Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Hardiknas 2021

Makna Semboyan Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, Sosok Pencetusnya

Semboyan Ki Hajar Dewantara sampai saat ini masih digunakan di dunia pendidikan. Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. 

Penulis: Aldi Ponge | Editor: Aldi Ponge
Tribun Kaltim
Semboyan Ki Hadjar Dewantara 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Inilah makna semboyan Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani

Pencetus semboyan ini adalah Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara.

Ki Hajar Dewantara lahir di Kadipaten Paku Alaman, Yogyakarta, pada 2 Mei 1889.

Kini hari lahirnya dipeingati sebagai Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas.

Ki Hajar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 1959.

Semboyan terkenal milik Ki Hajar Dewantara yang hingga kini masih digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Ki Hajar Dewantara mendapat julukan sebagai Bapak Pendidikan karena beliau berhasil mendirikan sebuah sekolah bernama Perguruan Nasional Taman Siswa.

Ki Hajar Dewantara membuat tiga buah semboyan saat mendirikan Taman Siswa tersebut.

Semboyan Ki Hajar Dewantara sampai saat ini masih digunakan di dunia pendidikan.

Ki Hajar Dewantara yang lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 menggunakan bahasa Jawa untuk membuat tiga semboyan bagi para pengajar dalam dunia pendidikan Indonesia. Semboyan tersebut adalah:

  • Ing Ngarsa Sung Tulada artinya dari depan, seorang pendidik harus memberikan teladan yang baik.Makna dari Ing

Ngarsi Sun Tulodo dapat diartikan bahwa sebagai seorang pemimpin, harus memiliki sikap serta perilaku yang patut untuk menjadi di contoh oleh pengikutnya.

  • Ing Madya Mangun Karsa artinya dari tengah, seorang pendidik harus dapat menciptakan prakarsa atau ide.

Ing Madyo Mbangun Karso dapat diartikan bahwa seorang pemimpin juga harus bisa berada di tengah-tengah untuk dapat membangkitkan atau membentuk niat para pengikutnya untuk terus maju dan melakukan inovasi.

  • Tut Wuri Handayani artinya dari belakang, seorang pendidik harus bisa memberi arahan.

Kalimat terakhir adalah “Tut Wuri Handayani” yang berarti bahwa seorang pemimpin jika berada di belakang.

Kalimat terakhir ini pun dapat diartikan harus dapat memberikan motivasi serta dorongan untuk semangat kerja bagi para pengikutnya.

Ing Ngarsa Sung Tulada

Semboyan pertama adalah ing ngarsa sung tulada, yang jika diuraikan satu persatu, terdiri dari kata ing yang berarti "di", ngarsa yang berarti "depan", sung berarti "jadi", dan tulada yang merupakan "contoh" atau "panutan".

Kalimat tersebut, bisa disimpulkan bahwa semboyan Ki Hajar Dewantara yang pertama ini mempunyai arti "di depan menjadi contoh atau panutan".

Ini artinya, seorang guru, pengajar, atau pemimpin harus bisa memberikan contoh serta panutan kepada orang lain di sekitarnya saat ia berada di depan.

Ing Madya Mangun Karsa

Ing artinya "di", madya memiliki arti "tengah", sedangkan mangun berarti "membangun" atau "memberikan", dan karsa memiliki arti "kemauan", "semangat", atau "niat".

Jika digabungkan, semboyan ing madya mangun karsa memiliki arti yaitu "di tengah memberi atau membangun semangat, niat, maupun kemauan".

Semboyan ing madya mangun karsa memiliki makna bahwa ketika guru atau pengajar berada di tengah-tengah orang lain maupun muridnya, guru harus bisa membangkitkan atau membangun niat, kemauan, dan semangat dalam diri orang lain di sekitarnya.

Tut Wuri Handayani

Kalau semboyan ketiga yang diciptakan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu tut wuri handayani mungkin sudah tidak asing, nih, bagi teman-teman.

Coba teman-teman perhatikan lambang pendidikan nasional yang ada di topi maupun dasi yang teman-teman gunakan setiap hari.

Di bagian atas lambang pendidikan nasional tersebut, ada tulisan tut wuri handayani yang juga merupakan semboyan ketiga yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara.

Kata tut wuri dapat diartikan sebagai "di belakang" atau "mengikuti dari belakang" dan handayani yang berarti "memberikan dorongan" atau "semangat".

Bisa diartikan tut wuri handayani memiliki arti "di belakang memberikan semangat atau dorongan".

Makna dari semboyan ketiga ini berarti ketika berada di belakang, pengajar atau guru harus bisa memberikan semangat maupun dorongan kepada para muridnya.

Dari tiga semboyan yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara, semuanya masih digunakan sebagai pedoman para guru bahkan salah satunya digunakan untuk semboyan pendidikan di Indonesia.

Sosok Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara lahir di Kadipaten Paku Alaman, Yogyakarta, pada 2 Mei 1889 dan wafat pada tanggal 26 April 1959.

Ki Hajar Dewantara memiiki nama kecil yakni Soewardi Soerjaningrat.

Baru pada 1922, nama Soewardi Soejaningrat ini diubah menjadi Ki Hajar Dewantara.

Ki Hajar Dewantara diketahui sebagai anggota keluarga Kadipaten Pakualaman karena di depan namanya disematkan gelar 'Raden Mas', sehingga menjadi Raden Mas Soewardi Soerdjaningrat.

Ia menamatkan pendidikan di sekolah dasar Eropa/ Belanda dan melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera).

Ki Hajar Dewantara tumbuh menjadi salah satu aktivis dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Ki Hajar Dewantara lahir dari keluarga kaya Indonesia selama era kolonialisme Belanda.

Ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan.

Hari nasional ini ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.

Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Belanda, dan ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia.

Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai menteri pendidikan setelah kemerdekaan Indonesia.

Ia juga menjadi kolumnis, politisi dan pelopor pendidikan bagi pribumi Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda.

Lalu, ia mendirikan sekolah yang bisa diakses oleh semua pribumi dan rakyat jelata yang bernama Taman Siswa.

Karena pengabdiannya, Ki Hadjar Dewantara diabadikan dalam sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara.

Tanggal kelahirannya juga diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional sampai sekarang.

Pada 28 November 1959, Ki Hajar dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang ke dua oleh Presiden Indonesia pertama, Soekarno.

Selain kapal, potret wajah Ki Hajar Dewantara juga diabadikan pada uang kertas pecahan Rp 20 ribu edisi 1998.

Perjalanan Hidup Ki Hajar Dewantara

Soewardi atau Ki Hajar yang sempat belajar di Sekolah Dokter Bumiputera, STOVIA terpaksa tidak bisa menamatkan pendidikannya karena sakit.

Tapi kemudian, Ki Hajar bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar.

Seperti Sediotomo, Java, De Expres, Oetosan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.

Ki Hajar dikenal sebagai penulis yang handal pada masanya.

Tulisannya sangat komunikatif dan sarat akan semangat akan antikolonial.

Ki Hajar Dewantara juga pernah menjadi wartawan dan aktif dalam organisasi sosial dan politik.

Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO), ia aktif sebagai seksi propaganda yang bertugas mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya persatuan dan kesatuan berbangsa.

Kongres pertama Boedi Oetomo yang diadakan di Yogyakarta juga dikoordinir oleh dirinya.

Soewardi muda juga menjadi anggota Insulinde, sebuah organisasi multietnik yang didominasi kaum pribumi yang memperjuangkan berdirinya pemerintahan sendiri di Hindia Belanda.

Rupanya ini merupakan pengaruh dari Ernest Douwes Dekker, pendiri Indische Partij.

Berdirinya Taman Siswa

Dan ketika Ki Hadjar Dewantara telah kembali ke Indonesia, ia mendirikan sekolah Taman Siswa pada 3 Juli 1922.

Konsep pendidikan yang diajarkan di sekolah Taman Siswa, lalu menjadi konsep pendidikan nasional Indonesia.

Lalu muncullah semboyan KI Hajar Dewantara soal pendidikan.

Semboyan itu tertulis dalam bahasa Jawa yang berbunyi, 'Ing ngarso sung tuladha, ing madya membangun, tut wuri handayani'.

Artinya 'di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan'.

semboyan ciptaan Ki Hajar Dewantara tersebut sampai kini slogan Kementerian Pendidikan Indonesia. 

Dimana Ki Hadjar Dewantara dianggap sebagai pahlawan yang sangat berjasa bagi kemajuan dunia pendidikan Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa yang merupakan sebuah tempat yang memberikan kesempatan bagi penduduk pribumi biasa untuk dapat menikmati pendidikan yang sama dengan orang-orang dari kasta yang lebih tinggi.

Sebab pada zaman penjajahan Belanda, pendidikan merupakan hal yang sangat langka dan hanya orang-orang terpandang serta orang-orang asli Belanda sendiri yang diperbolehkan untuk mendapatkan pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara juga terkenal dengan tulisannya, dimana seringkali terlibat masalah dengan Belanda akibat dari tulisan-tulisan yang tajam yang ditujukan untuk pihak Belanda.

Salah satu tulisan yang terkenal adalah Als Ik Eens Nederlander Was, yang dalam bahasa Indonesia berarti Seandainya Saya Seorang Belanda.

Karena tulisan tersebut Ki Hadjar Dewantara akhirnya dibuang ke Pulau Bangka oleh Belanda.

Namun pada akhirnya Ki Hadjar Dewantara mendapatkan bantuan dari Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesumo yang meminta agar dipindahkan ke Belanda.

Dan ketika Ki Hadjar Dewantara telah kembali ke tanah air, lalu mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922, dimana lembaga tersebut menjadi tolak ukur dari awal konsep pendidikan nasional Indonesia.

Asal Usul Nama dan Kehebatan Di balik Nama Besarnya

Dari mana nama Ki Hajar Dewantara?

Dalam buku Ki Hajar Dewantara Ayahku, Bambang Sokawati Dewantara mengisahkan hal itu.

Tanggal lahir lelaki yang bernama awal Raden Mas Suwardi Suryaningrat ini adalah 2 Mei 1889.

"Bapakmu memang hebat! Begitu yakinnya dia pada kepribadiannya, maka ia pakai nama itu untuk dirinya: Ki Hadjar Dewantara." Begitu kata Hendra Gunawan (pelukis) kepada Bambang, yang langsung menukas, "Di mana letak kehebatannya?"

"Bukankah nama itu nama seorang Guru Besar yang berhasil menyatukan aliran-aliran agama dan kepercayaan di seluruh Jawa Dwipa di zaman karuhun?" (karuhun, bahasa Sunda, artinya nenek moyang, leluhur)

Karena penasaran, Bambang pun menanyakan hal itu ke bapaknya langsung. Inilah yang kemudian dituliskan di bukunya itu.

Seperti diketahui, berdirinya Tamansiswa (3 Juli 1922) diawali dengan terbentuknya suatu forum diskusi yang terdiri atas orang-orang politik, orang-orang kebudayaan, dan filosof.

Karena diskusi diadakan tiap hari Selasa Kliwon, maka mereka menamakan diri "kelompok Selasa Kliwonan".

Pemimpinnya Ki Ageng Suryomentaram, adik mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Dalam diskusi atau sarasehan kelompok ini, rupanya kemampuan Suwardi Suryaningrat dalam hal ilmu keguruan dan pendidikan memang sangat menonjol.

Hal ini tampak ketika RM Sutatmo (anggota Volksraad/Boedi Oetomo) memimpin sidang.

Dengan spontan dan serius ia mengubah kebiasaannya memanggil adik sepupunya itu tidak lagi "Dimas Suwardi" sebagaimana lazim dilakukannya.

Akan tetapi ia memanggilnya dengan sebutan Ki Ajar.

Cara ini kemudian diikuti oleh Ki Ageng Suryoputro (RMA Suryoputro), dan anggota lainnya.

Saat itu Suwardi menerima julukan yang diberikan oleh Ki Sutatmo Suryokusumo dan Ki Ageng Suryoputro dan kawan-kawannya sebagai kelakar semata.

Namun sesudah Tamansiswa berdiri, selama 6 tahun, pada tanggal 3 Februari 1928 Suwardi dan istri secara resmi berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara (Aldi Ponge/berbagai Sumber)

SEBAGIAN ARTIKEL TERBIT DI: Sejarah Hari Pendidikan dan Sosok Ki Hajar Dewantara, Biografi Lengkap dan Sejarah Taman Siswa

Berita Terkait Hardiknas 2021

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved