat DPR harus diambil oleh semua anggota Dewan melalui Sidang Paripurna DPR," kata Wiranto.
Wiranto bahkan menilai bahwa Presiden Soeharto memiliki tanggung jawab untuk melakukan sejumlah langkah untuk mengatasi krisis.
"ABRI masih berpendapat bahwa tugas dan kewajiban mendesak pemerintah yang menjadi tanggung jawab Presiden adalah melaksanakan reshuffle kabinet,
melaksanakan reformasi secara menyeluruh, dan mengatasi krisis.
Ini penting dilakukan agar bangsa Indonesia segera dapat keluar dari masa krisis ini," ujar Wiranto.
Pernyataan pimpinan DPR itu juga dianggap tidak mewakili suara fraksi-fraksi yang ada di DPR/MPR.
Setidaknya, sanggahan dinyatakan dua fraksi yang menjadi mesin politik Orde Baru, Fraksi Karya Pembangunan atau F-KP (Golkar).
Saat itu, pimpinan F-KP menyerahkan pernyataan kepada Sekjen DPP Golongan Karya Arry Mardjono.
Arry lalu menyatakan, pernyataan itu bukan pendapat F-KP ataupun DPP Golkar.
"Sikap DPP Golkar kita serahkan pada rapat besok (hari ini) bersama-sama fraksi lain. Itu jangan diartikan DPP Golkar belum memiliki sikap," ucap Arry.
Namun, di sisi lain, ada 20 anggota F-KP yang mendesak pimpinan DPR segera mengambil langkah mempersiapkan Sidang Istimewa MPR untuk mempersoalkan kepemimpinan nasional.
Ketua F-KP Irsyad Sudiro mengatakan, pernyataan sikap apakah F-KP akan meminta Presiden Soeharto mundur, seperti halnya sikap F-PP, baru ditentukan pada 19 Mei.
"F-KP secara konstitusional akan mencermati bagaimana mekanisme lengser keprabon dan pelaksanaan Sidang Istimewa," kata dia.
'Palu Patah' Tutup Sidang Paripurna Jadi Firasat Akhir Rezim Soeharto
Firasat lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tahun Mei 1998 terjadi saat sidang pemilihan Pak Harto sebagai Presiden Republik Indonesia untuk ketujuh kalinya.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kala itu, Harmoko merasakan firasat berakhirnya pemerintahan rezim Soeharto.
Palu patah saat menutup sidang terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia untuk ketujuh kalinya.
"Begitu palu sidang saya ketukkan, meleset, bagian kepalanya patah, kemudian terlempar ke depan...," ungkap Ketua DPR-MPR periode 1997-1999 Harmoko dalam buku Berhentinya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Harmoko.
Patahnya palu sidang itu terjadi saat Sidang Paripura ke-V, penutupan sidang MPR, 11 Maret 1998.
Sidang tersebut menandai terpilihnya lagi Soeharto menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya.
Seperti biasa, sebagai pimpinan sidang, Harmoko menutup sidang dengan mengetukkan palu sebanyak tiga kali.
Tapi, hari itu, palu sidang patah saat diketukkan. Kepala palu terlempar ke depan meja jajaran anggota MPR.
Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut, putri sulung Presiden Soeharto, ada di barisan terdepan dan berhadapan langsung dengan kursi pimpinan dewan.
Kejadian tersebut sedikit mengguncang Harmoko.
Sebab, insiden patahnya palu sidang baru kali pertama terjadi dalam sejarah persidangan MPR yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
"Bahwa hati saya bertanya-tanya," ujarnya
Usai sidang, seperti biasa pula, Harmoko mendampingi Presiden Soeharto meninggalkan ruang sidang paripurna.
Pertanyan-pertanyaan dalam benaknya tak kunjung sirna saat ia berjalan di atas karpet mengantarkan Presiden Soeharto menuju lift di Gedung MPR-DPR.
Sesampainya di depan lift, Harmoko menyatakan permohonan maaf kepada Presiden Soeharto.
"Saya minta maaf, palunya patah. Lantas Pak Harto hanya tersenyum sambil menjawab 'barangkali palunya kendor'," kata dia.
(Kompas.com)
Tautan: