Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sosok Tokoh

Masih Ingat Agus Rahardjo? Eks Ketua KPK Ini Ungkap Hukuman yang Paling Tepat Bagi Seorang Koruptor

Agus Rahardjo menyebut Indonesia dapat mencontoh negara Singapura dalam menghukum para pejabat koruptor.

Google.com
Agus Rahardjo 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Masih ingat Agus Rahardjo?

Agus Rahardjo merupakan Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Agus Rahardjo adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia periode 2015-2019.

Agus Rahardjo terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid keempat didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 133/P/2015 tentang Pengangkatan Pimpinan KPK masa bakti 2015-2019.

Ketua KPK periode 2015-2019 <a href='https://manado.tribunnews.com/tag/agus-rahardjo' title='Agus Rahardjo'>Agus Rahardjo</a> berjabat tangan dengan Ketua KPK Firli Bahuri usai upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Presiden Joko Widodo melantik lima pimpinan KPK periode 2019-2023 yakni Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango dan Nurul Ghufron. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Lama tak terdengar, kini Agus Rahardjo mengomentari soal kasus yang menyeret dua nama di kabinet Joko Widodo.

Ia menyebut Indonesia dapat mencontoh negara Singapura dalam menghukum para pejabat koruptor.

Menurutnya, hukuman yang paling tepat bagi koruptor ialah mematikan eksistensi sosial mereka.

"Kalau saya, tepat apa yang dilakukan Singapura. Hukuman koruptor itu bukan mati, tapi eksistensi sosialnya dimatikan," kata Agus, dikutip dari diskusi virtual YouTube Medcom.id, Minggu (21/2/2021).

Eksistensi yang dimaksud, koruptor tak dapat menikmati fasilitas apapun setelah tertangkap, seperti dilarang memiliki rekening dan mendirikan usaha.

Lalu, harta kekayaan yang dimiliki koruptor juga dapat disita negara sampai habis.

"Jadi, dimiskinkan dulu. Harta yang dinikmati kemudian dirampas semua." 

"Setelah dikembalikan kerugian negara, eksistensi berikutnya seperti bukan manusia lagi."

"Sampai punya rekening enggak boleh, punya usaha enggak boleh," terang mantan Ketua KPK itu.

Pernyatan Agus itu dikeluarkan dalam menanggapi statement Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej beberapa waktu lalu.

Dimana, Eddy mengatakan hukuman mati layak bagi koruptor, khususnya pada kasus dugaan suap Eks Menteri KKP Edhy Parbowo dan Eks Mensos Juliari P. Batubara.

Selain itu, Agus menekankan, pemerintah perlu memperbaiki sistem yang ada untuk menutup celah korupsi.

Bukan hanya memikirkan persoalan hukuman apa yang setimpal.

"Perlu didukung terus untuk perbaikan sistem kita. Jadi banyak yang nyebut, sistem pendidikan."

"Sistem reformasi pegawai negeri, itu yang penting," pungkas Agus.

Ketua KPK Agus Rahardjo usai memberi keterangan pers terkait penyidikan perkara korupsi sektor infrastruktur di Gedung KPK, Jalan Rasuna Persada, Jakarta Selatan, Senin (17/12/2018)
Ketua KPK Agus Rahardjo usai memberi keterangan pers terkait penyidikan perkara korupsi sektor infrastruktur di Gedung KPK, Jalan Rasuna Persada, Jakarta Selatan, Senin (17/12/2018) (Warta Kota/Henry Lopulalan)

Sosok Agus Rahardjo

Agus Rahardjo dilantik Presiden Joko Widodo pada 21 Desember 2015.

Agus Rahardjo resmi menjadi insinyur Indonesia pertama yang memimpin lembaga penegakan hukum tanpa latar belakang pendidikan tinggi formal hukum dan pengalaman karier di lembaga penegakan hukum sekaligus sepanjang sejarah Republik Indonesia.

Agus Rahardjo adalah orang pertama yang menjabat Ketua KPK tanpa latar belakang pendidikan formal hukum dan pengalaman di lembaga penegakan hukum.

Ia termasuk satu di antara 50 orang yang khusus dihubungi panitia seleksi (pansel) untuk mendaftar menjadi komisioner periode 2015-2019.

Dalam voting yang diikuti sebanyak 54 Anggota Komisi III DPR RI, Agus Rahardjo mendapatkan perolehan suara sebanyak 53 suara, Basaria Pandjaitan, sebanyak 51 suara, Alexander Marwata, sebanyak 46 suara, Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang masing-masing mendapatkan sebanyak 37 suara.

Pada 17 Desember 2015, Komisi Hukum DPR RI menetapkan Agus Rahardjo sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia terpilih periode 2015-2019, dan pada 18 Desember 2015, Sidang Paripurna DPR RI mengesahkan hasil penetapan pemilihan lima komisioner KPK.

Agus Rahardjo adalah Insinyur teknik sipil, lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya. tahun 1984.

Ia bercita-cita menjadi seorang kontraktor, namun nasib membawanya menjadi pegawai negeri sipil.

Agus Rahardjo memulai pengabdian publik di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Pada tahun 2006, Rahardjo mengabdi sebagai Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik (PPKPBJ).

Dalam ajang Debat Pilpres 2019, dia menjadi salah satu tim Panelis.

Selain Agus Rahardjo, dalam debat yang berlangsung pada tanggal 17 Januari 2019 itu terdapat panelis lainnya yaitu Bagir Manan, Hikmahanto Juwana, Ahmad Taufan Damanik, Bivitri Susanti dan Margarito Kamis.

Wamenkumham: Edhy Prabowo dan Juliari Batubara Layak Dituntut Pidana Mati

Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menilai, dua mantan menteri di Kabinet Indonesia Maju, yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara layak untuk dituntut dengan ancaman hukuman mati.

Hal ini disampaikan Eddy Hiariej, sapaan Edward Omar Hiariej, saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional: Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakkan Hukum di Masa Pandemi yang ditayangkan secara daring di akun YouTube Kanal Pengetahuan FH UGM, Selasa (16/2/2021).

"Kedua mantan menteri ini (Edhy Prabowo dan Juliari Batubara) melakukan perbuatan korupsi yang kemudian terkena OTT KPK.

Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara menjalani pemeriksaan lanjutan kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.

Bagi saya mereka layak dituntut Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mana pemberatannya sampai pidana mati," ucap Omar dalam acara tersebut, diberitakan Tribunnews sebelumnya.

Diketahui, Edhy Prabowo merupakan tersangka penerima suap kasus dugaan suap izin ekspor benih bening lobster.

Edhy ditetapkan tersangka bersama enam orang lainnya setelah ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilancarkan KPK pada 25 November 2020.

Sekitar 10 hari kemudian atau tepatnya pada Minggu (6/12/2020), KPK menjerat Juliari Batubara selaku Menteri Sosial dan empat orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait bantuan sosial (bansos) untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.

Menurut Eddy Hiariej, kedua mantan Menteri itu layak dituntut hukuman mati karena melakukan praktik korupsi di tengah pandemi Covid-19.

Selain itu, korupsi tersebut dilakukan dengan memanfaatkan jabatan yang mereka emban sebagai menteri.

Tersangka mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan, di Jakarta Selatan, Senin (18/1/2021). Edhy Prabowo diperiksa terkait kasus dugaan suap ekspor benih lobster. Tribunnews/Irwan Rismawan

"Jadi dua yang memberatkan itu dan itu sudah lebih dari cukup dengan Pasal 2 Ayat 2 UU Tipikor," tegasnya.

Ancaman hukuman mati tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Sementara Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Sedangkan penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan, "Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi."

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Eks Ketua KPK: Hukuman bagi Koruptor Bukan Mati, tapi Eksistensi Sosial Dimatikan

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved