Shalat
Hukum Shalat Jumat Online Saat Pandemi Covid-19
Berikut penjelasan dan sikap Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Hal ini karena salah satu protokol kesehatan terkait pandemi Covid-19 adalah tidak boleh berkerumun atau mengumpulkan banyak orang di suatu tempat.
Jadi, ibadah Jumat online, selanjutnya cukup disebut shalat Jum‘at online, merupakan persoalan kekininan yang belum pernah dipraktikkan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam.
Shalat Jum‘at online ini termasuk persoalan ijtihādī, sehingga memunculkan ragam pendapat dalam memahaminya.
Dari uraian tentang hukum dan tata cara shalat Jum‘at di atas, dapat diketahui bahwa shalat Jum‘at yang dilakukan secara online ternyata mengandung beberapa problematika, di antaranya adalahL
Pertama: shalat Jum‘at adalah ibadah yang bersifat ta‘abbudī dan termasuk dalam kelompok ibadah yang khās (khusus) atau ma ah, sehingga perincian-perinciannya telah ditetapkan oleh nas al-Qur’an dan Sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam.
Oleh sebab itu dalam shalat Jum‘at tidak diperkenankan adanya kreasi selain apa yang telah dituntunkan. Meng-online-kan shalat Jum‘at termasuk kreasi yang sejatinya tidak diperkenankan.
Ini berbeda dengan akad nikah misalnya, yang merupakan bentuk ibadah muamalat, sehingga memungkinkan adanya kreasi seperti akad nikah dengan bahasa selain bahasa Arab, akad nikah melalui surat atau pun akad nikah secara online.
Kedua: shalat Jumat online tidak sesuai dengan tuntunan shalat Jumat, khususnya tentang kesatuan tempat secara hakiki (nyata), bukan virtual, ketersambungan jamaah, posisi imam dan makmum serta beberapa keutamaan shalat jamaah.
Dalam shalat Jumat online, tentu kesatuan tempat secara hakiki (nyata) tidak tercapai, karena jamaah shalat Jum‘at online bisa berada di mana pun sesuai dengan keberadaan masing-masing jamaah.
Ketersambungan jamaah juga tidak bisa dicapai karena jamaah ada di berbilang tempat dan lokasi.
Demikian pula posisi imam dan makmum menjadi tidak jelas siapa yang di depan dan siapa yang di belakang serta tidak berlaku lagi ketentuan lurusnya shaf shalat.
Ketiga: rukhsah untuk ditinggalkannya shalat Jum‘at adalah diganti dengan shalat Zuhur.
Hal ini, selain memang sudah diterangkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam pada penjelasan di atas, mengambil shalat Zuhur sebagai rukhsah juga sebagai jalan memilih hal yang lebih mudah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam menuntunkan bahwa ketika memilih di antara dua perkara, maka dipilihlah yang paling mudah dilakukan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا [رواه البخاري].