Din Syamsuddin
Gus Yaqut Bela Din Syamsuddin: Kritik Pak Din Harus Didengar
Din dilaporkan ke Badan Kepegawaian Negara(BKN) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) oleh sejumlah alumni Institut Teknologi Bandung (ITB)
TRIBUNMANADO.CO.ID - Sejumlah tokoh ramai-ramai membela mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.
Din dilaporkan ke Badan Kepegawaian Negara(BKN) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) oleh sejumlah alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang tergabung dalam Gerakan Anti Radikalisme (GAR).
Din saat ini memang masih menjabat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan jabatan dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Mahfud bilang, Din Syamsuddin bukan tokoh yang radikal sebagaimana dituduhkan.
"Pemerintah tetap menganggap Pak Din Syamsudin itu adalah tokoh yang kritis yang kritik-kritiknya harus kita dengar," kata Mahfud, Minggu (14/2/2021).
Selama ini, kata, Mahfud, pemerintah tidak pernah sedikit pun menyalahkan berbagai kritik yang disampaikan oleh Din Syamsuddin. Dia memastikan pemerintah menghormati kritik yang disampaikan alumnus universitas California tersebut.
"Coba lihat, apakah pemerintah pernah menyalahkan pak Din Syamsuddin? Apalagi sampai memprosesnya secara hukum? Tidak pernah. Dan Insyaallah tidak akan pernah karena kita sudah anggap beliau tokoh," jelas dia.
Lebih lanjut, ia memastikan pemerintah tidak pernah menangkap tokoh-tokoh yang kritis. Sebaliknya, ia tidak pernah meragukan kiprah Din Syamsuddin sebagai salah satu tokoh di Indonesia.
"Tidak ada niat pemerintah itu meragukan kiprah Pak Din Syamsuddin di dalam bangsa dan bernegara. Karena dia sebagai orang yang kritis terhadap pemerintah itu kita senang karena pemerintah itu senang kalau orang kritik," ujar Mahfud.
Pembelaan juga datang dari Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang meminta semua pihak untuk tidak mudah memberikan label radikal kepada seseorang atau kelompok. Penyematan predikat negatif tanpa dukungan data dan fakta yang memadai menurut Yaqut, dapat berpotensi merugikan pihak lain.
“Kita harus seobjektif mungkin dalam melihat persoalan, jangan sampai gegabah menilai seseorang radikal misalnya,” ujar Yaqut.
Yaqut menegaskan, terkait dugaan pelanggaran Din Syamsuddin yang statusnya masih sebagai dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sebenarnya telah jelas ada regulasi yang mengaturnya. Prosedur penyelidikan, menurutnya, telah diatur secara komprehensif oleh negara, antara lain melalui inspektorat maupun KASN.
Dengan dasar tersebut, Yaqut berharap, semua pihak untuk mendudukkan persolan ini dengan proporsional. Dirinya meminta jangan sampai ada kelompok yang mudah menyematkan predikat radikal kepada Din Syamsuddin. "Persoalan disiplin, kode etik dan kode perilaku ASN sudah ada ranahnya. Namun, jangan sampai kita secara mudah melabeli Pak Din radikal dan sebagainya," ucap Yaqut.
Stigma atau cap negatif, menurut Yaqut, seringkali muncul karena terjadinya sumbatan komunikasi. Dirinya menegaskan pentingnya menciptakan pola komunikasi yang cair dan dua arah.
Stigma radikal juga bisa jadi muncul karena seseorang kurang memiliki informasi dan data yang memadai terhadap sikap atau perilaku orang lain.
“Dengan asumsi itu, maka klarifikasi atau tabayyun adalah menjadi hal yang tak boleh ditinggalkan dalam kerangka mendapat informasi valid," tutur Yaqut. Dengan model tabayyun ini, maka hakikatnya seseorang atau kelompok juga akan terhindar dari berita palsu atau hal-hal yang bernuansa fitnah.
Sementara itu Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Sukamta melihat persoalan ini bukan sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Sukamta melihat hal itu merupakan cerminan semakin bobroknya moral sebagian elite dan tokoh yang ditunjukkan dengan lebih mengedepankan sikap permusuhan dibandingkan dialog.
"Sedikit-sedikit sekarang melaporkan dengan tuduhan intoleran dan radikal, ini sesungguhnya mereka yang melaporkan ini menunjuk muka mereka sendiri sebagai orang intoleran dan suka menebar kebencian," kata Sukamta.
"Ini sangat memprihatinkan karena sikap elit dan tokoh yang seperti ini akan mendorong narasi kebencian meluas ke masyarakat. Akibatnya semakin mempertajam pembelahan di tengah masyarakat yang selama ini sudah terjadi. Sangat berbahaya kondisi seperti ini bagi masa depan Indonesia. Mestinya saat ini elit dan tokoh berikan contoh dengan kedepankan dialog, bukan permusuhan," tambahnya.
Sukamta menyebutkan apabila sejumlah pihak yang melaporkan Din Syamsudin ini dilatarbelakangi tujuan membungkam kelompok kritis, maka ini salah besar dan akan jadi blunder atas pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang minta masyarakat untuk kritis.
"Pak Din itu selama ini dikenal sebagai tokoh yang mengedepankan dialog dan mendorong moderasi. Tuduhan radikal ini kan asal banget, sangat mungkin ada pesanan terkait kejadian ini. Beruntung tidak sedikit tokoh seperti dari Ormas Muhammadiyah dan NU yang memberi kesaksian Pak Din adalah tokoh moderat, bukan radikal. Saya kira ini bukti otentik bahwa tuduhan radikal itu absurd," ujarnya.
Anggota Komisi I DPR RI ini menilai Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (Perpres RAN PE) yang belum lama ini dikeluarkan pemerintah akan rawan disalahgunakan oleh elite dan tokoh yang punya watak permusuhan. Mengingat di dalam Perpres tersebut disebutkan adanya pelatihan pemolisian masyarakat.
"Ini yang sejak awal saya kritisi, jangan sampai masyarakat didorong untuk merespon peristiwa dengan sedikit-sedikit memunculkan prasangka negatif, apalagi definisi ekstemisme atau radikalisme bisa subjektif," ucapnya.
"Sementara orang yang mendapat tuduhan seperti itu akan rusak nama baiknya karena terlanjur tersebar luas pemberitaannya melalui media massa dan media sosial. Yang seperti ini bisa mengarah kepada pembunuhan karakter, ini tentu akan membahayakan demokrasi," lanjutnya.
Angggota DPR RI asal Yogyakarta ini berharap pemerintah harus ikut turun tangan untuk mendorong dialog antar elit dan tokoh.
"Saya kira ini yang terasa kering sejak Pemilu 2014, tidak ada dialog antar elit dan tokoh, di pusat maupun daerah. Api permusuhan seakan dibiarkan tetap menyala antar pihak pro dan kontra. Yang demikian ini jika dibiarkan akan merusak sendi-sendi kerukunan Bangsa dan Bhineka Tunggal Ika. Oleh sebab itu pemerintah harus bisa hadir di tengah semua pihak," pungkasnya.
Fraksi PAN DPR RI juga menyayangkan tuduhan terhadap Din Syamsuddin yang disebut sebagai seorang yang radikal. Sebab, makna radikal itu sendiri sebetulnya belum dipahami secara utuh oleh mereka yang melabeli itu.
Atas dasar itu, Fraksi PAN meminta agar pelaporan dan labelisai radikal terhadap Mantan Ketum PP Muhammadiyah itu. "Istilah radikal tidak selamanya buruk. Namun, ketika diaporkan ke KASN berarti makna radikal itu sendiri menjadi jelek dan buruk," kata Ketua Fraksi PAN DPR Saleh Partaonan Daulay.
"Saya mendorong agar pelaporan dan labelisasi radikal kepada Prof. Din Syamsuddin segera dicabut. Banyak orang yang tersinggung. Tidak hanya Pak Din, tetapi juga banyak kalangan dari berbagai latar belakang. Lebih baik kita fokus merajut kohesivitas dalam menangani pandemi ini. Kita hindari segala hal yang memancing kegaduhan," lanjutnya.
Saleh mengungkapkan bahwa Din Syamsuddin itu selalu menggelar dialog interfaith, dialog antaragama, serta dialog antarperadaban. Dan beliau itu ikut di dalam organisasi-organisasi interfaith seperti itu bukan hanya di Indonesia, tetapi dunia internasional.
Bahkan, beliau itu pernah juga bicara di PBB, terkait dengan bagaimana Indonesia bisa membangun hubungan yang sangat harmonis, kemudian meningkatkan kohesivitas sosial yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
"Semua orang bisa mendengar ceramah beliau di PBB, itu ada di youtube, silakan saja, masih terekam dengan bagus. Kemudian, saya sebagai pribadi, menganggap dekat dengan Din Syamsuddin, karena apa? Beliau itu senior saya di Muhamamdiyah, senior saya di Pemuda Muhammadiyah, dan bahkan beliau dosen saya di UIN Syarif Hidayatullah," ucapnya.
Dikatakan Saleh, mata kuliah yang Din Syamsuddin ajarkan adalah mata kuliah yang sangat modern, terutama tentang pemikiran Islam kontemporer. Pemikiran Islam kontemporer yang diajarkan itu di dalamnya ada toleransi, ada dialog, ada civil society dalam perspektif Islam, dan seterusnya.
Karena itu, Saleh paham betul bagaimana pemikiran dan gerakan Pak Din Syamsuddin.
"Kalau misalnya beliau mungkin menyampaikan satu, dua kritik kepada pemerintah, itu harus dipastikan bahwa kritik beliau itu dalam konteks membangun Indonesia," ujarnya.
Saleh mengatakan, tentu di dalam sistem demokrasi yang kita anut seperti ini harus ada juga kritik yang konteksnya membangun. Saleh memastikan bahwa Din Syamsuddin tidak ada niat sedikit pun berniat buruk, berniat jahat dan membenci dalam kritiknya itu.
Hal itu harus dimaknai sebagai tugas beliau sebagai seorang profesor, tugas beliau sebagai tokoh umat, tokoh bangsa dan juga sebagai warga negara. "Presiden (Joko Widodo) kan juga sudah menyatakan enggak apa-apa kalau dikritik. Kenapa kok ada sekelompok kecil orang di ITB yang mengatakan seperti itu," pungkasnya.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Anwar Abbas menilai, langkah yang dilakukan GAR ITB ini tidak tepat. Dirinya juga menyayangkan hal tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan apa yang terpikirkan Anwar sebelumhnya mengenai nilai moral dari lulusan institusi pendidikan tersebut.
Hal itu karena menurutnya lembaga pendidikan harus bisa menjunjung tinggi ilmu, artinya peduli kebenaran, oleh karenanya harus terbuka terhadap kritik terlebih yang sifatnya konstruktif.
"Timbul pertanyaan kok ada alumni ITB yang alergi dengan kritik, jangan-jangan bukan alumni ITB, mereka memang alumni ITB tapi tidak memahami ITB," katanya saat dihubungi Tribun via sambungan suara.
Terkait hal tersebut, Mantan Bendahara Umum PP Muhammadiyah ini mengingatkan bahwasanya tugas sebagai mahasiswa serta sebagai dosen yakni mencari kebenaran, menegakkan kemudian memperjuangkan kebenaran. Itu karena menurutnya segala kritik yang disampaikan Din Syamsuddin berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang memiliki tujuan untuk mengatasi perbedaan dan menciptakan perdamaian.
"Kalau ada sesuatu yang menyimpang mereka (mahasiswa dan dosen) harus mengingatkan itu dan harus memegang kendali, tapi kok ini ada kelompok tapi kok cara berpikirnya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya," ucapnya.
Lebih tegas, Anwar menilai bahwa dengan adanya pelaporan yang menuduh Din Syamsuddin melakukan tindakan radikal maka terdapat kepentingan dari kelompok tersebut yang terancam. Padahal di sisi lain, kata alumni UIN Syarif Hidayatullah ini, dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah sangat terbuka untuk dikritik.
Karena menurutnya, pemerintah menyadari bahwa kritik itu sangat perlu, untuk bisa menerima sesuatu secara komprehensif.
"Kesimpulan saya orang yang takut dengan kritik itu berarti orang yang kepentingannya terancam, kritik itu kan isinya mengungkap kebenaran," ujarnya. (*)