Internasional
Pemerintah China Persulit Proses Perceraian, Masyarakat Berbondong-bondong Ajukan Gugatan
Pemerintah China berharap dengan adanya Undang-Undang tersebut bisa mengekang perceraian impulsif.
TRIBUNMANADO.CO.ID, BEIJING - Pemerintah China dikabarkan akan membuat Undang-Undang (UU) baru yang bisa membuat proses perceraian lebih sulit dan lama prosesnya.
Hal ini membuat masyarakat negeri Tirai Bambu yang ingin cerai dengan pasangannya bergegas mengajukan guugatan cerai sebelum semuanya menjadi lebih sulit.
Sebernarnya, UU tersebut sudah disahkan pada Mei tahun lalu, tetapi baru akan diberlakukan tahun ini.
Isi beleid baru ini mengharuskan pasangan mengambil "masa tenang" selama 30 hari sebelum benar-benar mengajukan gugatan cerai.
Jika selama periode masa tenang tersebut salah satu pasangan membatalkan perceraian, pihak yang dirugikan harus mengajukan cerai lagi dan kembali memasuki masa tenang selama 30 hari juga.

Cheng Xiao, wakil presiden dan profesor Fakultas Hukum Universitas Tsinghua, mengatakan undang-undang itu dimaksudkan untuk mengekang perceraian "impulsif".
"Mereka mungkin bertengkar tentang urusan keluarga dan mereka bercerai karena marah. Setelah itu, mereka mungkin akan menyesalinya. Kita perlu mencegah perceraian impulsif semacam ini," katanya kepada surat kabar Chengdu, The Guardian melaporkan.
Langkah ini dipandang oleh sebagian orang sebagai cara bagi China, untuk mencegah pasangan yang frustrasi agar tidak berpisah.
“Negeri Tirai Bambu” menempatkan "keharmonisan keluarga" di pusat budayanya.
Business Insider melaporkan, pemimpin China berharap karantina akan menyebabkan ledakan bayi.
Tetapi menurut para ahli, populasi negara itu justru mengarah ke periode "pertumbuhan negatif".
Pasca karantina, banyak pasangan China tetap ingin melarikan diri satu sama lain dengan bercerai.

South China Morning Post (SCMP) bahkan mewartakan, calo online justru “panen” selama pandemi dengan menjual slot janji temu dengan pengacara perceraian.
Tingkat perceraian terus meningkat di China selama lima belas tahun terakhir ini, sejak aturan tentang pembubaran perkawinan agak longgar.
Menurut Bloomberg, pada 2003 setidaknya ada 1,3 juta pasangan bercerai.
Tetapi pada 2018, jumlahnya meningkat menjadi 4,5 juta.
Undang-undang “waktu tunggu” ini dikatakan membuat pengecualian dalam kasus KDRT, menurut SCMP.
Tetapi pengacara yang berbicara kepada outlet tersebut mengatakan bahwa pada kenyataannya, hal itu akan semakin memperumit masalah bagi korban KDRT.
Masalahnya, pria dapat memutuskan apakah mereka ingin menceraikan atau mencabut lamaran mereka.
Baca juga: SINOPSIS Ikatan Cinta Rabu 17 Februari 2021: Elsa Semakin Berkelit, Andin Meleleh Lihat Kegigihan Al
Jika seorang wanita ingin dan pria tidak, wanita kemudian harus mengajukan tuntutan, menyewa pengacara dengan biaya pribadi dan finansial yang besar.
“Banyak wanita, terutama ibu rumah tangga penuh waktu, tidak dalam posisi untuk melakukan ini (tuntutan hukum)," Zhong Wen, seorang pengacara perceraian yang berbasis di provinsi Sichuan, mengatakan kepada outlet tersebut.
China, tambahnya, tidak memiliki jaringan yang kuat untuk perlindungan dan sumber kekerasan dalam rumah tangga.
Artinya jika seorang wanita berhasil melarikan diri dari pasangannya yang kasar, dia mungkin tidak punya tempat tujuan.
Lusinan negara bagian AS juga memerlukan waktu tunggu.

Sebagian besar negara bagian membutuhkan antara 30 dan 60 hari sebelum mengajukan perceraian.
Ohio, New York, Wyoming, Virginia, Illinois, Hawaii, New Jersey, Minnesota, Alaska, dan Maine tidak memerlukan waktu tunggu sama sekali.
Sedangkan Maryland membutuhkan satu tahun penuh.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "UU Baru Pernikahan Persulit Perceraian, Pasangan di China Panik Buru-buru Ajukan Gugatan".